Bab 11: Kerasukan

Gadis itu tidak tampak sedang berakting. Kalau pun benar, maka dia dapat dinobatkan sebagai pemeran terbaik sebagai manusia liar. Tanpa memandang bulu, dia terus melancarkan serangan ke arah Radit. Meski tangannya mungil dan masih dalam masa pertumbuhan, pukulan yang dilayangkan cukup menyakitkan. Tifa yang sedari tadi hanya membeku karena syok akhirnya tersadarkan dan segera ikut menyelamatkan pemuda malang itu.

"Apa-apaan ini! Apa yang terjadi? Kenapa dia seperti ini!" teriak Tifa yang kewalahan.

Pertanyaan yang dilontarkan Tifa dengan panik langsung dijawab oleh seorang nenek tua dengan wajah sendu, "Dia kerasukan hantu dari tanggul." Katanya dengan nada tenang meski dalam situasi yang gawat seperti sekarang.

Sesaat ucapan nenek itu didengar para pemuda, sontak mereka bersamaan membaca ayat kursi. Mereka seolah-olah terbiasa dengan kejadian itu, yang malah semakin mengerikan di mata Tifa, Radit, dan Mitra.

Gadis yang kesambet setan itu ternyata berlari tanpa sepatu. Telapak kakinya berdarah. Ekspresi wajah yang kesakitan terhalang helaian rambut hitam panjangnya. Dia begitu kebingungan sampai tidak bisa berbicara dengan jelas.

Radit cepat-cepat menutup mata dengan tangan dan berdoa agar setan yang merasuki gadis itu segera keluar dan tidak menghinggap lagi ke tubuh orang lain. Situasi di sana sekejap berubah menjadi sebuah latar film horor murahan yang tidak pernah sekalipun menjadi sesuatu yang menarik bagi Tifa.

Tak lama gadis itu berteriak. Amat keras. Begitu pedih.

Radit yang masih menutup wajah dengan rapat, cepat-cepat melepaskan diri. Melangkah seribu dari raihan si gadis malang itu. Dia bahkan sempat terpeleset dalam prosesnya.

Sekujur tubuh gadis itu berubah kaku dengan tangan memegangi leher, kemudian jatuh tersungkur kelelahan. Mitra memberanikan diri, melangkah mendekat untuk memeriksa tanda vital gadis itu. Terlepas dari keheboan yang dilakukannya, tetap saja dia masih sesosok manusia yang pantas diperlakukan selayaknya manusia.

Tiba-tiba tubuh gadis itu tersentak, diikut dengan mundulnya cairan bening yang mengalir dari dagunya dan jatuh ke atas tangan Mitra. Meski menjijikan, tapi pemuda itu sama sekali tidak keberatan.

Dalam keadaan lumpuh dan mulut berkerut, gadis itu menatap Mitra dengan tajam. Dia mendorong keras Mitra, disusul badannya yang tumbang ke tanah dan kejang-kejang.

Ini adalah pengalaman baru dan terburuk untuk Tifa dan Radit. Trauma yang tidak akan pernah bisa mereka lenyapkan dari dalam memori.

"Dia tidak apa-apa. Sebaiknya diungsikan ke posyandu. Mungkin orang yang lebih berpengalaman yang bisa memeriksanya kembali," kata Mitra, bersimpati sebagai seorang ahli medis. Meski Mitra adalah cikal bakal dari dokter, tapi dia masih menghormati pekerjaan orang yang lebih 'pintar' di bidang gaib.

"Aku akan memanggil bantuan," kata Radit sambil berlalu bersama beberapa pemuda desa ke rumah seorang penduduk yang tidak jauh dari sana.

"Tifa? Kamu baik-baik saja?"

Tifa kaget bukan main ketika Mitra sudah ada di hadapannya. "Jangan melamun terus. Nanti giliran kamu yang kena," lanjut Mitra setengah bercanda.

"A-aku ... baik-baik saja." Tifa memeluk dirinya sendiri, berusaha menjaga jarak dari Mitra. Dia masih belum terbiasa dengan keberadaan mahasiswa satu itu.

"Kamu masih marah dengan kejadian yang lalu?" Mitra berbicara dengan nada berbisik.

"Kenapa lagi bahas itu di situasi seperti sekarang! Kamu mau tahu pendapatku? Tentu saja! Bisa jadi ini adalah pertanda bahwa kita sudah membuat murka penduduk asli tempat ini!" balas Tifa marah namun ikut berbisik.

"Bukan, kok. Ini bukan salahmu. Ini mungkin salahku."

"Hah? Kok kamu yakin banget?"

"Karena dia sebenarnya ingin menyerangku. Bukan Radit."

"Kamu yakin?"

"Sangat yakin."

Entah apa yang dikatakan Mitra itu benar atau tidak. Tapi Tifa semakin takut akan sosok Mitra yang terlihat tenang dari awal hingga akhir kejadian kerasukan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top