37 : Seseorang Bernama Xander

"Kau tahu sejarah manusia dan iblis tidak?"
.
.
.

Blarrrr!

Malam yang bermula pada kegelapan, dalam sekejap berubah menjadi pagi, suara ledakan memekakan telinga, menimbulkan sebuah kejadian yang begitu mengerikan. Berlindung di balik batu besar bukanlah upaya yang benar, mata hijau terangnya yang begitu indah binasa menjadi beliak ketakutan, mantra sihir yang terus ia panjatkan berhenti secara terpaksa.

Angin berembus kencang setelah gelapnya malam kembali menguasai. Tubuh Alexa bergetar hebat, kedua tangannya terkulai di samping tubuh rampingnya. Jantungnya berdegap dengan keras, support-nya sebagai pemilik sihir healing tidak membuahkan hasil dan itu sangat membuatnya frustrasi---tidak, bukan ini yang ia pikirkan, tetapi lebih kepada kecewa yang begitu dalam hingga tidak bisa menyebutkan satu kalimat pasti.

Di depan sana, ada dua orang yang terperangkap oleh sihir dari iblis yang mereka hadapi. Keduanya tidak dapat berkutik, mereka adalah Jay dan Henry, temannya yang begitu berharga selain Genoveya dan William yang sudah tewas. Bagai dibelah menjadi dua, Alexa menangis dalam diam merasakan sakit luar biasa, menatap sendu dua temannya yang mengapung di udara.

"Per ... pergilah! Selamatkan dirimu," Dari kejauhan Alexa bisa membaca gerakan bibir Jay dan Henry yang bersama-sama menoleh kepadanya demi menggumamkan hal yang serupa.

Air mata Alexa turun membasahi pipi. Menggelengkan kepala ribut, ia tidak mungkin bisa untuk meninggalkan mereka, ia harus menyelamatkan mereka!

Ketika tubuhnya hendak keluar dari balik batu, Henry tiba-tiba ditusuk oleh sebuah benda hitam besar, menembus tepat di tengah-tengah dada pemuda itu.

Nyatanya, sebuah fakta besar berhasil menampar dirinya! Bahwasanya, sekalipun rasa kecewa hadir pada sudut dirinya, ia sekarang tidak bisa melakukan apapun selain menangis tersedu. Dia tidak memiliki keberanian tekad, ia adalah gadis manja, terlalu pecundang baginya untuk bertarung!

Alexa kembali mundur, tubuhnya bergetar, matanya memburam.

Henry menoleh kepada Alexa yang sedang bersembunyi, menatap khawatir pada teman cantiknya yang sudah sering menolong dirinya ketika kesusahan. Menutup mata, mulut Henry mengeluarkan darah, ia percaya ia tidak akan melihat wajah ayu gadis itu esok hari. Membuka mata, di tengah-tengah ia menjelang ajal, ia menatap Jay yang kondisinya sama seperti dirinya, kemudian menatap Alexa lagi.

Henry mengumpat dalam hati, menghadapi iblis ini adalah keputusan yang salah. Dalam benaknya terdapat ratusan gambar ekspresi wajah teman-temannya ketika bahagia dan mati dalam misi, dan ia akan menjadi salah satu dari mereka, menyusul ke negeri tanpa nama sebagai mayat.

"Sampaikan ini pada Tuan Jakob," perintahnya pelan kepada Alexa, berharap gadis itu mengerti, tetapi yang ia lihat malah dia sedang menggelengkan kepala ribut. Di depan ajal yang berusaha menggapai jiwanya, Henry tersenyum untuk terakhir kalinya kepada gadis yang menjadi saksi bisu permainan gila ini.

"Apakah dia sangat berarti?" Suara iblis itu sangat dalam, matanya menyorot pada batu besar di belakang sana, akan tetapi pandangannya diganggu oleh tulang-tulang Jay.

"Siapa yang kau lihat! Musuhmu ada di depanmu!" pekik Jay. Ada perasaan khawatir di hatinya. Untuk pertama kalinya ia memanjatkan doa, meminta Dewa untuk melindungi Alexa dalam perjalanan pulang.

"Ah, benar, kau di depanku!"

" ... Dan, Dewa tidak akan menyelamatkan kalian."

Tubuh Alexa jatuh ke atas tanah. Sorot mata iblis itu sangat menekan. Hanya dengan sekali tatap, Alexa tahu betapa kuat iblis itu. Merangkak menjauh, jika pengorbanan kedua temannya tidak terbalas, ia tidak ingin melihat dunia saja. Meski sakit menerima, ia harus tetap pergi dari sini, untuk menemui Jakob meminta bantuan.

"Aaarrrrkkk!"

Teriakan keras Jay membunuh perasaan Alexa. Gadis itu berhenti merangkak, dia menoleh ke belakang, di sana pemuda itu sedang dicekik dan darah dari beberapa bagian tubuhnya keluar bagai air mancur.

