BAB 4: Luar Kota
Rambutan dan kelengkeng tadi ternyata hanya sebuah pembuka.
"Kalian mau makan nasi? Saya tahu tempat makan yang enak di sekitar sini," saran Pak Kades pada anak-anak angkatnya untuk dua bulan ke depan.
"Mau!" Semuanya serentak menjawab. Kecuali Tifa yang dunianya teralihkan pada pemandangan yang ada di luar kaca jendela mobil.
Jika boleh jujur, Tifa sebenarnya tidak pernah sekalipun melakukan perjalanan ke luar kota lebih dari satu jam perjalanan. Benar-benar tidak pernah. Salah satu alasannya adalah kampungnya memang di kota Makassar, mau keluarga ayah dan ibunya, semuanya ada di kota. Alasan kedua, yang paling membuat Tifa kembali naik pitam adalah kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka tidak peduli dengan 'family time'.
Intinya adalah kerja, kerja, dan kerja. Demi apa? Demi bisa makan, bisa hidup berkecukupan.
Itu saja.
Mana kesenangannya? Mana kualitias dari hubungan keluarga mereka? Kalau pun pernah, itu sudah sangat lama sekali. Saat itu Tifa masih bocah berumur sepuluh tahun, diajak ke wisata terdekat di luar kota Makassar.
Itu saja.
Dia belum pernah naik pesawat ataupun kapal. Dia selalu iri pada cerita teman-temannya atau status di sosmed mereka ketika berada di bandara maupun pelabuhan. Dia iri melihat artis dan vloger bebas pergi ke mana saja tanpa beban.
Meskipun begitu, ada suatu hal yang membuatnya bisa keluar kota dan pergi mendaki gunung beberapa bulan yang lalu. Itu semua berkat Aris, meskipun alasannya adalah pekerjaan. Tapi Tifa cukup senang akan hal itu. Meski dia ingin meng-skip perjalanan di dalam bus yang memabukan. Namun, perjalanan itu amat berkesan dan penting untuk dirinya.
Setengah jam perjalanan telah terlewati, mobil yang mereka naiki menepi, berhenti tepat di depan sebuah rumah makan sederhana. Meski dari depan terlihat kumuh dengan ayam kampung yang berkeliaran di mana-mana, namun pemandangan yang ada di dalam tempat makan kecil itu berhasil membuat bulu kuduk Tifa berdiri. Antara kagum dan takut.
Rumah makan itu memakai konsep percampuran indoor dan outdoor. Dari depan sampai tengah ditutup oleh atap seng tipis, sedangkan bagian belakang hanya dilindungi terpal biru dan bagian belakangnya seakan melayang di atas jurang yang curam. Rumah panggung yang posisinya bisa dibilang berbahaya. Ditambah bunyi derit lantai kayu yang semakin nyaring ketika para anak KKN itu mencari meja strategis di dekat kipas angin.
Selera makan Tifa berkurang sangat banyak, meski sudah tersedia sepiring nasi hangat dengan ayam bakar dan sayur bening di depannya. Dia ingin segera meninggalkan tempat itu dan tidak akan kembali lagi. Mau dibilang penakut pun, dia tidak peduli. Sekenario terburuk terus berputar-putar di kepalanya.
Mereka makan dalam suasana yang masih canggung. Satu meja dengan orang-orang asing tentunya tidak semudah kelihatannya. Terkadang ada fase diam yang membuat semuanya tersekat, bingung untuk mencairkan suasana. Tifa hanya tersenyum tipis ketika namanya dipanggil PakKades dimana dia berharap Tifa bisa membantu orang-orang di puskesmas di desanya. Setelah itu, dia memilih diam, sebab memang tidak ada lagi yang mengajaknya berbicara.
Tifa sempat pesimis dan menebak-nebak, apakah karena penampilannya yang terlihat terlalu biasa sehingga tidak ada yang langsung tertarik padanya?
Kenapa aku jadi pengen diperhatikan? Ini pasti gara-gara virus caper mereka!
Butiran nasi yang pulen itu terasa seperti pasir yang menyakitkan di tenggorokannya. Rasa ingin lari dari sana makin menggebu-gebu di dalam hatinya. Tapi Tifa berpikir kembali, kalaupun berhasil, dia tidak tahu ke mana arah pulang. Ditambah lagi dia memang tidak ingin pulang.
"Kamu mau makan sayur bening ini? Aku tidak terlalu suka." Seorang gadis yang mengenakan almamater yang sama dengannya menyerahkan mangkuk putih yang belum tersentuh. Tifa sebenarnya ingin menolak apa yang disodorkan kepadanya, tapi rasa tidak enakan kambuh lagi. Sehingga dia terpaksa mengambilnya.
"Ah, baiklah." Tifa tidak mau membuat kesan jelek pada orang yang pertama kali mengajaknya berbicara.
Untungnya gadis itu tersenyum lega dan berkata, "Terima kasih. Aku Tia, dari Etnomusikologi." Tifa tanpa sadar mengerutkan wajah, yang segera disadari oleh Tia. "Itu loh, jurusan paling minor yang ada di kampus kita. Sampai-sampai hanya orang-orang tertentu saja yang sadar kalau kelasku ada di Fakultas Ilmu Budaya."
Tia (Pometia pinnata)
Buat yang tidak tahu apa itu etnomusikologi, jurusan satu ini mempelajari bentuk-bentuk seni pertunjukan yang berkaitan dengan penguasaan teknik garapan dan dokumentasi musik-musik etnis.
Jurusan minor yang terlihat asik, sepertinya. 🙈😂
Aku pernah lihat jurusan ini dan sempat mengira sebagai UKM, ternyata memang ada jurusan tersebut.
Dari sini aja udah kelihatan kalau Tia ini punya jiwa seni yang tinggi. Apakah dia bakalan menjadi teman Tifa di tempat KKN-nya?
Moga aku bisa segera menulis bab berikutnya hehehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top