32 : Fried Vs Everton

"Kau tahu sejarah manusia dan iblis tidak?"
.
.
.



Rencana untuk menambahkan dua iblis ke dalam tim Jeri telah didengar oleh seluruh anggota Black Wolf, tentu saja mereka langsung tercengang mendengar keputusan Jeri, meski ketua tim mereka tidak peduli dengan aksi demo beberapa oknum, tetapi masih ada sebagian dari mereka yang kontra dengan penambahan Kallen dan Arden di dalam tim.

Alasan utama karena mereka iblis murni, tidak seperti Kartel yang masuk kategori half-demon. Alasan lain karena bukan Jakob sendiri yang memutuskan dua iblis itu masuk ke tim mereka, seluruhnya merasa khawatir jika nyawa tim mereka terancam, bahkan sekalipun Jeri yang menaruh janji akan menyelamatkan mereka, takkan ada yang mau menutup kemungkinan mereka akan binasa.

Omelan-omelan dari anggota timnya tidak dipedulikan oleh Jeri. Ketua tim itu langsung pergi menuju ruang rawat Genoveya, membuat anggota tim semakin tidak kondusif, terlebih Rafe dan Kartel yang terlihat memucat.

Di kamar Genoveya kali ini Jeri berdiri.

Gadis berambut hitam panjang, dengan poni yang menutupi seluruh keningnya, dia terbaring di atas kasur bersama selimut yang memeluknya erat. Genoveya menatap Jeri, seseorang yang tidak dia sangka kehadirannya.

Beberapa saat setelah kedatangan pemuda yang menjadi ketua tim tingkat dua, dia membiarkan kedinginan merayap di antara mereka berdua, Genoveya memberi kesempatan pada Jeri untuk memulai percakapan. Namun, tidak semudah itu, sebab Jeri sama sekali tidak mengatakan apapun sampai menit ke tujuh. Membosankan berhadapan dengan pemuda pendiam seperti Jeri.

Genoveya juga merasa risih ketika melihat Jeri berdiri diam di sampingnya sambil terus mengamatinya. Seolah-olah ia sedang ditelanjangi hanya dengan menggunakan tatapan mata datarnya, itu membuat ia merasa tidak nyaman.

Terkekeh pelan, mencairkan suasana hening di ruangan kecil ini. Genoveya menatap perubahan sorot mata Jeri. "Menyedihkan sekali satu atap denganmu," katanya meledek Jeri.

Tak mendapat balasan, Genoveya melapangkan dada, sudah seperti itu sifat Jeri. Pelan-pelan pandangan Genoveya menjadi buram, ada sedikit air mata yang lolos dari pelupuknya, kedua tangan yang bersembunyi di balik selimut saling meremas. Memalingkan wajah, seketika air matanya benar-benar tumpah ruah ke bantal putih.

"Jangan merasa kasihan kepada timku. Aku tahu, kau mungkin akan meminta maaf karena Qenan tak sengaja membunuh William. Atau mungkin kau sedang merasa kasihan karena kondisiku yang hampir persis dengan Oliver. Sangat lucu bukan, tim yang selalu bersikap sombong pelan-pelan hancur seperti ini?" cerca Genoveya.

Gadis itu sibuk mengusap air matanya. Dia membelakangi Jeri, berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya, akan tetapi tingkahnya begitu terlihat kontras dengan ketegarannya.

Sebagai sesama ketua tim, Jeri merasakan kegelisahan, dan rasa takut kehilangan yang dirasakan Genoveya. Meskipun demikian, ia tak bisa membantu apa-apa. Kelereng berwarna gelapnya meniti pada gerak tubuh Genoveya yang kacau akibat usahanya dalam menenangkan diri.

"Apa arti hidup dan mati bagimu, Genoveya?" tanya Jeri lirih. Dia menundukkan kepala, matanya melirik ke bawah, mengamati sepatu karet kepunyaannya.

Hening.

