21 : Dua Iblis Terbangun
"Kau tahu sejarah manusia dan iblis tidak?"
.
.
.
Sejak sehari lalu, sejak ia bangun pada senja yang akan menyapa malam, pemuda yang tidur satu kamar dengannya belum juga memiliki tanda-tanda untuk sadar. Setelah kejadian yang tidak bisa Kartel bayangkan kemarin, dirinya merasa sangat bersalah kepada ketua tim, ia tak enak hati meninggalkan dia yang sedang kritis.
Kartel bangun langsung dilatih Fried, Viktor dan Carl. Terkadang juga anggota tim lain ikut melatihnya mengontrol sihirnya. Saat pulang latihan ia akan langsung masuk ke dalam kamar, menunggu Jeri sadar. Harapnya sampai sekarang dan belum berubah sejak kemarin adalah ia harus menjadi yang pertama dilihat Jeri saat dia sadar, supaya ia bisa langsung meminta maaf, sebab karena ulahnya ketua tim itu tidak sadarkan diri.
Fried, Kartel tahu pemuda itu memiliki mulut yang terlalu licin, setiap saat akan ada saja yang ia bicarakan akan menyinggung perasaan orang lain. Namun, sejak ia bangun kemarin, Fried malah diam membiarkannya, tetapi mata tajamnya seolah mengatakan adanya dendam padanya.
Memijat kening pening, memikirkan bahasa apa yang harus Kartel pakai saat Jeri sadar adalah hal yang memusingkan. Pintu kamar terbuka mengakhiri kepeningannya, yang masuk adalah Len dan Aaric, mereka membawa air dan bak kecil. Mata Kartel menatap jeli pada dua orang yang sekarang membersihkan tubuh Jeri.
Luka di perut Jeri sudah disembuhkan total oleh Jakob, tinggal menunggu dia sadar. Setidaknya hingga energi sihir Jeri kembali normal, baru dia akan sadar dengan sendirinya, pengaruh ledakan energi sihir setidaknya membuat pemilik raga akan mengalami masa pemulihan yang cukup lama.
Merasa diperhatikan, Aaric langsung melirik Kartel. "Fried sudah menunggu di sungai, segeralah ke sana dan berlatih, jangan pulang sampai larut malam." Kemudian fokusnya kembali ke perut Jeri.
"Sebenarnya aku ini apa?" tanya Kartel pada dua temannya.
Len hanya menoleh tanpa memberi jawaban, sedangkan Aaric berdiam diri untuk menemukan kata-kata yang cocok.
"Kau membunuh iblis tingkat tinggi, wajar jika kau---"
"Tapi tidak ada satupun ingatan tentang aku sebelumnya!"
"Pergilah, jangan buat Fried menahan murka!" usir Len tegas, dia memotong ucapan pemuda itu segera, dan tatapan matanya menohok Kartel hingga lawan bicaranya tidak sanggup berkata-kata.
Mengangguk ragu, Kartel segera beranjak dari sana. Sebelum ia benar-benar pergi dari kamar, ia kembali memandang dua rekannya yang sibuk membersihkan tubuh Jeri. Dalam hati ia berharap Jeri segera sadar, setidaknya mereka bisa berbincang daripada tidur lama menjadi momok hati yang negatif.
Pintu ditutupnya pelan, menimbulkan suara dentuman halus. Kartel tak menyangka saat keluar sudah disambut wajah garang Fried, pemuda itu tengah berkacak pinggang di depannya. Takut menjadi bahan masalah, ia merundukkan badan yang langsung disambut Fried dengan menyeret tubuh Kartel keluar dari rumah.
"Heh, jangan kasar-kasar ke Kartel!" peringat Oliver di ujung ruangan.
Kening Fried langsung disuntuki perempatan imajinasi. "Dia bukan anak kecil lagi." Setelah itu baik Fried maupun Kartel, keduanya sama-sama hilang dari rumah, mereka berdua menuju sungai.
Oliver mengelus dadanya, susah sekali mengatur Fried. Carl yang tak sengaja lewat di samping gadis cantik itu menaikkan alis.
"Kenapa?" tanya Carl yang direspon dengan gelengan oleh gadis itu. "Jangan marah-marah, nanti cantikmu hilang," goda Carl yang berhasil membuat gadis berambut putih bersih tersebut merona malu.
