Bab 7: Masa Bodoh
Tifa menghembuskan napas lega, dia bisa sampai di posko dalam keadaan aman dan tidak ada yang menyadari bahwa dirinya dan Mitra sempat berduaan di pinggir sungai. Mengingatnya saja sudah membuat bulu kuduk Tifa merinding. Seumur-umur dia tidak pernah disentuh seintim itu oleh lawan jenis. Ayahnya saja jarang sekali memeluknya, apalagi dirangkul oleh cowok. Entah itu adalah hal yang patut dibanggakan atau malah menyedihkan, Tifa mencoba untuk membuang segala kejadian tadi dari dalam kepalanya.
Sesaat Tifa masuk ke pintu belakang posko, gadis itu mendapati Tia bersama Stela--lambe turah yang sedang asik menceritakan kelanjutan berita terhangat seputar kampus yang sempat terputus ketika mereka berada di dalam mobil. Tanpa jeda.
Meski mulut Stela sudah tidak tertolong lagi, namun gadis berwajah manis dengan mata belonya itu bisa diandalkan dalam urusan rumah tangga, terutama dapur. Entah kapan suaranya akan habis, dia akan terus mendongeng kisah yang masuk ke dalam radar pendengarannya, meski masih diragukan ketetapannya.
Tifa berlalu dalam diam dari dua gadis yang sedang sibuk memotong sayur-mayur di meja makan dan pergi mengambil gelas yang tergeletak di atas dispenser air. Di waktu bersamaan, Stela berkata, "Kalau disuruh pilih, aku pasti akan memilih Mitra. Dia kan artis kampus kita! Siapa coba, cewek yang berani menolak dia?"
Ucapan Stela sontak menusuk dada Tifa hingga kakinya lemas. Mendengar nama Mitra disebut, seketika membuat jari Tifa terpeleset dan salah menekan tombol. Air panas tumpah membasahi punggung tangannya. Pekikan kesakitan yang tak tertahankan tentunya disadari kedua temannya.
"Kamu tidak apa-apa, Tifa?" Raut wajah cemas terpatri jelas di wajah Tia.
Tifa bergegas ke wastafel dan membasahi tangannya di air mengalir. "Iya ... tidak apa-apa. Sepertinya mabuk darat masih membuatku sedikit pusing." Gadis berkacamata itu tersenyum kecut.
Sayangnya, hal semacam itu sama sekali tidak menarik minat Stela. Gadis yang mengenakan kemeja lengan pendek merah muda bergaris-garis dan celana katun selutut itu anehnya langsung terdiam. Seolah dia sedang berpikir, apa lagi yang harus dia bahas.
Hanya ada satu hal yang menarik perhatiannya sekarang.
"Ah! Ada Dio! Aku mau sembunyi dulu." Stela melesat secepat panah keluar dari dapur. Meski dia mendengar Tia yang mencoba mencegahnya, tetapi gadis itu tidak mempedulikannya.
"Dasar ...." Tia mendengus kesal, kemudian menoleh ke arah Tifa yang mendekati dirinya sembari melihat ke arah bahan makanan yang belum diselesaikan. Tia tersenyum ramah. "Aku bisa menyelesaikannya. Kamu istirahat saja."
Skor tambahan lagi untuk Tia. Dia sepertinya akan menjadi teman yang baik untuk ke depannya, begitu pikir Tifa.
Tifa mengangguk kecil, kemudian berjalan dengan langkah lesu. Tangannya basah dan terasa perih. Bebannya terus bertambah tanpa henti dan itu membuatnya mual. Setiap anak tangga di rumah panggung itu terlihat tiga kali lebih tinggi dari seharusnya.
Ketika pintu rumah bagian atas dibuka, Tifa cepat-cepat melewati Tamara yang sedang termenung di pinggir jendela, pas sekali di sebelah pintu. Jika Tifa adalah orang yang paling hemat berbicara selama di perjalanan, maka Tamara adalah gadis yang paling banyak tidurnya selama di dalam mobil. Sesaat dia sadar pun, orang-orang kebingungan dengan gerak-geriknya yang linglung. Dia sempat bertanya kepada Pak Kades, kenapa dia bisa berada di rumahnya.
Sepertinya orang bodoh juga memiki keunikannya tersendiri.
Beruntung kamar tempat para cewek sudah kosong sehingga Tifa bisa segera meluruskan kedua kakinya yang letih. Lantai kayu ruangan itu berlapis karpet tipis. Bau apek terperangkap di sudut kegelapan. Gadis itu memandang langit-langit yang dipenuhi sarang laba-laba. Ruangan itu harus segera dibersihkan, siapa coba yang ingin tidur sambil menatap untaian putih melayang-layang di udara?
Situasi ini mulai tak terkendali dan memburuk dengan cepat. Tifa mencoba membersihkan pikirannya dari kecemasan, tapi sia-sia saja. Masa mendatang tetap tidak bisa dikendalikan. Seandainya saja Tifa memiliki sifat masa bodoh akan sekitarnya. Seperti Aris, mungkin?
Lah ... aku kok malah mikirin dia?
Tifa berjalan menghampiri tas kompernya, membereskan pakaian sambil menenangkan diri.
Tifa memang belum terbiasa dengan lingkungan barunya. Akan tetapi, suatu hari nanti, dia pasti akan pergi dari sana, tidak bertemu lagi dengan mereka dan melanjutkan kehidupan di fakultasnya. Walaupun dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi, seseorang yang sudah pernah merasakan cobaan terberat saat praktikum di dalam laboratorium seperti dirinya pasti mampu menghadapi fenomena aneh bin roler coster ini secara tenang.
Untuk pertama kalinya, dia lebih memilih berhadapan dengan Aris sebagai asisten killer setiap hari dibandingkan di sini.
Cieeee, rindu juga sama Aris wkwkwkwk.
Geli-geli gimanaaaa gitu ....
Cuman mau kasih tahu ke kalian, pasti suatu saat nanti kita akan merindukan kejelekan seseorang yang dekat dengan kita, apalagi kalau sudah jauh dari kita. Setuju? :)
--- --- ---
Stela - Stercullia foetida (Kepuh)
Tamara - Tamarindus indica (Asam Jawa)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top