Genoveya berhenti menangis. Jeri masuk dalam pikirannya sendiri. Dua ketua tim itu mengolah arti hidup dan mati bagi para penyihir di pikiran masing-masing. Di dunia yang amat kacau; pada hati yang mempunyai filsafat, juga pada tekad yang punya keberanian untuk memenangkan pertarungan. Arti hidup dan mati seolah menjadi pedang bermata dua bagi tiap-tiap penyihir, banyak arti terselubung yang tak bisa disatukan, tetapi ketika disatukan hanya menimbulkan duka yang mendalam.

"Apa arti kehilangan Gavrill bagimu, Jeri?" Bukannya menjawab pertanyaan Jeri, Genoveya malah memberi pertanyaan kepada pemuda di belakangnya, mungkin sebagai ajang balas dendamnya.

Atau mungkin, Genoveya tidak menemukan jawaban yang pas tentang arti hidup dan mati. Lebih cocoknya, Genoveya tak punya kata-kata untuk disampaikan kepada Jeri, sebab ideologi mereka berbeda, dan tak mungkin perbedaan itu menjadi sama.

Mendongakkan kepala. Sorot mata Jeri menelisik punggung Genoveya yang tertutup selimut putih. Bibirnya terbungkam. Hatinya tidak punya kekuasaan untuk mengungkapkan hal itu. Semacam trauma.

"Kau terlihat baik-baik saja," respon Jeri tenang tanpa menunjukkan adanya perubahan emosi di dalam jiwanya. "Atau kau sedang terluka efek dari penggunaan tanda di keningmu?" lanjutnya.

Genoveya menutup mata. Netranya melirik Jeri dari ekor matanya. "Aku tidak baik-baik saja," jawab Genoveya.

Jeri membalik badan. Melangkah pergi keluar dari ruangan. Sebelum dia benar-benar pergi, dia berhenti sambil memegang kuas pintu, menoleh ke belakang pada Genoveya. "Apa kau menjual tubuhmu pada iblis? Semoga kau tidak mengalami kecacatan."

Setelah selesai berucap, Jeri melenggang pergi, tak lupa menutup pintu ruangan dengan rapat.

Membaringkan badan. Menatap langit-langit ruangan. Genoveya menatap pintu yang tertutup dengan tatapan datar. Kedua tangannya terangkat menuju dada, saling meremas seolah mencemaskan sesuatu, ucapan Jeri berhasil menggeledah seluruh perasaan takutnya.

Acara turnamen praktik mengalami sedikit pengunduran waktu, untuk menguburkan jenazah William di kuburan khusus bagi para penyihir pemburu iblis, terletak di perbatasan Desa Yeresmiel dengan Desa Tiggal---sisi barat markas venator.

Suasana duka mengharu biru, para hadirin mengenakan pakaian serba hitam untuk menyuarakan bela sungkawa mereka, lantunan doa mereka persembahkan untuk William. Rajutan bunga mempercantik makam orang yang telah gugur, menandakan kasih sayang untuk mendiang, juga harapan harum untuk generasi yang telah tutup usia.

°°ρђลиэяล°°


"Senang rasanya bisa bertemu dengan Kak Fried lagi."

Pemuda tampan berdiri tegap di hadapan Fried. Dia memiliki rambut merah jabrik, matanya begitu lancip, dan yang paling khas adalah cara dia tersenyum. Senyumnya begitu lebar, bibirnya yang agak tebal seolah memenuhi wajahnya yang ramping, matanya ikut menyipit membentuk bulan sabit.

"Lagi?" Alis Fried menukik tajam. Kedua tangannya menyilang di depan dadanya yang membusung. Dia mengamati pemuda yang memiliki tinggi sedikit melebihi tingginya. Sejauh ini, dia tak pernah bertemu seseorang yang bernama Everton, bahkan wajahnya asing di ingatan, lantas mengapa ada kata 'lagi' yang terucap di mulut Everton?

