50 : Keberangkatan
"Kau tahu sejarah manusia dan iblis tidak?"
.
.
.
Tidak ada hal lain yang lebih mengejutkan dari isu bahwa Qenan adalah iblis selain iring-iringan beberapa venator dengan membawa kereta jenazah. Bendera hitam bergerak bersamaan dengan angin yang berhembus kencang.
Warga yang melihat iring-iringan itu bertanya-tanya siapa lagi pahlawan yang mati?
Setiap kali kereta beserta iringannya bergerak mendekati makam, maka barisan warga akan terlihat di pinggir jalan, kemudian mereka ikut masuk ke dalam iring-iringan.
Ada hal lain yang lebih mencolok selain para bangsawan atau Kaisar yang berada di barisan depan, yakni barisan anggota Black Wolf berada di barisan setelah petinggi kekaisaran, seolah melihat satu anugerah besar, para rakyat mengucap syukur.
Kabar terakhir yang warga dengar, bahwa tim tersebut dalam kondisi paling buruk setelah melawan iblis, siapa sangka sekarang mereka semua sudah bisa berjalan dengan tubuh baik-baik saja tanpa sedikitpun luka?
Warga merasa lega melihat mereka baik-baik saja.
Salah seorang gadis berjalan sempoyongan, dia menangis setelah tahu bahwa Gavrill akan segera dimakamkan. Luka lamanya menjadi terbuka lebar. Terakhir kali pada pemakaman Gavrill ia jatuh pingsan berkali-kali, ia tidak menyangka bahwa ada iblis yang mencuri jazadnya setelah dibaringkan di bawah tanah, dan sekarang ia harus mengikuti upacara pemakaman kedua pemuda itu.
Alexa dengan penuh rasa sabar menarik bahu sempit Genoveya, menenangkan temannya, membiarkan gadis tersebut menangis histeris dalam peluknya. Ia juga sedang menahan tangis, bibirnya sudah mencebik dan matanya sudah membengkak, tetapi air di dalam matanya tidak sudi untuk pecah.
Upacara pemakaman terjadi. Seorang gadis selalu menyela prajurit yang akan menurunkan tubuh Gavrill ke bawah tanah. Memaksa mereka untuk berhenti memasukkan jazad itu ke dalam lubang tanah menganga. Tak habis-habisnya dia menangis dan menjerit kemudian memeluk tubuh dingin berbau busuk itu, tidak merasa jijik, justru ia yang merasakan miris luar biasa di sudut hatinya.
Prajurit tidak bisa berbuat lebih. Mereka tidak ingin memaksa Genoveya untuk pergi. Lagipula, wajar jika ada seseorang yang menangis ketika upacara pemakaman, mengganggu seperti ini, mereka sudah terbiasa.
Dari arah belakang Jeri datang, menarik pelan bahu gadis berambut hitam panjang, tanpa perlu ia berkata-kata seseorang yang awalnya duduk di atas tanah kini bergerak untuk berdiri dengan tubuh yang bergetar hebat.
Genoveya menatap Jeri terluka. Pipinya memerah karena sembab. Tubuh rampingnya berusaha tetap berdiri tegar ketika tubuh kaku Gavrill mulai diturunkan ke dalam lubang. Kedua tangannya berada di depan dada, jari telunjuk kanannya meraba jari manis kirinya, tersemat cincin di sana.
Benar. Genoveya telah menjalin hubungan sangat lama bersama Gavrill. Mereka selalu bersama sejak kecil. Dua bulan sebelum kematian pemuda itu, ia telah diikat dalam sebuah hubungan pertunangan, berjanji akan menikah setelah umur mereka sedikit lebih dewasa.
Namun, sebelum mereka semua tumbuh dewasa, Gavrill telah meninggalkan ia sendiri di dunia yang sangat kejam ini.
"Di kehidupan selanjutnya kau harus menjadi mempelaiku, Gavrill ... " bisiknya diantara hujan tangis yang diturunkannya, sebelum ia jatuh ke dalam pelukan Jeri, pingsan dengan jutaan harapan dalam pikirnya.
Kallen memasang wajah tidak peduli dengan nuansa duka di sekitarnya, ia melirik ke sana-sini guna mengintip setiap ekspresi yang diciptakan oleh wajah manusia, kemudian dia bergumam pelan pada Arden, "Kenapa manusia sangat berlebihan?"
Arden menggelengkan kepala tidak tahu, ia juga tidak ingin tahu soal mengapa manusia sering sekali menangis. Ada yang lebih penting dari itu, tentang mengapa Lefko terus menggigiti sepatunya hingga ia merasa amat jengkel pada anjing itu?
Ingin rasanya Arden menendang makhluk berbulu tersebut hingga ikut masuk ke dalam lubang kubur, tetapi yang ia takutkan adalah pawangnya akan gilir menguburnya hidup-hidup jika melakukan itu, oleh karena itu dengan setengah ikhlas ia membiarkan anjing itu berulah pada kakinya.
Oliver melihat pemuda yang ia cintai berjalan kembali ke barisan dengan membawa tubuh Genoveya dalam peluknya, hal itu membuat ia menjadi iri, tetapi tidak ada alasan baginya merasakan keirian.
Oliver mengepalkan kedua tangannya, membuang napas kasar, setelah itu memalingkan wajah ke sisi lain. Entah kebetulan macam apa, ketika menoleh ke kanan, ia melihat Rafe sedang mengupil sehingga membuatnya langsung terkekeh pelan.
Setelah pemakaman selesai, Jeri berjalan berdampingan dengan Kaisar, dia meminta izin untuk bertemu Qenan di penjara setelah sampai di istana nanti. Sebelum ia pergi berlatih, ia ingin melihat temannya, memastikan sesuatu.
Tentu saja pria tampan dengan baju mewah tersebut memberi izin dan menyuruh Jeri mengikuti bawahannya yang lain untuk menuju ke penjara rahasia. Kaisar tidak menanyakan mengapa Jeri harus berkunjung ke sana, sebab ia yakin pemuda itu bukan orang bodoh yang akan melawan pemerintah hanya demi seorang iblis.
Di sisi lain, di dalam penjara, seorang vampir telah diikat dengan kuat. Dia memakai pakaian compang-camping. Tubuhnya di penuhi dengan darah dan bekas luka.
