The Untold - SamaRain
Sinopsis :
Pekerjaan suaminya memang tergolong bahaya, tak heran Samatoki tak membolehkan iris biru itu menyaksikan apapun yang berhubungan dengan urusannya. Kadang Rain menurut, seringnya malah merecoki. Namun, hari-hari seperti inilah yang membuat Rain gelisah bukan kepalang.
By raladelrey
Jam dinding menunjuk pukul 5 sore. Rain menuangkan teh panas ke dalam cangkir, sembari sesekali melirik ke arah pintu. Suaminya masih belum pulang. Pesan singkat yang terakhir diterima ponselnya adalah laki-laki itu berkata akan sedikit terlambat pulang, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Rain sempat bertanya balik, urusan apa saja dan terlambat berapa lama. Samatoki malah tidak menjawab.
"Kemana sih orang itu?" Rain bergumam.
Pekerjaan suaminya memang tergolong bahaya, tak heran Samatoki tak membolehkan iris biru itu menyaksikan apapun yang berhubungan dengan urusannya. Kadang Rain menurut, seringnya malah merecoki. Namun, hari-hari seperti inilah yang membuat Rain gelisah bukan kepalang, ia tahu dan yakin suaminya akan baik-baik saja. Tetap, tak jarang badan tinggi Samatoki tampak lunglai saat memasuki rumah.
Lamunan Rain terpecah saat suara ketukan masuk ke telinga, dahi mengerut kecil.
'Siapa itu?'
Samatoki tak pernah mengetuk pintu dulu kalau mau masuk, ia punya kunci cadangan seandainya Rain tengah tidur dan tak bisa membukakan pintu.
Ketukan kembali terdengar.
"Sebentar!"
Mahkota pirang diikat asal, panjangnya rambut itu seringkali mengganggu pekerjaan. Rain berjalan menuju pintu depan, mengintip dari lubang yang sengaja disediakan untuk melihat orang di luar rumah.
Figurnya tinggi, berpakaian serba hitam.
"Nyonya Aohitsugi?"
Rain tersentak, suaranya berat. Laki-laki. Asing.
"Nyonya Aohitsugi? Apa kau di rumah?"
"Ada apa ya?" jawab Rain tanpa membuka pintu.
Pria asing itu tampak sedikit terkejut mendengar suara yang sumbernya tepat di depan mata, "Tuan Aohitsugi memintaku untuk menjemput Nyonya."
Rain semakin mengernyit, "Menjemputku? Mau ke mana memangnya?"
"Tak bisa kukatakan."
Iris biru sapphire menatap tajam, pelan-pelan ia melangkah menuju tembok pembatas ruang tamu dengan ruang keluarga. Benda yang semula menggantung di dinding kemudian diraih, tangan kecil membuka laci dari depan meja TV. Senapan api itu diisi, Rain mengekangnya cepat takut-takut bisa terdengar ke luar.
"Nyonya Aohitsugi?
"Sebentar."
Rain kembali berjalan menuju pintu.
'Samatoki sialan.' Perempuan itu meracau dalam hati.
'Pulang nanti kau yang akan kubunuh.'
Punggung tegapnya ditempelkan ke pintu, mengambil ancang-ancang dengan kedua tangan mengarahkan senapan. Saat kunci diputar, pintu dibuka perlahan, Rain langsung menodong pria asing tersebut tepat pada kepalanya.
"Ra- HEY! TUNGGU!"
Suara Samatoki menyapa telinga, "KAU DIMANA HAH?"
Rain menatap suaminya yang hanya tampil di balik layar, pria asing itu mengarahkan ponselnya pada sang nyonya. Tampak Samatoki dengan wajah lebam serta badan setengah telanjang, menghubungi si bawahan melalui FaceTime.
"Safe house." Samatoki menjawab singkat, tangannya bergerak menggaruk belakang kepala.
Rain menurunkan senapan yang ia bawa, "Apa yang terjadi."
"Panjang." Seru Samatoki. Kini laki-laki itu menatap kamera dengan iris merah yang kian menajam.