Wasit seperti biasa, berdiri menjulang di antara dua peserta yang saling berkenalan, seperti biasa pula ia memperkenalkan peserta yang akan bertarung.

Tangan kanan wasit terangkat menunjuk Everton, kemudian dia berteriak lantang, "Pertandingan selanjutnya adalah, Everton dari White Tiger, melawan Fried dari Black Wolf." Kemudian tangan kiri dia terangkat menunjuk Fried.

Bibirnya bergerak ke samping. Ingatan Fried buruk, dia sama sekali tidak mengenal Everton. Mendecih pelan. "Maaf saja, aku sama sekali tidak mengenal dirimu. Namun, siapa tahu ketika kau lebih kuat dariku, aku bisa mengenalmu." Tangan Fried terangkat, menunjuk Everton menggunakan jari telunjuknya.

Everton tersenyum tipis, sangat tulus menunjukkan perasaannya, terlebih tatapannya menjadi lebih bersemangat. Tak peduli seberapa sombong sosok di hadapannya, dia terkesan akan itu semua, dari sorotan matanya terlihat tengah merindukan seseorang.

"Akan aku buat Kak Fried mengenalku," kata Everton sambil mengambil ancang-ancang, tak lupa mata sewarna api itu menatap pergerakan tangan wasit yang mulai menyatu di udara.

"Dimulai!" Wasit melompat tinggi, terbang bagai burung, memantau pertandingan dari langit.

Fried seperti biasa, melakukan gerakan brutal untuk menyerang. Dia langsung melakukan tinjuan cepat mengarah pada Everton, bola mata Fried melebar, kemudian dia melompat mundur.

Pukulannya tidak mengenai Everton, ah, tidak! Lebih tepatnya ada dinding tak kasat mata yang menghalangi tinjunya. Menyeringai. "Ah, aku ingat, kau bocah waktu itu, 'kan? Si pemilik sihir penghalang mutlak. Senang bertemu denganmu lagi, dan apakah kau tumbuh cukup kuat untuk mengalahkanku?"

Fried semakin menyeringai, dia menatap lawannya dengan tatapan menyipit, mengawasi pergerakan Everton tanpa sungkan.

Kedua tangan Everton yang membentuk tanda silang di depan wajahnya pelan-pelan menurun, sihir penghalang yang ia buat juga langsung lenyap.

Kepala pemuda itu mendongak, senyumannya makin menawan, setelah itu dia berbincang, "Senang Kakak mengingatku dalam waktu singkat. Aku selalu mencari Kakak selama ini, sangat tidak menyangka kalau Kakak masuk di markas ini, dan bergabung dengan tim hebat. Oleh karena itu, di pertandingan ini, aku menantangmu untuk mengalahkan aku!"

Jari telunjuk Everton menunjuk Fried.

Fried tertawa keras. "Baiklah, baiklah!"

Di bangku penonton ada Theo yang sedang memancingkan mata, dia merasa tidak suka dengan sifat Everton. "Sombong sekali dia," ketusnya.

Jeri berdiri di belakang Theo, menatap arena tarung dengan tatapan seperti biasa, ia menanti pertandingan mereka.

Sudah tahu sihir yang dipakai musuhnya, Fried merendahkan postur tubuhnya, kakinya sedikit tertekuk siap melompat tinggi. Kedua tangannya mengepal bersiap mengeluarkan sihir. Entah siapa yang menang di sini, Everton dengan sihir penghalang mutlak, atau dirinya si penghancur apapun.

Menyeringai lebar, wajah Fried menjadi penuh obsesi yang membuat teman-temannya terkejut dengan perubahan wajah langkanya. Melompat tinggi seolah menapak angin, sinar cahaya berwarna ungu muncul di kedua tangannya, memunculkan sebuah gada berwarna emas dengan ukuran yang hampir mirip dengan tubuh Fried.

Mata Everton membola sekilas. Kedua tangannya telentang, dalam sepersekian detik tubuhnya berada di dalam kubah penghalang berwarna hijau transparan. Menghadang gada jumbo Fried, menghasilkan suara dentuman nyaring, juga efek sihir yang menyalak bak api.