Bunyi cambukan menggema hingga lorong. Belum sempat pemuda berambut putih menjerit kesakitan, ia disambut dengan pecutan, kembali menerima serangan yang tidak bisa ia hindari.
Akash terus menyiksa Qenan untuk mendapatkan informasi, menemukan kebenaran dari mulut pemuda itu, tetapi sebanyak apapun ia melukai dia bahkan tidak memberikan jawaban apapun.
Qenan tidak berbicara. Satu-satunya kata yang ia keluarkan adalah suaranya yang lirih menahan rasa sakit. Merasa tidak ada yang berarti, ia hanya bisa diam menerima.
"Kenapa kau sulit sekali berbicara? Katakan yang jujur! Apa kau tidak ingin terbebas dari hukuman cambukanku?!" Akash melontarkan kata-kata sambil kembali menyambuk dada beserta perut Qenan.
Darah keluar dari tubuh bagian depan vampir tersebut. Lagi-lagi tidak ada balasan dari makhluk abadi itu. Akash menjadi geram, akan tetapi ia dikejutkan dengan sebuah tatapan dari di sisi kanan tubuhnya, sejak kapan orang itu ada di sana?
Orang yang dimaksud Akash adalah mantan ketua dari tim Black Wolf, dia menatap dengan tatapan mata yang khas, mengamati bagaimana ia menyambuk Qenan menggunakan cambukan besi.
Sebelum ia memberi komentar atas kedatangan Jeri yang begitu lancang, sebuah telepati menghampiri otaknya, sehingga ia langsung menghilang dalam sekejap waktu membiarkan penjara rahasia diisi oleh satu manusia dan satu vampir.
Berdiri saling berhadapan, hanya terpisah oleh tralis besi berwarna hitam pekat, keduanya saling berpandangan untuk sesaat. Penjara ini ukurannya tidak terlalu besar, sangat sempit jika dikatakan sebagai sel tahanan, tetapi jika ini penjara rahasia yang hanya digunakan untuk menahan satu orang itu masuk akal.
Jeri menatap ke belakang, ke arah lampu gantung bercahaya kuning, hanya itu satu-satunya sumber cahaya di sini. Mengelilingi sekitar menggunakan netranya, ia mengawasi setiap detail penjara ini, dan terlihat sangat buruk.
Tidak ada ventilasi udara, sehingga udara di sini berbau darah, dan agak lembab hingga pori-porinya merasakan kelembaban itu. Sangat tidak beruntung Qenan ditahan di penjara busuk ini.
Menghela napas. Jeri menatap Qenan. Merasa kasihan dengan kondisi temannya yang sangat berantakan. Seandainya saja dia tidak memiliki regenerasi tubuh, pasti dagingnya sudah ada yang terkoyak dan jatuh ke atas tanah.
Efek dari ikatan anti sihir itu membuat pemulihan Qenan sedikit melambat, terbukti luka yang seharusnya cepat mengering itu sekarang terlihat pelan-pelan akan menutup, sel-sel di dalam tubuh vampir di depannya seolah-olah melambat.
Bukankah itu terlalu keji?
" Jeri," panggil Qenan dengan suara lirih penuh getaran, kepalanya mendongak pelan, menatap Jeri lemah. "Kau percaya kepadaku, kan?"
Dengan sekuat tenaga dia mengeluarkan suaranya dengan jelas dan berharap Jeri tidak menaruh kemarahan padanya.
Jeri masih berdiri di tempat dia berdiri. Tidak merespon ucapan Qenan, hanya mengamati bagaimana belahan bibir pucat itu bergerak pelan, mencoba memahami apa yang sedang dibicarakan oleh temannya.
Tidak mendapatkan balasan membuat Qenan memegang ikatannya dengan keras. Ia menundukkan kepala. Sudah pasti Jeri marah karena ia menyembunyikan jati dirinya, sudah pasti dia kecewa, apa yang ia harapkan setelah menjadi sosok pengkhianat?
Bahkan setelah ia membantu manusia berkali-kali pun, ketika latar belakangnya yang terkuak mereka sama sekali tidak mengingat kebaikannya, mereka langsung murka padanya dan menghakiminya. Manusia, benar-benar yang terburuk, tetapi ia sangat menyayangi manusia demi kedamaian seluruh dunia.
Apa seburuk itu iblis di mata manusia?
Menggelengkan kepala ribut. Kepalanya terasa sangat sakit seolah akan meledakkan diri. Berusaha menekan ingatannya, Qenan meringis sakit dan menggigit lidahnya hingga berdarah, kemudian dia memuntahkan cairan merah.
" ... Aku tidak ingat apapun ... " Qenan bergumam pelan. Dari sela-sela bibirnya keluar cairan merah, merayap ke dagunya, dan menetes ke atas lantai.
Jeri menggenggam kedua tangannya di setiap sisi tubuhnya. Menatap Qenan dengan tatapan yang tegas. Meski ia sangat merasa sedih ketika temannya terluka di depannya, tetapi ia tidak bisa melakukan apapun untuk meringankan bebannya, sebab jika ia melakukan itu maka seluruh manusia pasti akan membenci dirinya.
" ... Di kehidupanku yang lalu, yang aku ingat tidak banyak ... Jeri kau percaya kepadaku?" Memaksakan diri untuk berbicara, Qenan sedikit mengeraskan suaranya hingga tenggorokannya akan pecah.
Lagi dan lagi Jeri tidak mengatakan apapun, tidak berekspresi, membuat Qenan kecewa.
Qenan terkekeh keras. Untuk apa ia menanyakan sebuah kepercayaan manusia untuk iblis hingga dua kali?
Jeri telah usai untuk mengunjungi Qenan. Dia membalik badan, menatap pintu keluar dengan raut sedih, ketika kakinya hendak melangkah lebih jauh lagi sebuah suara menginterupsinya dari belakang.
"Tahun depan, aku akan dieksekusi!"
Kaki Jeri benar-benar berhenti bergerak. Tubuhnya berdiri kaku. Kali ini tubuh manusianya seolah diguyur oleh air mendidih kemudian disiram dengan air dingin, tidak hanya itu bahkan tubuhnya seolah dibelah menjadi dua. Ucapan Qenan menghantam tepat di jantungnya.
Bagaimana ia harus menolong temannya? Kedua tangan Jeri mengepal erat, merasakan betapa sakit buku-buku tangannya ditekan keras oleh kuku-kuku, bahkan ia tidak peduli jika telapak tangannya nanti berdarah.