Tidak ada yang tahu sudah seberapa basah pipi dan dagu Alexa, air matanya tidak pernah surut. Mendengar jeritan terakhir Jay, membuat tubuhnya seakan tercabik-cabik, dan seluruh indranya mati rasa. Menggigit bibirnya hingga mengeluarkan darah, Alexa berdiri cepat, akan ia sampaikan kejadian ini kepada pemburu iblis yang lain. Nyawanya tidak akan jauh dari ini.

Dengan langkah tertatih, dia mulai melarikan diri, meninggalkan Jay dan Henry di belakang punggungnya begitu saja. Alexa menahan isak tangisnya dengan kuat, menekan bibirnya sendiri untuk tidak berbunyi, ia tidak ingin hanya karena ia bersuara---meski itu sangat kecil---akan membuat iblis itu mengetahui keberadaannya.

Alexa tidak menyangka bahwa misi tingkat rendah, mencari beberapa orang hilang, membawanya ke tempat persembunyian iblis. Mungkin saja dia adalah iblis tingkat tinggi yang di katakan di buku sejarah, dia bukan tandingan siapapun, tetapi ia berharap Jakob atau petinggi yang lain sanggup membinasakan iblis itu.

Andai saja ia lebih kuat dari ini, andai saja ia tidak hanya menguasai sihir penyembuhan, mungkin saja teman-temannya tidak akan berakhir seperti ini. Acap kali mereka bertemu dengan pertarungan, ia selalu berada di belakang, hanya melihat punggung teman-temannya yang semakin tangguh bersama dirinya yang terus memulihkan stamina sihir mereka.

Dulu menatap punggung teman-temannya adalah suatu kebanggaan, karena baginya mereka tidak akan maju sejauh itu jika tidak dibantu dengan support-nya. Sekarang ia menyadari, bahwa punggung-pungggung yang ia kagumi sudah dilahap oleh warna merah, dan ia sangat membencinya sekarang.

Di tim ini, di Holy Eagle, sejak awal seorang Alexa Beatrice adalah seorang pecundang yang tidak bisa berbuat banyak untuk tim dan kemenangan umat manusia. Betapa menyakitkan fakta yang melahap pikirnya saat ini, sehingga ia terus menyalahkan diri sendiri, sebab mungkin saja anggota timnya binasa semua karena ia tidak becus dalam bekerja.

"Persetan dengan ideologi tim!" tangis Alexa dalam hati. Batinnya yang menjerit, menjadi pilu pada rasanya.

Langka kaki Alexa dipercepat. Ia harus menuju istana, meminta mereka untuk menghubungi markas.

Jauh di belakang punggung Alexa, ada sesosok yang berdiri tegap di atas batu besar, menatap tubuhnya yang kian mengecil dari jarak pandang sosok itu. Seringai muncul pada bibir iblis, kemudian siluet jahat tersebut berkata, "Melepaskan satu buruan demi buruan lain, itu tidak buruk!"

Di sisi lain, Qenan beserta kawan-kawannya secara bersamaan menatap ke belakang setelah merasakan adanya kilatan cahaya. Aura berat tiba-tiba muncul. Burung-burung terbang menjauh dari suatu tempat di belakang Perpustakaan Secretbok's.

"Kalau dipikir-pikir, tim Holy Eagle menjalankan misi di sekitar sini, kan?" Daniel menatap langit yang menjadi suram. Padahal mereka hampir sampai di perbatasan Desa Reelbok dengan Desa Gureen, akan tetapi di belakang sana tampaknya mengkhawatirkan.

Qenan memalingkan wajah ke depan, pura-pura tidak melihat, meski sebenarnya ia ingin sekali berlari ke arah sana untuk mengetahui penyebab aura menekan ini. "Aku yakin, sekelas mereka mampu mengalahkan musuhnya" yakinnya dengan wajah paling serius.

Daniel ikut mengangguk, sedangkan Arden merasa suram. Iblis yang dibawa Qenan dan Daniel itu menunjukkan wajah menggelap, matanya menatap ke sumber cahaya tadi dengan bola mata bergetar.

"Namun, aura ini sedikit berbeda dari aura iblis yang aku tahu," gumam Arden.

Qenan dan Daniel menatap Arden penuh tanda tanya, seolah dari pandangan mereka tertulis. "Apa maksudmu?" Yang hanya dibalas Arden dengan gelengan tidak mengerti sebagai jawaban.

Mereka pun mengambil keputusan untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju Pulau Veen, memprioritaskan Oliver terlebih dahulu, daripada sesuai yang terjadi di belakang perpustakaan. Mereka juga mengabaikan warga yang berlarian masuk ke dalam rumah karena kecemasan mereka tentang cahaya tadi.

°°ρђลиэяล°°

"Kita harus menemui seseorang bernama Xander bukan? Tapi, di mana dia?" tanya Theo sambil menoleh ke sana-sini mencari keberadaan seseorang.