Everton memperkokoh sihirnya, dan Fried berusaha menyerobot masuk menghancurkan penghalang yang Everton pakai, keduanya melakukan hal terbaik bagi mereka.

Di mata penonton, Everton tangguh dengan sihir penghalang mutlaknya, dan Fried hebat dalam upaya penghancurannya. Sihir penghalang, atau sihir pencipta, siapa yang akan menang kali ini?

Fried memukul sekali lagi kubah penghalang di depannya menggunakan senjata yang ia genggam, kemudian dia turun ke atas pasir, kembali melompat kemudian. Uniknya puncak kubah penghalang ini bisa ia tapaki, membuat dia merasa mendapatkan rezeki.

Everton mendongak, menatap Fried yang menginjak-injak kubah di atasnya. Apa yang sedang dia lakukan? Sedang mengkaji sihirnya?

"Sihir seperti ini takkan bisa mengalahkanku," kata Fried tegas, dia langsung bergerak cepat bagai banteng yang sedang mengamuk, memukuli seluruh permukaan kubah sihir milik Everton menggunakan gada yang ia bawa.

"Seperti biasa, dia menyerang tanpa berpikir banyak," komentar Daniel sambil mengurut pangkal hidungnya.

Rafe dan Kartel terkekeh, keduanya menikmati bagaimana Fried begitu brutal menghajar kubah sihir Everton.

"Begitulah kalau monyet dalam wujud manusia," ejek Theo sembari menyeringai.

Everton menggerakkan bola matanya sesuai dengan pergerakan cepat Fried dalam menyerang kubah sihirnya. "Kubahku takkan bisa hancur hanya dengan pukulan itu, sihir penghalang mutlak takkan pernah gagal dalam menghalangi serangan!" serunya dengan hati bangga.

Mendengar bagaimana dia berbangga hati, Fried menghentikan pergerakannya, berdiri tegap di atas kubah sihir, kemudian menunduk menatap Everton. Keringat jatuh menetes pada sepatu kain yang ia pakai, ia sudah menyerang kubah ini beberapa menit tetapi memang tidak memberikan efek apapun, pelan-pelan rasa kagum menjalar di hati Fried.

Tangan kanan Fried yang memegang gada terbuka lebar melepaskan senjata yang ia bawa, gada itu hilang dalam sekejap mata, dia paham takkan bisa menghancurkan sihir Everton dengan gada.

"Apa yang kau rencanakan?" Viktor mengusap dagu, ia ikut menelaah agar ia tahu kelemahan dari Everton. Benar kata Carl, untuk ukuran anak tingkat satu, Everton termasuk kuat karena bisa bersaing dengan Fried yang terkenal ugal-ugalan.

"Sihir anak itu menguntungkan saat melawan Fried. Coba saja kalau dia tidak mempunyai sihir penghalang, sudah pasti bocah itu akan terkena sihir Fried berulang kali," seloroh Len.

Tangan kanan Fried terangkat ke langit, kepalanya terdongak, cahaya ungu terang melesat memenuhi langit. Membuat para penonton bertanya-tanya, Everton mengawasi dengan teliti, dan tiga petinggi menyipitkan mata mengawasi Fried---mereka masih takut kalau akan terjadi kasus kematian lagi.

Seluruh mata melotot kagum tatkala ribuan pedang berjatuhan dari langit menghantam arena, jatuhnya pedang-pedang itu berpusat pada kubah milik Everton. Itu terlihat seperti payung yang sedang menghadang hujan lebat.

Carl takjub dengan sihir Fried, tetapi ia khawatir dengan keadaan temannya. "Konsekuensi menciptakan benda besar dan jumlah banyak adalah konsumsi energi sihirnya menjadi sangat boros," nilainya sambil menyipitkan mata ke arena, mencoba mencari keberadaan Fried.