Jeri percaya bahwa Qenan tidak seperti yang dikatakan iblis itu, ia percaya dengan ucapan Daniel, tetapi ... ia tidak sanggup melawan kekaisaran. Qenan telah dinyatakan secara rahasia menjadi tahanan prioritas, sehingga ia tidak bisa bergerak sesukanya.
Jeri menoleh kepada Qenan, menatap pemuda tersebut, kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda dengan langkah kaki berat.
Sedangkan Qenan terpekur. Ia terpenjara oleh tatapan mata orang yang selalu ia jadikan pedoman. Baru kali ini ia melihat tatapan lelah dari Jeri. Ia yakin, meski Jeri tadi hanya diam hingga ia merasa kecewa berat, sebenarnya dia sedang kacau dari dalam. Pelan-pelan dia merundukkan kepala, menjatuhkan tatapannya pada bekas darah di lantai, ia akan sabar menunggu sampai hari eksekusi tiba.
Tidak lama setelah kepergian Jeri, Akash kembali dengan tatapan interogasi, kembali dia melakukan tindakan yang sama demi mengetahui kebenaran.
Kali ini Jeri berjalan berdua bersama Kaisar, dia menatap setiap ubin yang ia lewati, merasa langkahnya berada di atas pecahan-pecahan kaca. Tidak ada hal lain yang ia pikirkan selain bagaimana membuat Qenan dapat dipercayai.
Begitu pula dengan Kaisar. Meski dia berjalan bersama seseorang di sampingnya, pikirannya melayang jauh ke depan, mulai menerka-nerka apa yang terjadi setelah ini.
Beberapa bangsawan sudah ada yang meminta untuk melakukan pertemuan membahas Qenan, entah siapa yang menyebar benih buruk ini ke masyarakat luas, sehingga Kaisar belum bisa untuk memberi akses untuk pertemuan bangsawan.
Ia akan menangani perkara Qenan secara pribadi, seperti tekadnya sejak awal, pun ia sudah meminta untuk Akash mulai hari esok jangan melukai Qenan lagi. Ada satu yang harus dicari, yakni seseorang bernama Adara, yang sepertinya memiliki hubungan dengan Qenan.
°°ρђลи†эяล°°
Akhir-akhir ini tim mereka terlalu bekerja keras, wajar jika beberapa dari mereka setelah upacara pemakaman langsung menuju ruang istirahat, meringankan pikiran dan merenggangkan otot.
Seluruh tragedi yang datang secara tiba-tiba seolah menjadi cobaan bagi mereka semua. Pikiran dan tubuh menjadi sangat lelah. Banyak kejutan yang terjadi selama kurang dari satu minggu, dan yang termustahil adalah tentang Qenan, sangat menyebalkan dan tidak dapat dipercaya.
Secara kebetulan dua orang pemuda merasa lapar dan memilih mengelilingi istana hanya untuk mencari dapur. Selama sepuluh menit berlalu, mereka tidak menemukan tempat menyimpan makanan, ataupun ruangan yang penuh makanan.
"Apa kita tersesat?" Mendongak ke langit-langit atap istana, ada banyak corak lukisan Dewa-Dewi di sana, dan itu sama sekali tidak membuat Theo merasa terbantu.
Viktor yang berjalan berdampingan dengan Theo mengikuti dia untuk mendongak. Menatap langit-langit atap istana, lamat-lamat ia melihat adanya Dewa Hades di sana, sehingga ia memberi seulas senyum.
Tiba-tiba Viktor menundukkan kepala. Kakinya berhenti melangkah. Secara total dia tidak bergerak untuk sementara waktu. Kepalanya langsung menoleh ke belakang, kepalanya memutar ke segala arah, dan wajahnya menjadi horor.
Merasa tingkah temannya menjadi lebih aneh, curiga juga kalau dia mencari kegaduhan di istana, Theo berhenti melangkah. Menghadap pemuda berpakaian serba hijau itu, lantas menendang tulang kaki Viktor. "Kau kenapa?"
Meringis kesakitan. Kedua tangannya mengusap kakinya. Matanya melotot tajam kepada Theo sang pelaku penendangan. Viktor bersungut-sungut, "Kau, sialan! Kau pikir kakiku bola?!"
Mendengus kasar. Theo menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Membusungkan sedikit dadanya, sehingga dia sekarang tampak angkuh dari biasanya.
"Kupikir kau orang gila yang menyamar menjadi Viktor," balas Theo dengan sengit.
Tersenyum meremehkan. Manusia di hadapannya ini memang tidak ada habisnya untuk menarik emosi orang lain. Beruntung Viktor tidak ingin melanjutkan pertengkaran kecil mereka ke tahap pertengkaran besar.
"Aku pikir kita sudah melewati bangunan ini sebelumnya." Berdiri tegap setelah tadi sedikit merunduk karena kakinya ditendang. Viktor menghentak-hentakkan kaki pelan guna mengencek kondisi kesehatan uratnya yang tadi ditendang Theo. Setelah merasa baik-baik saja, barulah ia melanjutkan kata-katanya, "Mungkin sebanyak tiga kali?"
Wajah berpikir pemuda berkuncir rendah itu mengganggu pikirannya. Jarang sekali manusia seperti temannya itu mau berpikir. Mulutnya akan menyumpah serapahi Viktor, tetapi didahului dengan jeritan sakitnya tatkala sebuah tangan menampar pipinya hingga memerah.
Berkat tamparan itu, wajah Theo memutar ke kanan, dan Viktor mendelik lebih horor kepada pelaku penamparan.
Seorang pria berambut panjang berwarna merah muda adalah seseorang yang baru saja menampar Theo.
Pakaian agung orang itu terlihat megah dengan hiasan emas penuh dengan riasan kelopak bunga sakura. Dia menampar Theo dengan begitu kerasnya hingga pemuda tersebut memalingkan wajah.
Pria berwajah agak cantik itu menatap pemuda di depannya dengan tegas, wajahnya yang anggun terlihat cemas, membuat riasan wajahnya seolah tidak berguna untuk menutupi ekspresi wajahnya.
"Apa-apaan orang ini? Datang langsung menampar orang lain," Batin Viktor. Dia menatap pria di depannya, kemudian menatap Theo yang balik menatap pria itu dengan tatapan tunduk, membuat ia bertanya-tanya di dalam hati. "Tumben dia---eeeh?!"