Setelah mereka usai melalui hutan mengerikan, akhirnya keenam pemuda itu telah berdiri di tanah yang menjadi tujuan mereka datang. Mereka semua menatap tanah lapang di hadapan mereka, sejauh mata memandang, tidak ada satupun jenis bangunan yang berdiri. Semua roboh.

Terakhir kali mereka ke sini minggu kemarin, kondisi pulau Xeenoon tidak rusak parah seperti ini, maksudnya tidak selapang saat ini. Meski dulu tidak ada bangunan yang berdiri, masih ada bekas dinding yang berdiri, sedangkan sekarang sudah sepenuhnya tidak ada benda yang menancap.

Bekas pertarungan juga seakan masih hangat di sekitar sini. Dahulu ini adalah pemukiman warga, sejak serangan zombi awal bulan kemarin, hampir keseluruhan warga menjadi mangsa zombi dan sebagian kabur ke Hutan Mysticum. Dalam satu malam pulau kecil ini tidak berpenghuni, ada yang memilih mati dimakan zombi, atau binasa di kedalaman hutan mengerikan.

Keenam pemuda itu berjalan maju, menelusuri rumah warga yang telah menjadi satu dengan tanah, perasaan berat menghantam benak mereka. Terkecuali dengan Kallen. Saat pertama kali mereka berhadapan dengan zombi di tempat ini, mereka masih bisa menyelamatkan dua puluh orang yang secara beruntung bisa selamat dengan bertahan hidup bagai binatang. Dari pengakuan salah satu dari mereka, mereka rela memburu zombi untuk dimakan, karena kebutuhan pangan sudah diludeskan oleh kelompok itu.

"Kalian!"

Terjingkat kaget, Viktor dan Kartel mengelus dada bersamaan, menghela napas berat. Sisanya langsung menoleh ke belakang, di mana ada pria berpakaian serba hitam sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Keenam pemuda itu berjalan mundur selangkah, sorot mata merah menyala milik seseorang yang sedang mengarah pada tim Jeri menjadi bahan kecurigaan.

Jeri menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas siapa yang datang ke arah mereka. Sinar bulan tidak bisa untuk menyinari wajah pria itu. Dia mengenakan sebuah kain yang menjuntai untuk menutupi kepalanya, sehingga tidak ada yang tahu bentukan wajah di balik bayang-bayang kain.

"Jangan seperti itu, kalian menyakiti hatiku," katanya ramah. Tepat setelah kakinya menapak di hadapan enam pemuda tampan, dia membuka tingkap pada kepalanya, menunjukkan helai rambut merah panjang. Mata berwarna delima. Mempunyai mimik wajah yang santai dan tegas secara bersamaan. Senyum merekah di bibir pria itu.

"Apa Anda Tuan Xander?" Viktor maju selangkah, menatap pria di hadapannya dengan teliti, takut-takut kalau sebenarnya dia iblis yang sedang menyamar.

"Tentu, apa kalian tim yang Tuan Jakob kirimkan?" Kini gantian Xander yang menaruh rasa curiga kepada kumpulan manusia di sekelilingnya.

"Berhenti saling mencurigai," larang Kartel. Kedua tangannya berada di depan dada, bergerak secara teratur ke kanan dan ke kiri, wajahnya juga menunjukkan senyum terpaksa.

"Apa tugas kami? Di mana para bedebah sialan zombi itu! Biar aku pukuli sampai mampus!" Fried memutar tubuh, menatap sekeliling dengan penuh binar, kedua tangannya siap menumbuk.

Theo menatap ke sekeliling, mencoba mencari tahu yang sedang dicari Fried.

Mengerti bagaimana Fried bersemangat, membuat Xander tersenyum tipis, setidaknya dahulu saat ia masih muda juga pernah seperti Fried. "Sebelum itu, mari kita pergi dahulu ke markas untuk membicarakan ren---"

Dalam sekejap mata ratusan zombi muncul dari arah barat, berjalan mendekati mereka, merusak apapun yang mereka lewati dan membuat ucapan Xander terpotong.

Fried tersenyum lebar, matanya menyalak-nyalak. "Kita tidak bisa membuat rencana sekarang, kan?!" Menatap Xander dengan mata bulatnya, pemuda berambut putih jabrik itu kemudian melompat tinggi bagai akan menyentuh bulan, kemudian menyerang zombi tanpa aturan.

Theo dan Viktor mengikuti langkah Fried, mereka langsung bersatu dengan zombi tanpa meminta izin kepada Jeri.

"Mereka tidak bisa diberitahu, kan?" Menatap Jeri sekilas, Xander menatap kekacauan di depannya dengan bangga.

Jeri hanya bisa merundukkan badan, tidak bisa berkata apa-apa untuk meminta maaf atas tindakan pengacau ketiga temannya.

"Aark!"

27 Oktober 2022,

Ersann.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top