Kartel menoleh pada Carl, kemudian memberi ulasan, "Dia akan seperti Qenan, kehabisan energi sihir, bukan?" Yang dibalas anggukan cemas dari Carl.

Everton menggigit bibir dalamnya. Ukuran dan ketajaman pedang-pedang itu seolah sudah diukur untuk menghancurkan penghalangnya, berat nan tajam, membuat ia harus memulihkan ketahanan sihirnya. Keringat dingin menetes membasahi pelipis, ternyata Fried sebrutal itu dalam menyerang, pantas kabar negatif selalu menyerang Fried.

Di Black Wolf, ada satu anak yang merugikan tim. Dia suka menghancurkan apapun, melawan aturan demi obsesinya untuk menghancurkan lawannya.

Dan sialnya, Everton melawan anak itu.

Menatap ribuan pedang yang jatuh menimpa kubahnya, mata Everton menatap cemas pada sisi kiri kubah yang terlihat mengalami retakan kecil, ada sebilah pedang yang menancap masuk ke dalam kubah. Menggerutu, "Sial, mau sampai kapan pedang-pedang itu berjatuhan?"

Sebelum Everton bergerak untuk mempertahankan diri, sebuah pukulan keras mendarat di dagunya, membuat ia terlempar ke belakang. Kubah sihir yang ia buat langsung lenyap, tubuhnya yang terbaring di atas tanah harus rela mendapatkan tumpukan pedang. Dia tak bisa menghindar, hingga perutnya tertancap satu pedang.

Penonton tercengang.

Pedang-pedang itu kemudian hilang, menunjukkan Fried yang berdiri tegap dengan membawa sekop besar di tangan kirinya. Pemuda berambut putih jabrik itu menyeringai lebar, kemudian menghela napas panjang, dia terlihat sedikit pucat dari yang tadi.

Pelan-pelan dia terbangun, meski pedang telah hilang dari perutnya, luka bekas tusukan pedang masih terasa menyakitkan. Everton duduk di atas pasir dengan wajah meringis, ia menatap Fried. Dia lumayan licik dengan menjadikan hujan pedang sebagai pengalihan, sedangkan Fried sibuk menggali lubang di bawah kubahnya, sungguh Everton tertipu.

"Lumayan," puji Aaric sambil tersenyum tipis.

Melangkah ke depan dua langkah, kemudian langkah kakinya terhenti akibat dari ulah Everton yang memenjarakan dirinya di penghalang berbentuk kotak. Apa Fried harus melubangi tanah lagi?

Fried melubangi tanah lagi, hendak kabur dari kuncian sihir Everton, tetapi---mata Fried menatap lawannya intens. "Kau merubah jangkauan sihirmu?"

Merasa jengkel, Fried mendengus kesal. Bahkan sihir penghalang Everton mampu menembus tanah, mungkin dia tidak ingin lagi merasakan terkena pukulan dari bawah tanah.

Masih dalam posisi duduk di atas pasir, Everton tersenyum lebar meremehkan Fried. "Apa yang akan kau perbuat? Setiap lima detik, ruang penghalang akan semakin mengecil, jika kau tak segera keluar dari sana maka tubuhmu akan hancur karena terhimpit penghalangku!"

Mata ungu tua Fried menyipit tajam, mulutnya terbuka lebar, benar kata Everton, ruang di dalam penghalang sudah mengecil. Tidak hanya itu saja, udara di sekitarnya juga seolah menghilang, kali ini ia telah kalang kabut mencari jalan keluar.

"Bocah laknat," umpat Fried, membuat Everton terpingkal di tempatnya.

Dikeluarkannya tombak, digunakan untuk melakukan tusukan pada dinding penghalang, tapi malah penghalang semakin menyempit. Mata Fried menyorot tajam pada Everton yang menyeringai. Tanpa bertanya ia sudah tahu, jika ketika di dalam penghalang ini melakukan perlawanan atau tidak, hasilnya tetap sama!