Carl hanya terkekeh geli, sedangkan Theo dan Daniel yang tidak sengaja lewat sana memberikan kode akan muntah.
Air sungai terlihat bersih berkilauan diterpa cahaya matahari. Bunyi alirannya juga terdengar sangat menyejukkan bersamaan dengan bunyi derit pohon bambu serta bunyi burung-burung. Waktu siang seperti ini hawa panas seolah terisolasi menjadi sangat dingin dan tentram.
Kartel menikmati suasana indah ini. Sering ia melihat ketua tim berdiam diri ketika seluruh anggotanya sedang sibuk sendiri, mungkin saja Jeri menikmati suasana alam yang selalu menenangkan manusia.
"Kontrolmu sudah bagus, aku ingin saat Jeri bangun kau bisa mengejutkannya dengan kekuatannu itu." Sejak hari kemarin dengan ia dan beberapa dari mereka melatih Kartel dengan serius, akhirnya berhasil mengubah Kartel yang mengamuk layaknya monster menjadi alat yang benar-benar bisa dikendalikan.
Meski belum cukup hebat dikatakan alat berguna, tetapi Kartel bisa mengontrol kekuatannya itu sudah suatu pencapaian yang sangat luar biasa bagi tim Jeri.
Bukan berarti dengan pencapaian ini Fried tidak menaruh dendam. Ia masih ingat ketika kemarin ia dilemparkan ke langit kemudian dibuntal dengan bola tanah setelah itu ditenggelamkan ke air sungai, saat itu Kartel sedikit lepas kendali atas kekuatannya, sampai-sampai ia hampir dibuat mati oleh dia.
Huh. Fried mendengus. Melatih Kartel sama saja menaruh luka, karena setiap melatih pemuda pirang itu pasti akan ada saja yang mengalami cedera.
"Kau berlatih sendiri, aku hanya mengawasi, aku sudah lelah terus menjadi samsak hidupmu. Sialan." Tanpa melihat raut wajah Kartel yang terkejut, ia langsung melompat menuju puncak pohon dan duduk-duduk nyaman di sana.
Selama ini ia tak pernah latihan sendiri, saat dirinya disuruh untuk latihan sendiri rasanya seperti sedang dicampakkan. Bingung harus berlatih seperti apa, ia pun mendongak menatap Fried.
"Aku latihan apa?"
Mata ungu gelap Fried mendelik ke mata biru Kartel. "Selama ini kau latihan apa!" tukasnya sadis yang malah membuat Kartel semakin bingung harus memulai latihan dari mana dulu.
Melihat wajah bodoh Kartel membuat emosi Fried meningkat. Diacak rambut jabriknya kemudian ia memaki dalam hati sebanyak mungkin.
"Terapkan saja semua yang kami ajarkan untukmu, sampai salah, aku bakar dirimu!" sungut Fried.
Meneguk air liur, kemudian mengangguk, ia akan memulai dari yang diajari Jeri baru yang lain. Saat ia akan melangkah ke sungai, sebuah suara menghentikan mereka semua. Ada Oliver dan Len yang berjalan ke arahnya sambil menunjukkan wajah sebuah kelegaan.
"Ada apa?" tanya Kartel, ia jadi ingin tahu mengapa dua manusia itu repot-repot menemuinya.
"Dimana Fri--"
Tap.
Bunyi kaki menyapa tanah memutus pertanyaan Len, ternyata Fried turun dari atas pohon dengan melompat, kini wajahnya jadi sedikit sangar daripada saat ke Kartel.
"Pulanglah dulu, Jeri sudah sadar." Mendengar pemberitahuan dari Oliver membuat Kartel tanpa sadar langsung berlari dengan wajah berseri-seri, tidak dapat dipungkiri betapa bahagianya ia mendengar kabar bahwa ketua tim sudah sadar. Seolah ia sedang melayang tinggi.
Tiga tim Jeri yang ditinggal Kartel hanya bisa membiarkan si pirang berlarian. Mereka juga sama-sama merasakan kebahagiaan yang tinggi, wajar jika Kartel tampak bersemangat dari hari-hari yang kemarin.
