Redo - TauMeli

Bukannya Meli bermaksud jahat dengan membatasi kebahagiaan suaminya. Tapi percayalah, wanita itu melakukannya demi kebaikan diri Taufan sendiri.

By 

Sedari awal, Meli telah menyadari sesuatu dalam diri suaminya itu. Yang membuat si pria selalu berada dibawah pengawasan khusus saudara-saudaranya, sebelum akhirnya Taufan menikah dengan Meli. Dan tugas pengawasan tersebut beralih kepada Meli. Pada mulanya, itu perkara mudah. Hanya membatasi Taufan untuk tidak terlalu bahagia sehingga melukai dirinya bahkan sekitarnya; termasuk diri Meli sendiri.

Tapi, seiringnya waktu, Meli merasa keadaan Taufan semakin memburuk. Selain karena dasar dari sifat sang suami yang humoris, Meli merasa itu juga lebih sering mengambil alih. Dan karena hal tersebut, Meli terpaksa harus menggunakan opsi paling terakhir dan paling ia hindari.

Dirinya harus mengulang lagi. Lagi. Lagi dan lagi.

***

"Taufan?" Meli memanggil. Mencari dari satu ruang ke ruangan lain yang ada di Daycare. Suasana tenang tanpa terdengar suara tawa anak-anak, melahirkan perasaan tak nyaman dalam diri Meli.

Saat Meli hampir memasuki ruang bermain utama, langkah wanita berambut hitam itu terhenti. Mata cokelatnya membulat akan pemandangan yang terlukis di depan matanya.

"Hei! Ayo bermain!" Taufan berseru. Mengguncangkan tubuh seorang bocah lelaki yang kepalanya bersimbah darah.

"T-Taufan ...?" Meli memanggil. Rasa tak nyaman yang bersemayam di benaknya, dengan cepat berganti menjadi sebuah keputusasaan.

Ah, kali ini ia lalai. Lagi.

"Ah! Meli!" Taufan menyahut. Menoleh ke arah sang istri dengan senyum lebar yang terpatri di wajahnya.

Pria itu bangkit. Meninggalkan bocah laki-laki yang hendak diajak main sebelumnya, dan mendekat ke ambang pintu dengan mengabaikan anak-anak lain yang tak sadarkan diri di sekitarnya.

"Meli, ayo kita bermain!" ajak Taufan dengan penuh semangat. Bahkan terlalu bersemangat.

Meli agak mendongak. Matanya mencari iris safir milik sang suami dan ia tak menemukan kehangatan di permata safir itu saat ini.

"Taufan," panggil Meli. Salah satu tangannya perlahan bergerak meraih tangan sang suami. Dan membawanya ke leher putih nan halus yang dimiliki Meli. "Tidak apa. Kamu tak perlu khawatir. Aku hanya tinggal mengulanginya lagi, lalu mencari cara lain."

***

Meli membuka matanya cepat. Mulutnya terbuka untuk membantunya segera mendapatkan pasokan oksigen. Selama beberapa saat, ia terus bernapas melalui mulutnya. Rasa sesak masih bisa sedikit dirasakan Meli di lehernya. Ia menyentuh pelan bagian itu. Mengusapnya, guna menghilangkan perasaan yang masih tertinggal.

Wanita itu kemudian menolehkan wajahnya. Memandang suaminya yang masih tertidur pulas di sampingnya. Nafasnya tenang. Dan ekspresi yang dilukiskan dalam tidurnya juga tampak damai.

Keadaan seperti itulah yang harus dijaga Meli.

'Tidak apa Taufan. Aku takkan membiarkan sosok itu membuatmu menderita.' Batin Meli memantapkan diri.

Meli kemudian bangun dari posisi berbaringnya. Melewati tubuh Taufan untuk meraih buku catatan yang tersimpan di dalam laci meja kecil di samping kasur mereka. Lengkap dengan sebuah pena.

Itu adalah buku yang biasa ia gunakan untuk pekerjaan editornya. Tapi di halaman tertentu, terdapat barisan garis pendek kecil yang dirinya berharap tak perlu lagi ia tambahkan.

Sret.

Satu garis bertambah. Termasuk jumlahnya yang kini telah berjumlah 23 garis.

23 kali Meli mengulang. 23 kali Meli mengakhiri hidupnya. 23 kali Meli melihat tatapan dingin di iris safir milik suami tercintanya.

