Bab 9: Perbekalan
Tifa tidak bisa berdahli lagi. Memang benar dan pasti ada obat pencahar di dalam tas obatnya. Biasanya mahasiswa kedokteran akan membawa stetoskop, alat tensi beserta alat cek gula, kolesterol, dan asam urat ke mana saja. Apalagi di masa-masa KKN, dapat dipastikan pasien yang ingin sekadar mengetahui kesehatannya akan berbaris setiap harinya, dan Tifa memiliki kemiripan seperti itu.
Obat pertolongan pertama seperti flu, demam, nyeri, maag, sampai antibiotik adalah perbekalan yang selalu siap sedia di jangkaun Tifa. Buktinya dua hari yang lalu, Derris--cowok paling sok sibuk di kelompok KKN desa Je'na--memiliki perut yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan makanan yang ada di sana. Alhasil dia menderita sembelit. Berkat diagnosa si dokter muda, siapa lagi kalau bukan Mitra, membuat Derris mendatangi Tifa untuk menembus obat. Kejadian itu malah membuat semua orang mengolok Tifa dan Derris sebagai pasangan yang dipersatukan oleh tai.
Menjijikan sekali.
Untuk masalah satu itu, Tifa tidak ambil pusing. Sebab Derris yang lebih duluan memberi klarifikasi bahwa dia TIDAK tertarik dengan gadis yang matanya tidak normal.
Wow ... bilang saja kamu tidak suka orang cacat, begitu pikir Tifa. Kacamatanya yang sudah setebal pantat botol memang sudah termasuk abnormal. Tapi kata-kata yang diucapkan bercanda itu terasa seperti sebilah pedang yang menusuk hati Tifa amat dalam.
Tapi, untuk masalah yang satu ini ... Tifa tidak bisa bersifat masa bodoh lagi.
"Tidak. Aku tidak mau sesuatu yang kuanggap benar, disalahgunakan atas nama kepentingan pribadi." Tifa melipat tangan dan memasang wajah keras.
"Ayolah ...." Aria mencengkram lengan Tifa yang sontak membuat gadis berkacamata itu mundur selangkah untuk mengelak. Namun, dia amat terkejut ketika Aria kembali mencengkram lengannya. Kali ini sangat erat.
Mau ngajak berantem, kah? Setelah Tifa melotot Aria dengan kening berkerut, barulah gadis nakal itu melepaskan cengkraman dengan ekspresi kaget.
Penolakan tegas itu berhasil membuat Aria dan Sonia tidak senang. Belum sempat Aria memberikan pembelaan, Tifa bergegas pergi. Keluar dari kamar menuju ruang tamu, tempat di mana beberapa cowok dari posko bawah sedang berkumpul.
Melihat ada ruang di mana dia bisa memojok, Tifa mendorong jendela dengan satu telapak tangannya, membuat debu-debu berjatuhan di kunsennya. Jendela itu sempat tersendat saat dibuka, namun dengan luapan amarah yang besar, jendela malang itu langsung terbanting keluar. Orang-orang yang sedang menghabiskan waktu di ruang tamu segera mengalihkan perhatian kepada Tifa.
Gadis itu kemudian berbalik, duduk di atas kursi, dan menatap semua insan yang memerhatikannya. Untungnya mereka segera menyadari bukan ide bagus untuk berbicara apalagi mendekati Tifa. Jangan pernah mengganggu perempuan yang sedang kesal.
Tifa menatap keluar jendela dan membayangkan semua hal yang akan terjadi jika dia tertangkap basah telah membantu rencana mengerikan dari Aria dan Sonia. Mau dilihat dari berbagai sudut pandang, hasilnya pasti tidak baik. Dia pun bisa membayangkan, sebentar lagi anak-anak lain akan termakan gosip jahat dari dua hyena tadi.
Sedari awal Tifa tahu beberapa gadis sekamarnya itu tidak suka dengannya. Lalu ditambah dengan kejadian tadi, Tifa tidak akan kaget jika mereka akan menyerangnya secara terang-terangan. Entah mereka akan tertawa mencemohnya di depan banyak orang atau memasang ekspresi datar ketika menjahilinya.
Dari lubuk hatinya yang terdalam, Tifa selalu merasa kikuk menghadapi orang-orang. Dia terlahir dengan raut wajah yang terkesan tidak ramah, serius, ddengan aura ketegasan melekat padanya melebihi lem korea yang bisa membuat orang lain salah paham. Satu masalah lagi akan dirinya, selain pengelihatannya yang menyamai tikus tanah.
Lamunan panjang Tifa berakhir ketika Radit menepuk bahunya. Gadis itu sontak terlompat kecil dari tempat duduknya. "Ka-kaget! Bisa tidak manggil dulu sebelum menyentuhku!"
Mahasiswa dari jurusan teknik sipil itu memiliki penampilan yang tenang dan lembut. Dia tidak mengenakan kaos oblong yang ngepas di tubuh atau aksesoris norak seperti Dio, hanya blus cokelat berwarna pucat. Dia sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang belajar dalam bidang yang istimewa. Radit terlihat sangat santai sampai Tifa bertanya-tanya apakah dia menyadari bahwa ada dua cewek yang sedang memandang ke arah mereka, lebih tepatnya ke Tifa, dengan wajah sinis?
Sungguh hebat.
Radit hanya tertawa kecil. "Mau sampai kapan? Dari tadi aku manggil kamu, tapi enggak nyahut-nyahut. Oh ya, sebentar jam 10, kamu ikut sama kami, ya. Ke posyandu."
"Ngapaian?"
"Mitra bakalan ajarin para penduduk desa tentang P3K. Sebagai anak kesehatan, kamu juga harus terlibat. Kan ini proker kalian."
Lah ... kenapa aku harus berhubungan lagi dengan si dokter mesum itu!
Radit - Vigna Raditia (Kacang hijau)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top