Orang yang pertama kali memasuki rumah adalah seorang pemuda berambut pirang jabrik dengan mata biru, dia langsung berlari menuju kamar yang telah dikunjunginya setiap saat sejak kemarin. Kartel yang telah kehilangan sedikit semangat hidupnya perlahan mulai kembali, seolah nyawanya telah berhenti melayang.
Fried yang mengikuti langkah Kartel hanya melangkahkan kakinya sedikit kasar, wajahnya juga tampak tak terlalu peduli, akan tetapi hatinya benar-benar merasakan syukur karena ketua tim mereka telah bangun.
Di sebuah kamar yang cukup luas telah dipenuhi oleh seluruh anggota Black Wolf. Tentu saja mereka semua merasa bahwa kehidupan yang mereka jalani mulai terasa indah, sungguh, Jeri sadar adalah suatu hal yang mereka harap-harapkan bersama.
Gadis cantik berambut putih, mata biru cemerlang yang dia punya menatap penuh haru pada pemuda yang masih berbaring. "Syukurlah kamu sudah sadar," ucapnya bahagia, kemudian Oliver menghambur memeluk Jeri yang hanya dibalas tatapan datar dari orang yang dia peluk.
"Apa masih ada yang sakit? Di mana? Kamu baik-baik saja, kan?" Sembari memeluk Jeri, dia juga menyempatkan diri meraba-raba perut Jeri, pipinya merona merah.
Jeri mengentikan tangan Oliver yang menggerayangi perutnya, dengan pelan ia berbicara, "Aku baik."
Seketika Oliver langsung mengeratkan pelukannya, membuat Jeri akan pingsan lagi saking ketatnya pelukan gadis itu, tetapi ia hanya bisa membiarkan dia tetap memeluknya.
Theo dan Daniel sama-sama meludah, keduanya seolah iritasi dengan pemandangan yang diberikan gadis itu di sini.
"Berhentilah bertingkah memalukan seperti itu!" Theo berkomentar jahat, tidak hanya itu, dia menarik bagian belakang baju Oliver sampai gadis itu berdiri dan berhenti memeluk Jeri.
"Luka Jeri bisa terbuka lagi nanti!" peringat Fried dengan wajah sebal.
Oliver merenggut tidak suka, langsung menginjak kaki Theo dan Fried, kemudian mendekati Qenan dan Aaric untuk mencari perlindungan.
Fried dan Theo hampir murka, ingin membalas perlakuan Oliver pada mereka, tetapi melihat Aaric dan Qenan menatap mereka berdua seperti harimau membuat keduanya enggan melakukan ide licik mereka.
Oliver tersenyum, di balik punggung Aaric ia menjulurkan lidah, mengejek Theo dan Fried.
"Kalian tahu tidak, sih, Jeri sedang sakit?" sungut Viktor kepada Theo dan Fried, ia juga melirik ke Oliver.
Theo mendesis, sedangkan Fried menatap marah ke Viktor, keduanya sama-sama ingin mengamuk tetapi takut dengan tatapan Aaric dan Qenan---apalagi saat ini Carl juga tengah menatap mereka berdua. Tekanan besar itu membuat keduanya tidak mau setor nyawa, lagipula gadis itu juga nyari pawang yang bahaya, tentu mereka kalah.
Carl menghela napas, ia kemudian menatap Jeri, kemudian berseru senang, "Kami semua menghawatirkanmu. Sungguh, aku tak bisa mengungkapkan kebahagiaanku dengan kata-kata, Ketua." Wajah tirus sedikit melebar, matanya berbinar-binar, dia seolah dipenuhi bunga-bunga tak kasat mata.
Carl terlihat sangat bahagia saat menyambut Jeri.
Wakil ketua mengangguk antusias, ini untuk pertama kalinya bagi seorang Aaric terlihat seantusias itu, biasanya dia tak memiliki reaksi apapun saat kondisi apapun.
"Kami juga bergantian untuk melatih Kart. Dia sekarang menjadi cukup bisa untuk mengontrol sihirnya," beritahu Aaric dengan wajah terlihat berseri.