Yang berbeda adalah ketika kau melawan, penghalang ini semakin banyak menyita ruang, semakin cepat menciut. Ruang yang tersisa di sekitar Fried hanya tinggal menunggu lima belas detik untuk tubuhnya hancur terapit oleh penghalang ini. Kondisi hidup dan mati, tidak dipergunakan untuk coba-coba, kepala Fried terasa panas.

Everton tersenyum pongah di tempat dia berpijak. Dia kini berdiri dengan tangan kanan yang menyentuh perutnya yang terkena pedang, sedangkan tangan kirinya terus mengaktifkan sihir untuk mempersempit jarak, ia berharap Fried mengaku kalah.

"Aku nggak akan kalah!!" teriak Fried dengan nada yang begitu dalam, serak, dan kaku. Seluruh suaranya seolah dipaksa keluar demi menunjukkan tekadnya. Kedua tangannya terangkat ke atas, mulutnya menggeram keras, disusul dengan bola mata Fried yang memutih semua.

Tepat di atas kepala Fried, muncul sebuah batu besar yang terus berkembang, mendorong penghalang untuk tidak bergerak mempersempit ruang. Dinding penghalang dan batu besar miliknya saling berlomba-lomba untuk merebutkan ruang di sekitar Fried, sangat tangguh, hingga pada akhirnya sihir Fried berhasil memecahkan penghalang yang memenjarakan dirinya.

Tidak memberikan istirahat, Fried melemparkan batu ciptaannya ke Everton, terlempar cukup keras bagai meriam mengarah pada lawannya.

Everton menghalangi tubuhnya dengan kubah penghalang lagi, membuat batu yang terlempar ke arahnya terpental ke arah lain, tak bisa menembus pertahanannya. Tangannya terlentang, matanya menatap tajam tubuh Fried, ia takkan tertipu. Tidak ingin dikelabuhi seperti kejadian pertama tadi. Lagipula, di bawah tanah juga sudah ia beri penghalang.

Fried dengan tampilan serupa, mata masih memutih, terus melempari Everton menggunakan batu-batu yang ia ciptakan. Ukuran batu-batu itu bervariasi, berat batu juga dapat diketahui dalam sekali pandang, akan tetapi tidak ada yang berhasil memecahkan penghalang Everton.

Everton belajar dari kasus yang pertama, di mana saat hujan pedang mengancam nyawanya. Dia akan langsung memperbaiki ketahanan penghalangnya, supaya batu-batu itu tidak menembus pertahanannya. Mengusap keningnya yang penuh dengan peluh, ia sedikit merasa lelah, meskipun dia merasa terhibur dengan pertandingannya.

Merasa sia-sia, Fried menyatukan kedua tangannya di atas kepala, kemudian secara pelan-pelan kedua tangannya turun hingga mencapai dada. Tragedi mengerikan seketika terjadi, seluruh penonton ketar-ketir, sebab di langit dipenuhi oleh satu batu yang sangat besar hingga langit tak menunjukkan birunya.

Mata Everton melebar, batu besar itu pelan-pelan turun untuk menghantam penghalangnya. "Gila, aku takkan bisa menahan serangan sebesar itu!"

Kartel mendongak, menatap benda besar itu semakin mendekati puncak kepala mereka, itu seperti bulan yang akan jatuh ke bumi. Mengerikan. "Fried akan membunuh kita juga?" protesnya.

Len, Aaric, Carl, Daniel, dan Jeri berdiri di dinding penghalang antara arena dengan bangku penonton. Mereka bersiap untuk menghentikan batu itu.

"Aku tidak menyangka Fried menunjukkan perkembangannya, ini sangat gila!" Bukannya bersiap-siap untuk menghentikan batu itu, Viktor malah memuji kemampuan temannya sambil bertepuk tangan, lebih gila dari apa yang dilakukan Fried.

"Lakukan dengan cepat, jangan sampai ada yang salah langkah!" perintah Aaric pada teman-temannya. Jika Fried dibiarkan, sudah pasti mereka semua akan ikut penyet ditimpa batu itu.

