BAB 3: Kesan Pertama
Apakah aku yang terlalu berhati-hati dalam berbicara? Atau memang mereka yang kurang didikan? Tifa bertanya-tanya di dalam hatinya.
Mulutnya sering tertahan untuk mengeluarkan suara. Dia cemas, bahwa kata-kata itu akan menjadi bumerang untuk dirinya. Dia pergi KKN untuk memenuhi kewajiban, bukannya mencari musuh. Apalagi mencari jodoh. Gadis berkacamata itu belum ingin terikat hubungan intim dengan lawan jenis, sebab dia masih ingin merasakan masa muda tanpa perlu memikirkan orang lain. Jika dia diberi pilihan saat lulus nanti, antara pekerjaan dan menikah, tanpa berpikir panjang Tifa akan memilih karir.
Membahas karir, Tifa menjadi paham pentingnya kesan pertama saat bertemu orang lain, apalagi jika kamu adalah seseorang yang memiliki jabatan yang cukup tinggi. Di saat kamu datang terlambat, dalam keadaan dan tampilan yang cukup berantakan, dapat dipastikan orang yang kamu temui itu akan memberikan respon yang kurang baik. Sesuatu yang kecil tersebut dapat memberikan efek yang cukup besar terhadap kepercayaan orang lain kepada kita.
Dan yang sekarang ada di hadapan kelompok KKN terakhir yang tertinggal di kecamatan selama satu jam lebih, berdiri seorang pria paruh baya dengan badan berisi yang tersenyum lebar tanpa perasaan bersalah.
"Ayo! Kita langsung saja pergi ke rumah baru kalian." Kepala Desa Je'ne membukakan pintu belakang mobil dan kembali masuk ke kursi sopir.
Helaan napas dan gerutu terdengar samar di sekeliling Tifa. Kelompok berisi sebelas orang dengan kombinasi mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai jurusan itu mengangkat tas ransel dan menarik koper menuju belakang mobil.
Mereka sempat terdiam sebentar, kemudian seorang cowok berambut gondrong berucap setengah berteriak, "Pak! Kayaknya kami tidak cukup masuk semua ke dalam mobil."
Mereka saling menatap satu sama lain, melihat bawaan masing-masing yang cukup banyak. Satu orang bisa membawa dua tas dan satu koper, kalau dikali sebelas, apa logis masuk ke dalam satu mobil jenis SUV?
"Ah, benar juga. Kalau begitu, saya minta teman saya yang punya mobil bak terbuka datang ke sini." Pak Kepala Desa itu menoleh sebentar ke belakang kemudian menelepon seseorang dengan nada yang riang.
Bisa-bisanya dia tidak memperkirakan kalau tamunya banyak.
Aku capek mengerut terus. Tifa menarik kopernya kembali ke teras gedung kecamatan dan duduk di kursi besi yang terkena sinar mentari yang luar biasa gerahnya.
Untungnya teman si Kades datang dalam waktu yang lebih singkat karena dia ternyata sedang berada di dekat sana, jadi mereka langsung berberes dan naik ke atas mobil. Para cowok sepakat naik mobil pick-up dan membiarkan para cewek ikut dengan sang Kades.
Sebagai pertandaan maaf, Pak Kades memutuskan membelikan kelengkeng dan rambutan yang di jual di pinggir jalan poros. Tidak tanggung-tanggung, dia membeli 6 kantong besar untuk para mahasiwa itu. Kesegaran dari dua buah tersebut berhasil meluruhkan ketegangan dan kekesalan mereka sehingga sepanjang perjalanan yang sempat sunyi senyap, akhirnya mulai diisi dengan perbincangan ringan seputar perkenalan satu sama lain.
"Saya telat jemput kalian karena desa yang akan kalian tempati ini paling jauh dari yang lainnya. Tapi saya jamin, kalian akan betah di sana. Bisa jadi kalian tidak mau pulang-pulang." Pak Kades tertawa, sedangkan para cewek tertawa setengah hati.
Kok jadi serem, sih? Tifa merasakan ada kode terselubung dari ucapan tadi. Tapi dia tidak mau langsung mengambil kesimpulan terlalu cepat.
Dia harus menikmati masa KKN yang hanya sekali seumur hidupnya. Inilah pelariannya, menjauh dari masalah yang tertinggal di ibu kota.
Kadang kesan pertama itu penting, tapi menurutku, kita tidak bisa langsung menjudge seseorang dari pertemuan pertama. 😁
Setuju?
Atau
Tidak?
🙈🙈🙈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top