23 kali Meli—

"Uh ...." Wanita itu tiba-tiba terisak. Dan buru-buru ia mencoba menghapus air mata yang mulai membasahi pipinya.

Tapi air matanya tak dapat berhenti. Meski ia sudah menghapusnya berkali-kali, itu tetap mengalir begitu saja. Jatuh menetes membasahi halaman bukunya, juga selimut yang masih menutupi setengah badannya.

Oh. Begitu ya.

Tubuhnya mungkin masih bisa menahan rasa sakitnya. Namun hatinya, sudah berada pada batasnya.

"Meli?"

Meli tersentak di tengah tangisnya. Dirinya menoleh ke sumber suara tersebut. Dan ia tak bisa menutupi keterkejutannya saat sepasang manik safir itu memandangnya khawatir.

"Ada apa?" Taufan perlahan bangun. Lebih mendekat kepada istrinya dan menyeka air mata yang membasahi pipi Meli. Meski masih setengah mengantuk, nada khawatir terdengar jelas dalam ucapannya.

Meli hanya terisak. Menunduk, lalu memegang erat tangan Taufan yang berada di pipinya.

"Aku sudah berjanji pada saudaramu untuk menjagamu," ujar Meli ditengah tangisnya, "tapi nyatanya, aku tak bisa menepati janji itu."

Secara naluriah, Taufan langsung bergerak membawa Meli kedalam sebuah pelukan. Mengusap punggung sang wanita beberapa kali dengan lembut. Lalu mengecup singkat puncak kepala istrinya itu

"Kamu ... membicarakan soal Beliung ya," Taufan menebak. Dan Meli hanya diam sebagai jawaban. "Kalau begitu, kuucapkan terima kasih ya. Pasti berat memikul janji itu. Dan ...,"

Mata safir Taufan melirik buku yang terlupakan di dekat Meli. Memandang barisan garis kecil yang terukir di halaman yang sedikit basah itu.

"Dan pasti melelahkan terus mengulangi kejadian yang sama," sambung Taufan, yang kali ini berhasil membuat Meli terkejut dan melepaskan diri dari pelukan Taufan.

"Kamu ... bagaimana ...," Meli kehabisan kata-kata. Tak pernah mengira Taufan mengetahui soal kemampuan super yang dimilikinya.

Tapi Taufan hanya tersenyum dan memberikan sebuah ucapan tersirat di baliknya. 'Bisa kita lewatkan bagian itu saja?'

"Meli," panggil Taufan lagi, "aku ... sungguh merasa bersyukur kamu selalu berusaha menjaga janji itu. Melakukan segala cara untuk tetap mempertahankan kepribadianku yang utama. Tapi ... di sisi lain aku juga merasa sedih,"

"Apa?" Meli mengerjap.

"Meli, aku ini suamimu," ujar Taufan, "jadi percayalah padaku dan jangan menanggung seorang diri, beban yang seharusnya bukan milikmu,"

"Tapi, 'kan—

"Tolong hentikan itu, Meli," potong Taufan, "kumohon berhenti lah berjuang seorang diri. Bukankah kita telah bersumpah untuk saling membantu dan mendukung aatu sama lain? Dan lagi ...," Sang pria terhenti. Memandang lekat istrinya, dan tersenyum pahit.

"Tidakkah kamu merasa lelah terus merasakan sakit ketika mengakhiri hidup kamu, demi mengulang kembali waktu?"

Kali ini, ucapan itu berhasil memecah dinding emosi yang dibangun sekuat mungkin oleh Meli. Tangisnya pecah begitu saja. Membuat Taufan memilih untuk membawa istrinya kembali ke dalam pelukannya.

"Maaf. Maaf. Maafkan aku." Meli berucap dalam tangisnya. Seperti seseorang yang tengah berdoa.

"Tidak apa, tidak apa," sahut Taufan mengusap kepala Meli lembut, "kamu sama sekali tidak salah, Meli. Tidak sedikit pun."

Sungguh. Kali ini, Meli ingin sekali lagi mengulang waktu. Kembali bukan untuk berjuang sendiri, tapi kembali untuk mempercayai Taufan seutuhnya dan berjuang bersama.

"Untuk selanjutnya, ayo berusaha bersama, Meli."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top