Mata ungu Fried langsung menatap mata Aaric. Ia menatap wakil ketua dengan ketajaman sorot seperti mata elang. "Ha? Kalian bergantian melatih Kartel? Selama ini aku yang melatihnya. Benarkan, Kartel, ha?" Suaranya meninggi, kini dia berhasil mengalihkan pandangan kepada pemuda pirang yang sejak masuk kamar sibuk sendiri menatap Jeri.
Semua anggota di sana terkecuali Jeri dan Kartel menatap sinis Fried, mereka merasa tidak terima.
Kartel bergeming, ia hanya menatap betapa puasnya wajah Fried yang seolah telah menduduki tahta raja.
Ruang kamar yang disinari lampu menunjukkan bayangan-bayangan dari tubuh padat mereka. Warna hitam di dinding maupun lantai yang membentuk postur tubuh orang berdiri menyatakan kedekatan mereka yang sangat rapat.
"Bukannya kau sendiri yang menghalangi kami untuk melatih Kartel?" protes Daniel dengan wajah sangar.
"Benar," sahut Rafe dan Theo bersamaan.
Dagu Fried terangkat ke atas, menatap sombong pada teman-temannya. "Karena aku merasa akulah yang terkuat, sedangkan kalian sangat lemah."
"Apaa!?" Viktor beserta Daniel terpancing emosinya, kedua manusia tersebut menatap Fried seolah dalam sekali pandang teman mereka akan mati.
Theo dan Rafe menggerutu sebal.
Di saat itulah ketika Fried adalah si pemegang mulut asal ceplos, maka akan hadir orang-orang yang bisa menyainginya dalam berdebat. Terjadilah keributan besar antara Fried, Theo, Viktor, Rafe, dan Daniel. Perdebatan mereka tidak panas, hanya membahas tentang siapa yang terkuat dan siapa yang terlemah, mereka semua merasa tidak terima dengan pernyataan Fried yang semena-mena.
Oliver, gadis itu terkekeh keras disertai tawa pelan dari Carl, Kartel dan Len.
Sedangkan seseorang yang baru saja sadar dari tidur cukup panjangnya itu hanya fokus kepada pemuda berambut putih dengan mata sipit. Ia ingin bertanya mengapa wajah bagian atas pemuda itu terlihat luka bakar yang cukup besar?
Merasa dirinya diperhatikan oleh ketua tim, Qenan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. "Kalau soal luka bakarku, ini karena aku lengah saat melatih Kar---"
"Nah, lihat, dia lemah." Fried dengan semena-mena memotong ucapan Qenan, membuat mata sipit Qenan menjadi terlihat menyeramkan mengarah padanya, seketika Fried bungkam tidak ingin melanjutkan pertikaian.
Fried seolah lupa kalau dia pun memiliki bekas luka di wajahnya akibat melawan zombi kapan hari lalu, serta luka dari perkelahian dengan Kartel, dan yang terakhir akibat jadi sasaran amuk Kartel saat latihan.
"Sudah, sudah, lebih baik kita mempersiapkan pesta untuk Ketua kita. Ayo!" lerai Carl sambil tersenyum lebar, dengan meluncurnya kata-kata ajakan dari pemuda berambut hijau segera Oliver berdiri dan berlari keluar kamar.
"Sepertinya aku akan membangunkan Aldane untuk membantu Oliver memasak." Viktor kelihatan bahagia dengan senyum lebar tanpa guratan kesombongan. Melangkah pergi, meninggalkan acara perdebatannya dengan Fried. Karena bonekanya ia istirahatkan di dalam kamar, ia harus mengambil boneka tersebut di kamarnya.
Akan tidak seru jika pesta terlambat karena masakan belum siap.
Satu persatu anggota tim Jeri meninggalkan kamar hingga meninggalkan Kartel dan Aaric yang berdiri dengan Jeri yang sedang berbaring.
Aaric membalik badan hendak pergi, sebelum ia pergi ia berucap, "Jangan khawatirkan yang lain selain kesehatanmu, Jeri." Tersenyum lebar, kemudian Aaric pergi setelah mendapat respon berupa anggukan dari Jeri.
Mata gelap Jeri mengawasi Kartel, menunggu pemuda itu untuk keluar dari kamarnya, karena ia akan kembali tidur setelah tubuhnya lelah hanya menyaksikan pergulatan mulut Fried dengan anggota yang lain. Baru bangun sudah disuguhi perdebatan kacau mereka.