Belum sampai Viktor paham dengan apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik, ia dan Theo dipeluk oleh pria berambut sewarna bunga sakura ini. Hidung bangirnya bisa mencium aroma manis dari pria ini, sebenarnya dia siapa? Kenapa main tangan? Kenapa memeluknya?
"Kalian membuatku cemas ... " Suaranya terdengar lirih, sedikit bergetar di tengah-tengah kalimat, pria itu mengeratkan pelukannya dan mengusap lembut tiap-tiap sisi kepala dua pemuda yang ia peluk.
Theo tidak mengatakan apapun, dia hanya menikmati bagaimana rambutnya dielus oleh tangan lentik pria itu, bahkan ia membalas pelukan pria itu. Sedangkan Viktor sedikit bergerak liar untuk keluar dari dalam pelukan, merasa risih, tetapi tangan Theo yang lain menahan pinggangnya untuk tetap menerima pelukan dari pria ini.
"Kalian berhentilah menjadi venator, menetaplah di rumah, jangan membuat aku khawatir kembali." Pria itu melepaskan pelukannya, kini digantikan dengan elusan pelan di setiap pundak dua pemuda tersebut, bahkan pria itu sedikit merapikan pakaian kedua orang di depannya.
Viktor menatap Theo, dia berdiam diri, kemudian mendengus panjang. Menatap nyalang ke orang di depannya, dengan tanpa sopan santun dia berkata, "Kau ini siapa? Berani sekali melarang kita berdua untuk memburu iblis!"
Tercengang. Hampir saja ia terjatuh ketika banyak kelopak bunga sakura berterbangan di sekitar mereka. Viktor membalik badan, menatap sekelilingnya dengan tatapan mengawasi, ini adalah ruang dimensi yang serupa dengan milik Theo tetapi ini lebih indah karena dipenuhi bunga sakura.
Bersiap siaga, Viktor mengeluarkan Aldane, mungkin saja pria tadi adalah musuh. Hanya saja, Theo berulah, pemuda berambut pirang panjang itu menendang Aldane sebelum beranjak dari tempatnya.
"Kau?!" Ia tidak bisa berkata apa-apa kepada Theo. Seluruh ucapannya hilang hanya karena ulah pemuda itu yang seolah berpihak kepada pria berambut merah muda.
"Aku Melvin Barlett, salah satu bangsawan di kekaisaran ini," ujar Melvin dengan suara lembut. Tangan kanannya bergerak menyentuh pundak kanan Viktor sambil berkata, "Dan kamu adalah putraku, saudara kembar dari Theo."
Untuk kedua kalinya Viktor tercengang. Ini berkali-kali lipat ia tercengang. Selain karena ucapan Melvin yang tidak masuk akal, rambut pirang Theo berubah menjadi merah muda, dan lebih parahnya rambut hitamnya kini memiliki corak warna merah muda juga.
"A-apa?" Tidak mengerti, Viktor meraba-raba rambutnya panik, dan ia menatap Melvin dan Theo bergantian.
Untuk pertama kalinya Viktor melihat pemuda yang sering memamerkan kekayaan itu bungkam, dia bahkan menatap dirinya dengan tatapan yang seolah dia sedang bersedih, sekarang kejutan apa yang akan terjadi?
"Aku tidak mengerti maksudmu. Saudara kembar Theo? Putramu? Bahkan marga kita saja berbeda!" Menggaruk kepalanya kesal, kulit kepalanya menjadi sangat gatal, Viktor menjadi teramat pusing.
Theo merangkul Viktor segera. Tatapan matanya sedikit berbinar. Mengulas senyum dia menjelaskan, "Kau itu adikku, kita saudara! Kau senang mempunyai kakak yang sangat kaya ini?"
Wajah Viktor tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia pernah mendengar bahwa Melvin Barlett adalah keluarga bangsawan terkaya di urutan pertama, kemudian ada Sebastian Lex Orion, dan terakhir keluarga Roger----Keandre.
Menatap Theo sinis. Melepas rangkulan pemuda itu cepat. Viktor masih tidak mempercayai apapun, tetapi ia harus mengatakan ini, "Pantas saja kau pernah berkata membantu gaji para venator, karena kau bajingan keluarga Barlett!"
Theo terkekeh. "Theo Wyn Barlett namaku. Namamu Viktor Vi'er Barlett."
Viktor makin tercengang karena namanya bahkan dirubah penyebutannya. Dia menatap Melvin dengan tatapan menuntut. Baginya ini terlalu membingungkan. Sejak awal ia mengenal Theo bukan sebagai adik dan kakak, tetapi sebagai teman yang sering berkelahi.
Ia bertemu dengan Theo ketika usianya menginjak umur enam tahun, mendekati tujuh tahun.
Setiap satu bulan sekali akan ada gadis kaya yang akan lewat di pasar ibukota, dan gadis itu selalu mengganggunya dengan meminta ia main ke istananya, hanya karena ia pernah menyelamatkan anak itu dari kejaran orang gila----orang gila itu adalah ayahnya sendiri yang sedang mabuk.
Waktu itu, ia dikejar oleh anak perempuan itu, ia berlari dengan kencang. Ketika ia bersembunyi, ada seseorang yang melemparinya dengan batu kecil, dan yang melemparinya adalah anak kecil berambut pirang sama persis seperti anak perempuan itu.
Viktor menghajar Theo waktu itu, meski wajah anak itu terkesan cantik dengan rambut pirangnya, ia tidak akan segan-segan untuk membuat dia kapok karena melemparinya dengan batu.
Siapa sangka bahwa Theo adalah tetangga barunya di masa itu, membuat mereka setiap hari selalu bertemu, apalagi ayahnya dan paman Theo berteman. Alhasil mereka tumbuh bersama, sifat mereka yang hampir mirip sedikit membuat orang-orang dewasa di sekitar mereka kewalahan, bahkan gadis kecil yang sering muncul itu mulai takut karena adanya Theo yang suka menakut-nakuti gadis tersebut.
Alasan mengapa mereka menjadi venator pun sama, yakni sama-sama menyukai Dewa Hades yang berjuang demi manusia mengalahkan iblis. Cerita Dewa Hades yang diceritakan oleh ayah Viktor memberi sebuah bunga harapan bagi keduanya, sehingga mereka masuk ke tim Black Wolf secara bersamaan.
Dan sekarang mereka ternyata adalah saudara kembar? Viktor tidak bisa mempercayai ini, sama sekali tidak bisa!