"Ikut saja. Keselamatanmu akan terancam kalau di rumah."
Rain menghela nafas.
Lagi-lagi suaminya tak mau menjelaskan lebih jauh.
Tanpa banyak berbicara lagi, Rain menutup pintu keras-keras. Kunci ia putar, wajah ketus tak lupa dipasang.
"May I?" Bawahan Samatoki itu mengulurkan tangan, berniat membawakan senapan yang masih dipegang.
"I'll take it myself," jawab Rain singkat.
Pria itu membungkuk pelan.
Keduanya berjalan menuju mobil SUV Chevrolet yang terparkir di halaman mansion keluarga Aohitsugi.
Rain sebenarnya sudah ingin meledak. Pertama, Samatoki pergi lebih awal. Tanpa pamit, sampai melewatkan kecupan singkat yang biasa perempuan itu dapat. Kedua, laki-laki itu masih tak percaya dengan istrinya sendiri. Ralat, Rain merasa tak dipercayai oleh Samatoki. Seandainya Rain tahu apa saja yang suaminya lakukan di luar, siapa saja yang terlibat sebagai rekan maupun lawan, mungkin hal seperti ini tak akan terjadi. Mungkin Rain tak harus menahan serangan panik sendirian, dikarenakan seorang pria asing mengetuk pintu mansionnya sore hari.
"Oy." Suara Samatoki kembali menggema di dalam mobil.
"Jangan melamun begitu, wajahmu jadi semakin jelek."
Rain melirik kamera sepintas.
Helaan nafas kembali terdengar. Jelas saat ini bukan waktu yang tepat untuk pertengkaran, maka dari itu si Nyonya lebih memilih diam. Daripada memaksakan berbicara, lalu yang keluar malah ucapan mencerca.
"Sudah sampai, Nyonya."
Rain menatap kawasan apartemen besar yang ada di depan mata, letaknya tak terlalu jauh dari rumah. Hanya saja jalan yang harus dilalui agak tertutup, suasana sekitar pun terlihat gelap.
Rambut yang diikat asal itu mulai berjatuhan menimpa pipi, Rain membuka pintu mobil. Berjalan cepat menuju pintu masuk. Dua orang penjaga tampak siap sedia, hampir saja mencegat perempuan itu – karena membawa senapan – sebelum akhirnya sadar siapa pemilik iris biru itu.
"Nyonya."
Semua penjaga serta pelayan menunduk hormat, menyapa singkat tanpa berani menatap lama-lama. Begitu yang terjadi seterusnya, di dalam ruangan pun sama. Para pekerja Yakuza, baik anak buah maupun memiliki jabatan tinggi, menundukan kepalanya beberapa senti.
Rain masih tak bersuara.
Saat pria yang menjemputnya tadi menunjukan ruangan Samatoki, Rain langsung memutar kenop. Masuk, mendapati sang suami yang tengah duduk seorang diri.
Jari telunjuk menarik pelatuk.
Suara tembakan itu menyita atensi seisi bangunan.
Samatoki memijat pelipis, berdiri lalu menapakan kaki menuju sang istri. Tak
memperdulikan lantai yang berlubang akibat peluru baru saja ditembakkan, Rain kembali mengokang senjata.
"Honey, Darling, calm down."
"I'm fucking furious."
"I know ...."
Samatoki makin mendekat saat Rain memundurkan kakinya ke belakang, beberapa penjaga yang hendak menghampiri ruangan itu dijegal salah satu bawahan. Tinggal sebut Nyonya Aohitsugi, semuanya langsung mengerti.
Laki-laki itu mulai tak sabar, ia mengambil langkah lebar seraya meraih senapan yang kembali siap ditembakan. Rain mengalah, perempuan itu terjatuh lemas di lantai dingin.
"Hey ...."
"Kau tega!"
" .... "
Samatoki merangkul pundak rapuh ke dalam rengkuhan erat, Rain bisa mencium peluh yang bercampur aroma darah dari badan suaminya.
"Maaf."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top