Nicolaus muncul di tengah-tengah arena, merubah wujudnya menjadi lebih besar dari manusia umumnya, menjadi raksasa untuk menahan batu itu supaya tak turun. "Kenapa turnamen ini menjadi sangat sinting!" berteriak emosi, Nicolaus menatap batu di atasnya dengan tatapan marah.

Di saat bersamaan, Carl melompat turun, meninju perut Fried hingga pemuda itu terjatuh ke dalam dekapannya, keadaannya tidak sadarkan diri. Carl tak memedulikan temannya, ia langsung mendongak ke langit.

Orang-orang yang menjadi saksi betapa besar pengaruh turnamen saat ini, juga bagaimana gilanya batu di atas sana sedang ambles turun, mereka tidak berani mengambil langkah sebab kedua kaki mereka telah lemas.

Turnamen saat ini diawali dengan pertandingan mengerikan antar perempuan, ditengahi oleh tragedi hingga menimbulkan nyawa, diakhiri oleh hal gila lain. Padahal tiga puluh menit yang lalu baru terjadi pemakaman hingga penonton di tribun mengurang, sekarang para penonton yang tersisa hampir saja menyaksikan korban jiwa lagi, bukankah ini terlalu berlebihan?

"Tidak mungkin, batu itu masih ada?"

Biasanya jika penggunanya sudah tidak sadarkan diri, sihir yang dia pakai juga akan lenyap. Carl bergumam, "Jangan-jangan---"

"Dia memakai sihir keabadian, yang mana bisa membuat benda ciptaannya tetap nyata meski penggunanya telah mati!" seru Nicolaus.

Batu yang ditahan Nicolaus seketika hancur. Penyihir tingkat dua dan pertama menyerang batu itu dengan sihir mereka. Everton langsung mengerti tanpa disuruh, dia langsung melindungi seluruh penonton, dan Carl beserta Fried menggunakan sihir penghalangnya.

Everton menghela napas, otot-otot di tubuhnya muncul di permukaan kulit, ia sudah kehabisan energi sihir jika ini terus berlanjut.

Batu-batu gugur ke atas penghalang yang Everton ciptakan. Kartel hanya bisa berdiri mematung, membiarkan teman-temannya menghancurkan batu, sedangkan dirinya terpaku dalam ketakutannya. Banyak hal yang ia lihat dari pertandingan ini, mereka semua memiliki kekuatan mengerikan, hingga ia merasa merinding.

Choky memindahkan seluruh puing-puing batu keluar dari koloseum menggunakan sihir telekinesisnya.

Ledakan besar terjadi, Choky merubah wujudnya menjadi manusia normal setelah meninju batu yang tersisa di langit, dia tersenyum bangga ketika seluruh murid kemudian bersatu untuk menghancurkan batu yang ia hancurkan untuk diperkecil lagi.

"Seharusnya aku bisa memindahkan batu itu ke luar dari sini, tetapi ukurannya terlalu besar, aku takut jika rumah warga tertimpa." Choky berjalan mendekati Nicolaus, tersenyum ramah pada temannya yang seolah meminta penjelasan.

Nicolaus mengangguk paham, ia kira Choky memang tidak ingin memindahkan batu itu segera.

Everton membuka dan menutup matanya, ia sudah tidak bisa untuk terjaga, kesadarannya sudah di batas ambangnya. Tubuh Everton jatuh, sihir penghalangnya hilang, lututnya menyentuh tanah duluan. Kemudian ia terjungkal yang selanjutnya ditahan oleh Jakob.

Sayup-sayup ia mendengar ucapan terimakasih dari Jakob, Everton tersenyum tipis, sebelum membiarkan kesadarannya terenggut.

Carl menatap wajah pucat Fried yang ia baringkan di atas pasir, kemudian meniti pada teman-temannya yang memutari dirinya dan Fried. Ia duduk di atas pasir, menjadikan pahanya sebagai bantal kepala Fried, kedua tangannya memijat bahu temannya. "Kapan dia belajar sihir keabadian?" gumamnya.