Melihat bahwa kedua putranya sangat akrab meski sifat keduanya kasar, itu sudah membuat Melvin senang. Pelan-pelan ia mengembangkan senyum, bersyukur bahwa ia masih bisa melihat mereka tumbuh bersama, ia pikir tidak akan ada kesempatan untuk ia mengakui bahwa ia adalah ayah dari Viktor.
Sejujurnya, Melvin dan Theo ingin segera mengaku ke Viktor, tetapi mencari momen pas untuk menceritakan segalanya itu susah sekali.
Setiap kali Theo akan menceritakan kebenaran maka Viktor dengan aktif malah mengomelkan hal tidak penting, atau malah jatuh tertidur dengan lelehan liur di pipinya, menjadikannya tidak memiliki waktu untuk menjelaskan hubungan darah mereka.
Acap kali Melvin mengunjungi desa tempat tinggal Viktor atau markas venator sebagai seorang bangsawan, Viktor sama sekali tidak muncul, bahkan ketika mereka berpapasan saja pemuda itu terkesan tidak peduli.
Melvin pikir butuh waktu lama untuk mampu bercerita, tetapi berkat tragedi itu, ia sama sekali tidak bisa untuk menahan diri supaya menghentikan permainan sembunyi-sembunyi ini dan membawa mereka berdua kembali pulang!
"Akan Ayah ceritakan," ucap Melvin.
Melvin Barlett bersama istrinya dahulu yang bernama Ishirelya adalah sepasang suami istri yang mendambakan sebuah kekayaan. Mereka bersekutu dengan iblis, demi sebuah kekayaan duniawi mereka menawarkan anak pertama sebagai tumbal.
Ketika kekayaan, prestasi, dan jabatan telah Melvin miliki. Penebusan harus mereka berikan kepada sang iblis. Ishirelya waktu itu sedang mengandung besar ketika iblis meminta tumbal anak mereka, tentu saja Melvin meminta kesabaran dari makhluk misterius itu, untungnya sang iblis mau bersabar.
Sampai pada akhirnya, istri Melvin melahirkan, dua anak bayi kembar telah dikaruniakan kepada mereka berdua. Ishirelya menangis memohon kepada sang suami, bahwa ia tidak tega menumbalkan anak pertama ataupun anak terakhirnya, sebagai seorang ibu ia tidak sanggup untuk berpisah dengan dua putranya yang masih merah imut.
Bingung diantara dua pilihan. Membayar hutang pada iblis atau menyelamatkan dua bayi. Melvin Barlett akhirnya memilih untuk menamai kedua bayi tersebut dibantu dengan Ishirelya, kemudian anak terakhir ia berikan kepada salah satu bawahan terbaiknya untuk dibawa kabur setidaknya sampai ke ibukota kekaisaran, dan anak pertamanya ia berikan kepada sang istri untuk dibawa kabur sejauh mungkin bersama pelayan pribadinya.
Ketika dua putranya sedang melarikan diri, Melvin adalah satu-satunya pria yang menyendiri di dalam rumahnya, menunggu iblis itu muncul untuk menagih janji. Lima hari lamanya dia menunggu, kecemasan terus menemaninya, ia berharap keluarganya akan baik-baik saja dalam pelarian.
Tepat pukul dua belas malam, ketika bulan purnama berada di ufuk barat, iblis itu datang menagih janji yang dibalas dengan pemberontakan Melvin. Iblis itu memporak-porandakan rumah mewah Melvin yang berada di Desa Suuyiin, sebagian besar rumah warga pun ikut terkena imbas.
Warga yang tinggal di daerah sana berlari ketakutan ketika iblis menyerang desa, mereka semua berpikir bahwa Melvin sedang menyelamatkan desa, sehingga mereka meminta bantuan kepada beberapa venator untuk menolong Melvin mengalahkan iblis tersebut.
Saat itu Jakob adalah seseorang yang membantu Melvin menangani iblis itu, kemenangan berhasil diraih, membuat nama pria berambut merah muda itu semakin dikenal baik oleh orang-orang di sekitarnya.
Kebaikannya semakin terlihat jelas tatkala pembangunan Desa Suuyiin didanai langsung oleh Melvin tanpa meminta bantuan dana dari Kaisar maupun petinggi-petinggi lain, bahkan beberapa warga yang terkena dampak serangan iblis diberi sumbangan langsung oleh Melvin berupa barang-barang mewah, pria itu memberikan hampir sebagian besar hartanya kepada warga. Menyisakan rumah, sebagian perabotan rumah, dan beberapa lembar uang. Sehingga namanya dikenal sebagai bangsawan yang dicintai oleh rakyat di Wilayah Punohasi.
Ishirelya kembali dengan selamat bersama bayinya, akan tetapi dengan kondisi perekonomian mereka yang tidak stabil, ia tidak bisa menghidupi dua anak sekaligus. Sehingga ia meminta bawahannya yang berada di ibukota untuk tetap di sana, setiap bulan ia memberikan uang untuk kehidupan putranya, dan berharap suatu saat nanti ketika perekenomiannya sudah pulih ia akan membawa kembali putranya.
Sayang saja, di usia Theo yang menginjak lima tahun, Ishirelya meninggal dunia dikarenakan sakit. Istrinya sudah sakit-sakitan sejak masa remaja, meskipun ia sudah menebak akan terjadi sebuah perpisahan cepat atau lambat, kenyataannya pada saat dia meninggal rasanya bagai terkena kutukan seumur hidup.
Kondisi ekonomi yang agak pulih sedikit menjadi kacau. Melvin yang merawat satu anak laki-laki berambut sama dengannya, hanya saja memiliki gaya rambut bergelombang seperti ibunya, merasa sedikit terbebani akan bayangan-bayangan istrinya dari diri Theo.
Menghela napas. Bukan karena ingin membuang putranya lagi, kali ini demi masa depan mereka berdua, Melvin mengatakan bahwa Theo memiliki seorang adik bernama Viktor yang tinggal di ibukota. Kemungkinan bersekolah di akademi sihir di sana. Saat itu Theo merasa senang mendengar bahwa ia memiliki seorang adik, tetapi ketika ia dikirim ke akademi itu, Viktor tidak ada di sana.