Jenuh dengan Kartel yang masih di dalam kamarnya, masih dalam posisinya, tetapi tidak mengatakan apapun. Jeri memilih menaikkan selimut lalu berkata, "Keluarlah." Kemudian ia menutup mata.
Kartel memang berniat akan keluar dari kamar ini, akan tetapi ada suatu hal yang harus ia katakan kepada Jeri. "Maaf dan terimakasih. Maaf karena membuat Ketua harus terluka, dan terimakasih karena sudah bangun lagi untuk memimpin tim kita." Setelah berkata demikian, Kartel langsung melangkah pergi dengan kedua tangan saling meremas, jujur ia sangat merasa bersalah sampai sekarang jika itu mengenai ketidak sadaran Jeri beberapa hari ini.
Pintu tertutup rapat. Bunyi dentuman ringan terdengar. Mata kelam Jeri melirik kepada pintu yang tidak terbuka, kemudian ia bergumam tidak jelas.
"Ada apa dengan dia?" gumam Jeri dengan suara yang tidak terlalu jelas.
Sesaat sebelum ia mengambil istirahat, kedua matanya berkedut kencang, pandangannya mengabur kemudian kembali fokus. Kepalanya juga terasa pusing.
"Ada apa denganku?" Membaringkan diri dengan nyaman, padahal ia baru saja bangun, tetapi rasanya ia sangat lelah dan energinya seolah terkuras habis.
Pelan-pelan Jeri mulai masuk ke waktu tidurnya, berusaha mengembalikan energinya, berharap besok dia bisa sehat seperti semula.
Di ruang tengah Kartel memilih berhenti karena percakapan Qenan, Rafe, Len, dan Aaric mengenai markas Venator.
Dari percakapan mereka berempat akhirnya Kartel paham jika ada beberapa pemburu iblis yang memandang rendah tim ini serta sering mencela tim ini. Ia pun akhirnya tahu bahwa Fried dan Aaric adalah dua orang yang selalu terbawa emosi jika berhubungan dengan anggota tim sombong itu.
Kartel berharap, saat ia bertemu tim pemburu iblis lain, ia masih tak mendapatkan perlakuan keji.
"Kartel, ikuti aku." Aaric tiba-tiba datang entah dari mana, langsung menggeret pemuda pirang menuju halaman asrama.
Kartel berdiri berhadapan dengan Aaric.
"Ada apa?"
"Aku akan mengajari sihir yang belum Jeri ajarkan padamu, sihir ini wajib kau kuasai sebelum masuk ke markas nanti selain kontrol sihir," perintah Aaric.
Kemarin Aaric meminta dengan sangat kepada Tuan Jakob untuk mengajarinya sihir peniadaan aura, sebab ia teringat bahwa aura iblis Kartel begitu kentara. Dia takut jika sewaktu-waktu Kartel kembali tidak terkontrol, aura iblisnya bisa diamankan.
Aaric juga melihat tanda di kening Kartel yang berwarna jingga, jika bisa ia sebut huadian tanda iblis sepertinya agak berbeda. Jika Kartel adalah iblis, seharusnya tanda yang muncul di kening bukan berwarna jingga melainkan hitam.
Aaric tidak terlalu memahami maksud dari huadian, apa arti tiap warnanya, pengetahuannya tentang iblis belum sempurna.
Setidaknya Aaric mengajari sihir peniadaan aura yang versi mudahnya dulu, untuk sedikit menyembunyikan Kartel.
Sepertinya Jeri juga belum sempat mengajarkan sihir titipan Jakob ke Kartel.
Aaric berhasil menguasai yang versi mudahnya, sedangkan yang versi sulit hanya ia simpan di dalam hati, akan tetapi hari ini ia akan melatih Kartel versi mudah dan sulitnya. Jika versi mudah, sihir itu akan berlangsung hanya sampai lima jam, sedangkan versi sulit efek sihirnya bisa sampai satu tahun---sesuai perintah pemilik sihir kapan melepas keaktifan sihir itu.
Kartel mengangguk, dia siap untuk melakukan latihan lagi, sambil menunggu pesta.