Carl tidak habis pikir dengan kemampuan Fried barusan.

Viktor duduk jongkok di depan mereka berdua, meminta Carl untuk menempatkan Fried ke punggungnya untuk segera ia gendong ke ruang rawat. "Aku sudah mengira sihir Fried bisa sekuat ini jika didukung dengan sihir keabadian, siapa sangka dia menguasai sihir itu?"

Daniel menoleh ke Viktor, kemudian dia mengumpat kasar, "Dasar sialan, kau yang mengajari Fried sihir itu?"

Viktor tertawa sombong, kemudian berdiri dengan membawa Fried dalam gendongan belakangnya, melangkah pergi sambil berucap, "Seperti yang pernah dikatakan Tuan Choky dulu, penyihir yang hebat adalah mereka yang mampu mempelajari sihir pembantu guna menyokong sihir utamanya, bukan malah bertolak belakang."

Daniel mendengus. Banyak penyihir yang belajar sihir baru untuk memperkuat sihir utama mereka, contoh saja Jeri, dia bukannya menaikkan level sihir apinya malah mempelajari sihir keabadian. Sihir tambahan seperti keabadian lumayan rumit dipelajari, sebab menyelaraskan sihir utama dengan sihir keabadian bagai air dengan api.

Ada beberapa sihir utama yang tidak cocok jika digabungkan dengan sihir keabadian, sehingga sihir keabadian tidak sepenuhnya menjadi rekomendasi untuk dipelajari. Seperti sihir Carl, kemampuannya tak bisa disandingkan dengan sihir keabadian, hingga dia tidak mempelajarinya.

Pun efek dari sihir keabadian berbeda-beda. Dari Jeri, efek sihir yang diberikan adalah apinya tak akan padam hingga korbannya tidak memiliki wujud. Atau Fried, mewujudkan suatu hal yang nyata tak bisa lenyap meski dia tidak sadarkan diri. Masih ada beberapa pengguna sihir keabadian, dengan efek yang berbeda juga.

Pula, ada yang memiliki kemampuan sihir bernama regenerasi, di mana itu hampir mirip dengan sihir keabadian tetapi itu berlaku pada tubuh manusia, dan lebih mengarah pada kemampuan medis seperti penyembuhan tingkat tinggi. Sama tapi tidak serupa.

Karena begitu rumit mempelajari sihir keabadian, banyak penyihir juga yang tidak mempelajarinya, lebih merujuk pada penguatan sihir utama mereka. Di dunia ini, banyak cara bagi para penyihir untuk memperkuat diri.

"Lain kali aku akan mempelajari sihir keabadian," celoteh Rafe sambil mengepalkan tangan ke langit.

Wasit berdiam diri di sudut arena, lumayan lelah harus menghancurkan batu juga, menatap Everton yang dibawa tim medis keluar arena. Mendongak ke tribun, kemudian dia berteriak, "Pertandingan seimbang!"

"Tidak bisa! Fried terlebih dahulu yang tidak sadarkan diri!" teriak tidak terima salah satu teman satu kelompok Everton.

Theo mendongak, menatap anak laki-laki yang mengotot pada wasit. "Kau yakin Everton bisa menahan batu yang dikendalikan Fried? Kau yakin temanmu masih hidup jika Fried tidak segera dijatuhkan oleh kami?" Di akhir kalimat, Theo tersenyum psikopat, membuat teman Everton ngeri melihatnya hingga memilih kabur tidak mau berdebat.

Melihat anak itu pergi, Theo tersenyum meremehkan, kemudian dia berjalan pergi sambil bersenandung kecil.

Jeri mengikuti Theo, telinganya mendengar senandung Theo, temannya sedang bahagia hingga suaranya terdengar menyejukkan di telinga Jeri. Meski kesan sombong masih terasa melekat di diri Theo.

30 Agustus 2022,

Ersann.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top