Theo tinggal di ibukota bersama pelayan pribadi ayahnya. Entah karena apa rambut merah mudanya dirubah menjadi pirang. Pun karena ia menyebut marganya sebagai 'Bartet' membuat teman-teman seangkatannya tertawa, ia jadi berhenti mengenalkan dirinya dengan nama lengkap, tentu saja ia tidak ingin mendapatkan olokan dari teman-temannya karena tidak bisa berbicara nama belakang.
Selama satu tahun di akademi sihir, banyak hal yang ia pelajari selain mengontrol energi sihirnya, yakni sebuah markas besar venator yang berjuang untuk membebaskan manusia dari sebuah belenggu iblis.
Ia sudah tahu cerita masa lalu keluarganya, karena Theo anak baik jadi ia tidak membenci mengapa orangtuanya melakukan hal itu, tetapi jika di dunia ini tidak ada iblis mungkin saja ia masih bersama adiknya dan ibunya masih hidup.
Di akademi itulah ia bermimpi akan menjadi venator terhebat yang akan muncul. Namun, selama itu juga Theo tidak menemukan keberadaan adiknya! Setiap kali ia bertanya kepada ayahnya di mana Viktor, Melvin hanya menjawab ikatan saudara pasti mempertemukan mereka, dan tentu saja Theo tidak tahu ikatan saudara itu seperti apa!
Lagipula, ayahnya itu seolah tidak berniat mempertemukan mereka berdua, apakah benar Theo mempunyai saudara?
Nyatanya, Theo menyadari perasaan ikatan saudara itu kepada sosok anak kecil yang sedang berlari di depannya. Firasat bahwa anak berambut cepak hitam itu adalah adiknya, dan warna mata anak itu adalah hijau, membuat ia yakin bahwa itu adiknya.
Karena gembira ia bertemu dengan adiknya, ia mengikuti anak itu, dia bersembunyi di balik gang sempit. Karena Theo memiliki kekurangan dalam berbicara, dia memilih untuk melempari Viktor dengan batu kecil, siapa sangka bahwa anak kecil ugal-ugalan itu malah menghajarnya habis-habisan sampai ia babak belur?
Selama ini, ternyata, Viktor dan Theo tinggal saling berhadapan. Selama satu tahun Theo hanya mencari adiknya di akademi, sehingga dia sibuk di sana, dan tidak pernah keluar rumah selain pergi ke akademi. Theo memperkenalkan diri dengan suara cadel, tidak jelas, sehingga membuat Viktor tertawa keras.
Dari sanalah jalinan pertemanan Viktor dan Theo dimulai, hanya saja setiap kali Theo berkata mereka adalah suadara kembar malah membuat Viktor marah, alasannya dia tidak memiliki saudara yang cadel. Di sana jugalah Theo berusaha untuk meyakinkan Viktor bahwa mereka saudara dengan mengusir gadis pirang si pengganggu itu, dengan suara cadelnya ia berhasil menakut-nakuti anak gadis itu, tetapi hal itu juga tidak berhasil menaklukkan adiknya.
Sampai mereka bertumbuh menjadi pemuda dewasa, keduanya sama sekali tidak terikat sebagai saudara, tetapi sebagai teman yang suka saling menjatuhkan.
Melvin menatap dua putranya yang sudah bertumbuh terlalu besar, ia tersenyum bahwa keduanya sama-sama mewarisi gennya dengan istrinya. Mereka benar-benar putranya, hanya saja sifat bar-bar mereka mungkin diturunkan dari dua bawahannya yang menjaga mereka selama ini.
Ishirelya memiliki dua warna mata, hijau dan biru. Hijau diwariskan kepada Viktor, dan biru diwariskan kepada Theo. Warna rambut gelap gulita Ishirelya menuju pada Viktor, sedikit ada corak warna rambutnya juga tumbuh di mahkota kepalanya, akan tetapi wajah tampan dan tubuh atletis itu di dapatkan dari Melvin. Lalu Theo, dia mewarisi kecantikan dari ibunya, pawakan rampingnya juga bawaan dari sang ibu, sedangkan rambut merah mudanya berasal dari gen Melvin.
Melvin sekarang melihat bahwa salah satu putarannya tumbuh menjadi pemuda yang lumayan cantik, dan satunya menjadi pemuda yang sangat tampan, merasa lega bahwa sampai sekarang mereka tetap bisa hidup.
Mendengar fakta panjang yang telah diceritakan sangat detail itu, Viktor mulai merasakan keanehan. Tentu saja ia merasa aneh, seseorang yang ia anggap ayah itu tidak pernah bekerja selama ini, tetapi dia bisa membeli anggur merk termahal sebanyak lima botol perhari. Uang dari mana?
Sekarang ia paham, uang itu didapatkan dari Melvin, yang seharusnya untuk kebutuhan dirinya menjadi untuk kebutuhan mereka berdua. Dasar ayah angkat tidak berguna! Ketika ia bertemu nanti akan ia pukul.
"Dia di mana saat ini?" Teringat bahwa semenjak masuk ke markas besar venator ia tidak pernah tahu keberadaan sosok yang bernama Aidyn Aland. "Di mana mereka berdua?" tanyanya kepada Melvin.
Menyadari bahwa Viktor agak canggung dalam berkata-kata, ia menunjukkan senyuman tipis, kemudian menjawab, "Kalau maksudmu adalah Aidyn, dia sedang menjalankan misi bersama beberapa venator."
"Oh, orang yang hanya tahu mabuk itu tahu caranya bekerja juga, ya!" Dia bersungut-sungut, ia berpikir bahwa pria itu pasti sudah menjadi pengangguran.
Melvin membalas dengan senyuman.
"Kalau Gazza mungkin berada di suatu tempat untuk mengawasi keberadaan Ayah," imbuh Theo untuk memberitahu.
Gazza adalah pria yang menjadi pelayan pribadi Melvin, dia jugalah yang menemani Theo tinggal di ibukota sampai ia menjadi venator di markas besar. Pria itu juga cukup dekat dengan Viktor, sering cek-cok lebih tepatnya, keduanya tidak dapat disatukan sama sekali dan hal itulah yang membuat mereka dekat.
Viktor mengangguk, walau ia juga ingin tahu keberadaan pasti dia saat ini.
Tangan kanan Melvin menyentuh pundak Theo dan Viktor, merubah warna rambut mereka menjadi seperti semula, kemudian dia berkata-kata, "Viktor, kau tidak perlu terburu-buru untuk mengakui aku ayahmu, jalani saja seperti biasanya. Alasan aku merubah tampilan rambut kalian, sebab aku tidak ingin mara bahaya hadir kepada kedua putraku hanya karena warna rambut mereka serupa dengan aku."