°°ρђลи†эяล°°
Pagi ini ketika ia masih menikmati bagaimana proses matahari bergerak lambat dari arah timur, di mana ia masih mengamati keindahan sinar matahari yang tertutup gunung, ia harus merelakan segalanya demi membukakan pintu kamar. Ia tidak tahu siapa yang datang pagi-pagi sekali, pun ia merasa tidak meminta seseorang untuk datang, tak memiliki janji temu sepagi ini.
Beberapa hari setelah ia sadar dari masa berbahaya, lagi-lagi ia terjebak di dalam kamar demi proses pemulihan, sesekali memang ada yang datang ke kamarnya tetapi tidak sepagi ini.
Membuka pintu pelan. Ketika pintu benar-benar telah terbuka ia melihat adanya manusia pirang yang berdiri di depannya dengan membawa nampan yang di atasnya telah terisi satu gelas air putih dan satu mangkuk bubur.
Tak mau bertanya apa tujuannya datang ke sini, karena ia sudah yakin manusia aneh itu pasti mengantarkan makanan untuknya sarapan, tetapi sebelum ia mengambil nampan darinya pemuda itu masuk ke kamarnya begitu saja sambil cengar-cengir. Ia tidak melakukan protes, tetapi matanya menatap datar orang yang telah duduk di kursi dekat kasurnya.
"Nah, Kapten, ayo sarapan!" Kartel Durgel seolah-olah dia menjadi ibu bagi Jericho Jecho. Lihatlah, pemuda pirang itu menyiapkan sarapan untuk pemimpin tim.
Jeri tidak mengatakan apapun. Ia terus berjalan menuju kasurnya dan duduk manis di sana. Mengambil mangkok berisi bubur, ia memakan dengan khidmat makanan itu tanpa peduli Kartel yang masih menungguinya.
"Bagaimana, enak bukan?"
Hampir saja Jeri tersedak bubur, hampir ia tak bernapas, semua karena ulah pemuda pirang yang tiba-tiba saja bertanya sambil mendekatkan diri kepadanya. Mengangguk sebagai respon, ia tak terlalu suka saat makan berbicara.
"Aku membuatnya dengan Oliver, jika Kapten mau tambah bilang saja, kalau ada yang kurang dengan bumbunya juga bilang ke aku saja."
Dia terlalu cerewet bagi ia yang pendiam. Lagipula segala jenis makanan asal bisa ia makan dan rasanya tidak terlalu buruk, ia takkan berkomentar apapun. Mengapa juga manusia pirang ini memanggilnya kapten? Seperti tidak biasanya saja.
Jeri masih setia memasang wajah datar, sedangkan Kartel menunjukkan senyum selama menunggu ketua tim selesai makan.
"Hari ini Kapten harus tidur selagi kami per---"
"Diamlah," perintahnya dengan wajah lelah. Jeri lelah mendengarkan ocehan Kartel yang terlalu berlebihan. Ia sudah tahu apa yang ia lakukan, ia mengerti langkah selanjutnya yang harus ia pijaki, dan ia bosan diajak bicara hal-hal yang tidak bersangkutan dengan misi.
Kartel tersenyum lebar, menunjukkan gigi putihnya, matanya menyipit. "Kapten risih, kan, aku di sini? Tapi aku senang kapten ba--"
"Kenapa kau tidak keluar?" Memotong ucapan Kartel cepat, ia menatap datar dia. Mengusir manusia pirang itu adalah tujuan utama Jeri, tapi ia tak ingin membuang seluruh emosinya untuk satu orang.
"Aku mau menunggu Kapten. Aku juga akan mengembalikan gelas dan mangkuk Kapten ke dapur." Kartel masih merasa tidak ingin pergi dari sisi ketua tim. Baginya melihat Jeri makan setelah sakit adalah sebuah kebanggan sendiri bagi dirinya.
Tidak tahu harus menangani Kartel seperti apa, akhirnya ia memilih diam mengabaikan dia. Jeri melanjutkan makannya dalam diam. Bukan kebiasaan dia sebenarnya makan ditunggui orang lain kecuali saat makan bersama, tetapi ia sudah menyerah membuat manusia aneh ini keluar dari kamarnya.
