Solace - ShawMela
Karena tanpa diutarakan, ia tahu bahwa pelipur laranya adalah sang suami
By rey_asha
Melanie membuka pintu kediamannya dengan dahi mengerut. Langkahnya gontai memasuki rumah yang ia diami bersama dengan sang suami. Hening menyapa mengingat pria berhelai kebiruan itu baru akan pulang lusa, kian menambah beban di hati setelah minggu-minggu yang panjang. Bahunya kaku setelah berjam-jam berkutat dengan soal ujian para mahasiswa, ditambah dengan kewajibannya mengikuti beberapa pelatihan sebagai asisten dosen, rasanya Melanie sanggup terlelap hingga pekan berakhir.
Wanita berhelai jelaga itu menanggalkan outer dan mantelnya dengan gerakan lesu. Tak lagi memiliki energi ketika nyamannya rumah mulai merasuki tiap sendi tubuh. Kakinya terasa berat, menyeret tubuh melintasi kediaman. Melanie melirik punggung sofa di ruang tengah, menimbang keputusannya untuk mengabaikan nyamannya ranjang demi berbaring lebih awal.
"Persetan dengan kasur," gumamnya seorang diri.
Meletakkan tas yang berisi materi perkuliahan dan pelatihannya di kaki sofa, Melanie menghempaskan tubuh dengan mata terpejam. Alih-alih empuknya sofa, punggung Melanie malah menubruk sesuatu yang keras.
"Urgh. Ann, aku tahu kau sangat merindukanku." Melanie tersentak kaget ketika sepasang lengan melingkari tubuhnya disusul dengan suara sang pria yang ia tunggu kepulangannya. "Tapi... jangan bunuh suamimu secepat ini, oke? Bagaimana dengan janji kita yang ingin menua bersama?"
"Kita tidak pernah berjanji seperti itu!" tukas Melanie cepat. Ingin beranjak dari posisi berbaring, tapi suaminya tak mengizinkan. "Dan apa yang kaulakukan di sini, Shaw? Dinasmu masih sampai lusa, kan?"
"Suamimu ini lulusan terbaik. Jelas bisa selesai lebih cepat." Shaw mengerang tak nyaman, akhirnya membuka mata dengan berat hati. "Jadi... ada apa dengan penyambutanmu? Sudah tidak sabar mau menindihku?"
Melanie menyambar bantal sofa, memukul sang pria yang malah tergelak lemah. "Tidak ada yang seperti itu!"
"Lalu, kenapa menjatuhkan tubuhmu di atasku begini, hm?"
Melanie berdecak sebal tatkala Shaw menahan pergelangan tangannya. Ia berusaha memberontak, mencoba melepaskan rangkulan sang pria pada pinggangnya tetapi sia-sia. Kerutan di dahinya semakin dalam, melempar tatapan tajam pada Shaw yang membalas dengan sebelah alis terangkat.
"Lepaskan. Aku mau tidur di kamar saja," geram Melanie jengkel.
"Kau belum menjawab pertanyaanku." Shaw mendengus pelan. "Tidak akan kulepaskan kalau belum dijawab."
Melanie langsung mendelik pada sang pria, yang dibalas dengan ulasan senyum miring. Namun sekali lagi, energinya telah terkuras habis untuk adu mulut dengan Shaw malam ini. Maka dengan helaan napas berat, keluh kesahnya sedari awal pekan lalu tumpah ruah. Shaw mendengarkan dengan seksama, tidak menyela juga tidak berpaling dari wajah sang hawa. Netra cokelat itu fokus bergerilya memandangi perubahan ekspresi istrinya sembari menyelipkan jemari di antara helaian jelaga Melanie.
"Sudah berapa kali kubilang untuk mengetahui batas tubuhmu, laoshi," Shaw akhirnya angkat bicara setelah Melanie selesai bercerita, mencubit gemas pipi sang hawa hingga istrinya mengaduh. "Lagipula, kenapa kau pendam sendiri, hah?"
"Karena bukan masalah besar," cetus Melanie seraya menepis tangan sang suami.
"Kalau bukan masalah besar, kau tidak akan menubrukku seperti tadi, dasar keras kepala."
"Katakan itu pada dirimu sendiri."
Shaw mendengus. Ia menahan pinggul Melanie, mengabaikan protes sang istri tentang dirinya yang ingin pindah ke kamar tidur. Jemarinya kembali tersisip di antara rambut hitam sang istri, sesekali memberi tekanan ringan pada kulit kepala Melanie. Sementara tangannya yang lain menyusup ke balik pakaian wanitanya, mengusap kulit punggung dengan gerakan lembut.
"Lain kali jangan dipikul sendiri," bisik Shaw. Ia menyamankan kepala pada tangan sofa, memberi ruang lebih banyak bagi Melanie untuk merebahkan kepala. "Badanmu yang mungil itu bisa saja kewalahan kalau menanggung beban sebesar ini. Setidaknya biarkan aku membantumu."
Melanie membenamkan wajah di bahu Shaw, usaha untuk menyembunyikan rupanya yang bersemu. "Ngomong apa sih."
Rona panas menjalari kedua pipi hingga leher sang wanita, tapi Melanie enggan beranjak. Setelah hari yang panjang, pelukan dari Shaw mampu mengusir lelahnya. Ditambah dengan belaian lembut pada punggung juga pijatan ringan—yang jarang sekali diberikan oleh Shaw, Melanie hanya bisa melayangkan protes setengah hati.
"Aku mau tidur di kamar saja," cicit Melanie lemah.
"Nanti biar aku yang gendong," Shaw menyahut pelan. "Sebagai hukuman karena merahasiakan aktivitasmu yang kelewat sibuk itu, kau harus menemaniku sampai aku tidur."
"Lalu siapa yang akan memindahkan kita ke kamar, bodoh."
Shaw berdesis. "Gadis nakal yang lagi dihukum tidak boleh banyak protes."
Seringai Shaw melebar ketika Melanie spontan mengangkat kepala lalu memukulnya bahunya. Pelukannya pada pinggang sang wanita mengerat, mengelus lembut punggung sang istri yang sesekali diselingi dengan remasan pelan. Diakui kala telinganya mendengar ritme konstan detak jantung Shaw, bahunya melemas.
Tidak serta merta menguap begitu saja, tapi mengetahui bahwa Shaw akan selalu mendorongnya kala dunia memusuhi mereka, Melanie bisa beristirahat lebih baik.
"Ann," Melanie berdehem pelan saat Shaw memanggil namanya. "Kerja bagus untuk hari ini."
Tidak ada sahutan dari sang istri, membuat Shaw berpikir bahwa Melanie telah lebih dulu memasuki dunia mimpi. Diubah posisi sang istri agar lebih nyaman berbaring di dadanya, Shaw bersandar pada puncak kepala Melanie. Membiarkan indra penciumannya dipenuhi dengan aroma khas sang wanita, sebelah tangannya masih memijat lembut tengkuk sang istri. Netra cokelatnya masih tak berpaling dari rupa Melanie, diam-diam memuji dalam hati.
"Selamat istirahat, Ann." Kecupan singkat menyapu leher sang istri. Seringai jahil terulas saat memosisikan bibirnya menyentuh telinga Melanie. "Kalau bisa bermimpi tentangku, oke?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top