Melihat sebuah senyum terbit dari bibir Melvin membuat Viktor terdiam. Ada suatu ikatan yang membuat ia merasa hangat. Apakah ini ikatan ayah dengan anak?
Tidak lama kemudian meraka bertiga kembali ke posisi awal, keluar dari dimensi yang diciptakan Melvin, dan berhadapan dengan seseorang yang sangat familiar. Seorang pria berambut panjang diikat rendah, berpakaian serba hitam, dia membawa pedang. Matanya bagaikan harimau. Dia, Keandre Roger.
"Apa kalian datang untuk bertemu Qenan, juga?" Tatapan yang menekan itu bagai menguliti ketiga manusia yang tiba-tiba muncul di hadapannya entah dari mana. Keandre menatap dua pemuda yang mengapit Melvin, jika tidak salah ingat, keduanya adalah anggota dari Black Wolf.
.
.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar selama tiga gadis sedang duduk termenung di tempatnya masing-masing. Genoveya duduk di atas kasur, mengelus-elus cincin yang ia kenakan, tatapannya menjadi begitu sedih. Alexa dan Oliver sama-sama datang untuk menjenguk, tetapi merasakan keanehan di antara mereka membuat keduanya hanya duduk diam berhadapan, seolah ada jarak di antara ketiganya.
Tidak ada yang melupakan masa lalu mereka. Jauh sebelum tim mereka dibubarkan, sejak awal mereka bertiga berada di dua tim yang selalu bertengkar dan bertentangan, dan sekarang saling berhadapan seolah-olah menjadi suatu ketidakmasukakalan di dunia ini.
Genoveya menghela napas panjang. Merasa cukup terganggu dengan situasi aneh ini. Menatap dua gadis yang masih berdiam diri. "Aku berterima kasih kepada kalian karena mau menjengukku, aku baik-baik saja, jika sudah selesai bukankah lebih baik kalian keluar?" Ia mengusir mereka secara lembut.
Alexa dan Oliver sama-sama menatap Genoveya, keduanya terkejut dengan ucapan pedas gadis itu, kemudian keduanya sama-sama menggelengkan kepala.
"Aku hanya ingin bertanya kepadamu!" Kedua gadis itu sama-sama berbicara dalam waktu bersamaan, Oliver menatap Genoveya, sedangkan Alexa menatap Oliver. Sedangkan Genoveya menatap kedua gadis itu pasrah.
Alexa memalingkan wajah, dengan pipi sedikit menggembung, dia menyuruh Oliver untuk menanyakan sesuatu kepada Genoveya. Lagipula, pertanyaan yang akan ia ajukan sedikit membuat ia merasa malu, tidak, lebih kepada rasa percaya dirinya hilang---tidak juga, mungkin ia merasa iri.
Mendapat izin dari gadis cantik berambut pirang pucat di depannya, Oliver mengembangkan senyum, sesaat kemudian ia menjadi muram.
Merundukkan kepala menghadap paha, jemari lentiknya ia gunakan memainkan gaun biru mudanya, pelan-pelan ia membuka bibirnya.
"Apa Jeri mencintaimu?"
Genoveya hampir tersedak air liurnya sendiri karena terkejut dengan pertanyaan Oliver. Sedangkan Alexa langsung menoleh ke gadis berambut putih susu, bibir ranumnya agak terbuka, dia tidak percaya bahwa gadis itu menanyakan hal konyol itu.
Mendapati dirinya dipandang secara terus menerus seperti itu membuat rasa malu tidak terhelakkan dari dalam dirinya, pelan-pelan pipinya memerah, dan bibirnya terkatup rapat. Menyesal ia bertanya demikian. Menundukkan kepalanya semakin dalam, jemarinya kian lincah, tentu saja ia mati kutu.
Genoveya menyadari sesuatu, baru saja ia menyadari bahwa gadis cantik di depannya ini ternyata mencintai seseorang yang menjadi primadona masyarakat. Wajar saja jika sekelas Oliver memuja Jeri. Pemuda itu meski sangat pendiam, tetapi dia sangat perhatian, dia sering membantu orang-orang tanpa banyak kata dan terlihat seolah dia tidak peduli tatkala sedang melakukan sesuatu.
Banyak gadis yang mendambakan Jeri di beberapa lokasi. Sering Genoveya mendengar bisikan-bisikan manja dari tiap-tiap mulut manis gadis-gadis belia tentang ketampanan Jeri, tetapi karena sifat pendiam pemuda itulah membuat mereka semua tidak berani menunjukkan eksistensi lebih, hanya beberapa perempuan berumur yang terlihat sering menyapa Jeri tanpa sungkan.
Terkekeh pelan, ternyata Oliver adalah salah satu dari sekian banyak wanita yang mencintai sosok Jeri.
Genoveya menepuk punggung tangan Oliver, menatap mata sebiru langit tersebut dengan keyakinan penuh. Mungkin sifat Jeri yang agak terbuka kepada dirinya membuat hati kecil Oliver sedikit tersayat.
"Jeri sedikit merasa cemas hanya karena aku adalah kekasih Gavrill. Apa sangat terlihat di matamu bahwa dia mencintaiku?" tanya jahil Genoveya. Sedikit menggoda Oliver, ia menaik-turunkan alisnya, bibirnya tidak tahan untuk menahan senyum.
Kepala Oliver bagai tanaman putri malu, makin digoda makin merunduk, bahkan dia semakin membisu dan tidak bergerak. Genoveya sebagai sesama perempuan sangat tahu bagaimana perasaan seseorang ketika 'suatu hal yang rahasia' terbuka begitu saja kemudian ternyata timbul kesalahpahaman yang tidak sesuai dengan pikirannya. Jadi, Genoveya tidak berkomentar apapun.
"Dibandingkan Jeri, bukannya masih tampan Len atau tidak anak baru di timmu? Arden? Atau Kallen?" celetuk Alexa. Dia membuat dua gadis lain semakin lebih terkejut, lebih ke Genoveya yang dua kali terkejut, dan Oliver merasa sangat tersinggung ketika Jeri dinyatakan tidak terlalu tampan secara tersirat.