"Pagi!!"
Seseorang masuk ke kamar Jeri setelah mengucapkan selamat pagi. Dia adalah Fried. Pemuda berambut putih jabrik itu menatap Kartel sinis, sedetik setelahnya berseru, "Kenapa kau di sini? Cepatlah bersiap! Jeri takkan suka kau disini!" usirnya dengan nada belagu, mata merah menyalanya ia tujukan kepada mata biru Kartel.
"Kapten tidak merasa begitu karena sejak tadi aku dibiarkan dia di sini, aku tidak diusir oleh Kapten."
Kepala Fried langsung penuh api membara secara tidak nyata, berbicara dengan Kartel membuat sumbu emosinya tersulut menyala. "Kau saja yang mungkin bodoh. Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui, bahwa Je--"
"Lalu kau masuk karena apa?"
Lagi-lagi manusia pirang itu membuat sumbu emosi Fried terbakar hebat. Pemuda pemilik dinding emosi tipis itu menggeram kesal. Dalam sekali kedip, Fried telah memukul puncak kepala Kartel sampai pemuda itu terguling dari atas kursi dan terkapar di atas lantai. Fried tersenyum puas.
Membiarkan Kartel begitu saja, ia menatap ketua tim yang masih menikmati makannya. Menatap mangkok bubur yang menyisakan mungkin dua sendok bubur lagi untuk habis, Fried merasa lega ketuanya sudah bisa makan banyak karena setelah dia bangun Jeri tidak terlalu banyak makan.
"Jeri, aku dengar dari Qenan kau akan ikut ke markas? Apa sudah baik-baik saja?" Fried mengajukan pertanyaan beruntun.
Kartel menggerakkan dirinya secara pelan-pelan, ia mulai bangkit dari jatuhnya di atas lantai. Merintih sakit saat merasa pinggulnya nyeri sebelah, pasti karena terbentur lantai. Ia menatap jengkel Fried setelah berhasil kembali duduk di kursi.
Jeri melirik dua manusia yang baru saja selesai bersitegang dengan alasan tidak perlu dijelaskan lagi. Menganggukkan kepala pelan memberi respon pada Fried. Kemarin malam ia sempat berbincang-bincang dengan Qenan persoalan ia akan ikut ke akademi hari ini, maka dari itu ia bangun sangat pagi supaya ia bisa ikut berangkat bersama mereka. Teman-temannya.
Mendengar hal itu dan melihat langsung respon Jeri membuat Kartel langsung kembali mengoceh, "Tapi kondisi Kapt--"
"Kau diamlah sebentar!" Fried menyolot dengan nada suara tidak ingin diganggu gugat, pun ia tak peduli kalau sekarang lawan bicaranya sedang menahan dongkol padanya.
Menatap Jeri kembali, Fried berkata, "Kami tidak akan membuatmu merasa terbebani untuk misi berikutnya. Jika manusia bodoh ini melakukan tindakan membahayakan, biarkan aku yang membinasakan dia."
"Hey, aku tidak bodoh!" protes Kartel.
Jeri tidak peduli. Ia telah menghabiskan buburnya sehingga perutnya kini benar-benar telah kenyang. Gelas di atas nakas diambilnya cepat, kemudian menghabiskan isinya dalam sekejap. Tanpa disuruh juga ia telah melahap satu pil untuk mendukung penyembuhannya.
"Panggilkan Qenan dan Len." Jeri memberikan nampan bersisi gelas dan mangkok kosong ke Fried, serta menaruh perintah kepada temannya, ia merasa harus ada yang ia bicarakan dengan dua rekannya.
Fried yang menerima perintah segera melangkah pergi, tak lupa Kartel ia bawa keluar dengan cara menarik bagian belakang kerah bajunya. Tentu saja Kartel mengamuk tetapi tetap kalah dengan amukan Fried yang memang memiliki hobi untuk mengamuk kepada siapapun.
Tak lama dari Fried keluar kamar, masuklah seorang gadis dengan wajah tampak panik, "Ketua, dua iblis itu sadar. Sekarang Len sedang berada di sa-"
CRAKK!
BOOM!
"IBLIS SIALAN!"
29 Juni 2022,
Ersann.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top