"Bukan apa-apa, aku hanya berpendapat!" Sebelum dirinya ditanyai hal-hal tidak masuk akal, ia langsung mengangkat kedua tangannya sebatas dada, kemudian bergerak ke kanan dan ke kiri. Kepalanya menggeleng-geleng ribut, agak panik melihat ekspresi wajah mereka, ia tidak ingin seperti Oliver.
"Len memang tampan, tetapi untuk Arden dan Kallen? Matamu tidak sedang rabun, kan?" tanggap Oliver merendahkan. Mengingat Arden dan Kallen adalah iblis, ia tidak mau mengakui mereka tampan, meski nyatanya memang agak tampan. Hanya sedikit tampan dari Jeri.
Menghentakkan kakinya ke atas ranjang, dada berukuran sedang itu membusung hingga terlihat lebih berisi, pinggulnya tertarik ke belakang terlihat menarik minat. Sorot mata Alexa menusuk tepat pada titik fokus mata Oliver, dengan sebal dia berkata,"Lebih dari itu, bagaimana kau bisa menjadi kuat?!"
Masih membekas dalam ingatan seorang Alexa bagaimana Oliver bertarung melawan Genoveya yang terkenal tidak mudah dikalahkan, karena pertarungan itu dianggap imbang, ia yang melihat dari tribun penonton merasa seharusnya ia bisa seperti itu bukan sebagai gadis pecundang.
Karena ia lemah, karena ia tidak bisa bertarung, karena ia berada di tim ini ... semua yang terjadi seolah adalah salahnya. Jika saja ia lebih kuat, jika saja ia lebih cerdas, jika saja ia bisa membantu teman-temannya maka ia tidak akan kehilangan apapun.
Tubuh ramping Alexa bergetar, pandangannya menjadi kabur, pelan-pelan dia menjatuhkan kepalanya ke atas ranjang dan sesenggukan. Banyak kata andai, berkali-kali dia meruntuki kata jika di dalam hatinya, tetapi semua itu hanya angan. Ingatannya tentang pertarungan hingga kematian teman-temannya seolah mendarah daging di dalam tulangnya. Ia tersiksa setengah mati.
Baginya hanya dirinya sendiri yang paling lemah di antara Genoveya maupun Oliver, betapa tidak bergunanya ia hingga membuat teman-temannya binasa. Yang hanya bisa ia lakukan adalah menangis, bagai seorang pecundang, Alexa mengutuk takdir.
Alexa yang sedang meratap pada akhirnya mengambil atensi dua gadis di dalam ruangan itu. Seorang gadis berambut hitam memilih memalingkan wajah, berusaha tidak mendengar, meski ingus dari hidung bangirnya sering ia tarik ke dalam. Berbeda dengan Genoveya, gadis berambut seputih susu itu menatap puncak kepala Alexa, dengan lembut ia mengusap rambut dia.
Posisi perempuan yang selalu lebih lemah dari para lelaki kadang sedikit menjadi beban pikiran. Terlebih akhir-akhir ini banyak tragedi yang terlalu menguras emosi, jelas bahwa sebagai seseorang seperti Alexa akan merasa tertekan, sama sepertinya yang juga merasakan putus asa tatkala melihat teman-temannya terbaring hampir tidak bernyawa di atas ranjang kemarin.
"Kau hanya perlu alasan kuat untuk menjadi lebih hebat, Alexa," ucap Oliver lembut. "Seperti halnya aku yang hanya ingin dipandang pantas oleh Jeri, itu yang membuatku kuat."
Alexa mendengar ucapan Oliver dengan jelas. Ia hanya perlu alasan untuk menjadi kuat. Alasan, ia harus mencari alasan. Dalam tangisnya ia berjanji akan menjadi lebih berguna dari sekarang, ia tidak ingin semakin tertinggal oleh teman-temannya, ia tidak ingin hanya menjadi penonton dalam sebuah perkelahian.
Keesokan paginya, seluruh mantan anggota Black Wolf---kecuali Qenan---berkumpul di depan gerbang istana, mereka semua telah siap untuk melakukan pelatihan bersama seseorang yang mengaku bernama Gio.
Sekiranya tiga belas orang berada di depan gerbang, di dampingi dengan Kaisar dan Jakob, sehingga menjadi lima belas orang. Di depan mereka ada Gio yang menghadap mereka, dia sedang melakukan sesuatu terhadap sihirnya.
Gio hanya berdiri, kepalanya menunduk ke bawah menghadap tangannya yang terangkat sebatas dada, dua jari tangan kanannya---telunjuk dan tengah---berdiri dan sisanya tertekuk. Bibir pria itu berkomat-kamit, tidak ada yang bisa mendengar dia berbicara apa, tetapi yang pasti dia sedang merapalkan mantra sihir.
Di ujung jari telunjuknya, tepat di depan bibir Gio, muncul sebuah cahaya hitam pekat kemudian meluas membentuk beberapa lingkaran sihir. Ketika cahaya itu telah pudar, enam orang dengan penampilan beda-beda muncul dari lingkaran sihir yang Gio buat.
Tanpa berkata-kata, tujuh orang asing---termasuk Gio---menyentuh pundak tiap-tiap dua orang, terkecuali Theo yang dipegang oleh satu pria tampan, setelah semua proses selesai baru Gio mengatakan sebuah ucapan, "Kami akan pergi."
Kaisar dan Jakob belum sampai membalas ucapan Gio, mereka semua telah meninggalkan gerbang istana begitu saja tanpa jejak. Alhasil mereka berdua hanya bisa membuang napas, menatap langit, berharap ramalan itu adalah sesuatu yang baik.
"Bukankah ini sudah saatnya Tuan?"
Pada matahari yang masih berada di ufuk timur, pada ombak yang terus menderu di batu karang, pada cipratan air yang terus berusaha semakin liar menyentuh permukaan kakinya, seorang pemuda bermata biru saffir menatap sendu pada gulungan ombak di bawah kakinya.
Mengabaikan pemuda lain di sisinya yang baru saja berbicara, ia lebih tertarik kepada air yang terus berjuang menanjak batu karang, seperti upaya manusia yang berusaha merobohkan dinding besar; kekuatan iblis.
"Tunggu sebentar lagi," jawabnya diiringi dengan senyum hambar, pandangannya melebar semakin luas mencakup ke seluruh permukaan laut, sebelum timbul sebuah seringai kecil pada bibir tebalnya.
15 April 2022
Ersan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top