Night Call - KeiShi
Mendengarkan suarayang terkasih adalah penutup hari terbaik.
By Healerellik
Klik
Pintu kamar mandi segera ditutup oleh Shizurei yang menyampirkan handuk kecil di kepalanya. Seraya mengeringkan rambut dengan benda itu, dia pun menuju meja belajar, di mana sudah ada lampu yang menyala. Dia berniat akan membaca ulang semua catatan yang dia dapatkan dari kepala koki hari ini, ketika layar ponselnya menyala. Ada sebuah panggilan video yang masuk.
Tentu saja Shizurei mengangkatnya dengan senyum yang terkulum di wajah.
"Hei, aku sungguh belum terbiasa dengan dirimu yang menelepon duluan," ujarnya begitu tersambung. Sosok di seberang terlihat mengeryitkan alis.
"Ada apa dengan kalimat sapa di awal pembicaraan?"
"Cih, seperti kau mau berbasa-basi saja." Shizurei memutar bola matanya dengan malas atas tanggapan yang Kei berikan, tapi tetap saja akhirnya dia menyapa lelaki itu, "malam, Kei~"
Kei tidak menjawab sapaan itu, yang ada dia justru terlihat menahan tawa di layar. Alhasil membuat Shizurei mendecakkan lidahnya sekali lagi. "Sepertinya tidak ada yang ingin kau bicarakan. Teleponnya aku tutup."
"Hei, hei ... aku hanya bercanda," tawa kecil Kei keluar, "kau ternyata masih saja bersumbu pendek."
"Aku tekan tombol merah."
"Oke, aku serius." Terlihat Kei yang mengangkat sebelah tangannya di samping kepala, isyaratkan dirinya menyerah. Membuat Shizurei mengembuskan napas walau aslinya dia masih jengkel dengan senyum miring Kei.
"Malam juga, Shizu. Ehem ... bagaimana harimu kali ini?"
Pertanyaan yang dilontarkan setelah jeda beberapa saat itu menerbitkan senyum si wanita. Seolah rasa kesal yang semula menumpuk tiba-tiba menghilang begitu saja, tergantikan oleh rasa hangat yang misterius. Entah sejak kapan seperti ini. Mungkin sejak mereka membangun kesepakatan tersirat untuk memberikan sandaran di pengujung hari, terlepas jarak yang membentang di antara keduanya.
"It was a great day ... so today—"
Kemudian Shizurei menceritakan semua yang dia alami di balik dapur sebuah restoran. Tentang dia yang sedikit kerepotan karena mendapatkan full shift. Tentang pesanan pelanggan yang membludak karena menjelang hari raya. Tentang berbagai jenis kue yang masih dia ingat aromanya. Hingga tentang kepala koki yang memuji kinerjanya selama seharian itu.
Sementara itu di seberang telepon, manik cokelat keemasan di balik kacamata itu menatap candu. Terlepas dari bagaimana dia yang menjaili sang kekasih sebelumnya, kini dia memberikan senyum tipis kala dengarkan semua cerita tersebut. Sesekali dia tertawa kecil melihat ekspresi wanitanya yang menggebu-gebu. Seolah dia turut menjalani apa yang Shizurei katakan. Dan rasanya sungguh nyaman.
"... Kau sendiri bagaimana, Kei? Kudengar kau akan ada pertandingan lagi?" Shizurei mengakhiri ceritanya, kini menatap penuh minat kepada Kei yang mengerjap di layar ponselnya.
"Well, ada sedikit kecelakaan. Tapi sudah diobati oleh manajer kami kok." Berkata demikian, Kei memperlihatkan tangan kirinya yang diperban pada beberapa jari, "selain itu semuanya berjalan baik. Persiapan kami juga sudah matang. Tinggal membahas strategi cadangan dan akomodasi pada hari H saja."
Lagi, Shizurei mengembuskan napas melihat Kei yang tampak santai menceritakan harinya. Andai dia bisa, dia sungguh ingin menyentil dahi pria jangkung itu karena kecerobohannya. Namun, di satu sisi dia tahu benar bahwa resiko seperti itu memang bisa terjadi di bidang olahraga tersebut.
"Kau jangan lupa mengganti obat dan perbannya. Awas saja jika aku mendapatkan laporan dari Kak Akiteru lagi kalau kau malas." Celetukan Shizurei membuat Kei memberikan senyum miring.
"Tenang saja. Aku tidak akan bertindak ceroboh lagi menjelang pertandingan besar. Dan sepertinya ada yang harus diberikan pelajaran karena berani membocorkan rahasia."
Keduanya lantas tertawa bersama. Dari situ topik pembicaraan mereka kemudian melebar. Mulai dari voli, kue, sampai hal random yang terlintas di kepala agar perbincangan mereka tetap berlanjut. Hingga ...
"Oh ya, Shizu. Kau tidak memberitahuku kalau kakak laki-lakimu berkunjung? Bilang aku titip salam untuknya."
"Hah? Kakakku?" Alis Shizurei kontan mengeryit, "kakakku tidak pernah ke sini."
"Lalu sosok yang duduk di ranjangmu siapa?"
Seketika itu juga mata Shizurei membelalak. Sebab dia tahu hanya ada dirinya di ruangan ini. Rasa merinding yang entah datang dari mana membuatnya tidak berani menengok ke belakang.
"Kei, kau serius ada orang di belakangku? Aku yakin aku hanya sendirian di sini."
Raut wajah Kei langsung menjadi serius, yang justru membuat Shizurei kian berdetak kencang. Tubuhnya terasa kaku untuk bersikap panik. Sampai akhirnya tawa Kei terdengar keras dari telepon. Seketika itu juga Shizurei sadar akan apa yang terjadi.
"Candaanmu tidak lucu tahu! Aku sudah benar-benar takut!" gerutu si puan dengan raut yang cemberut. Sebagian dirinya memberitahu bahwa dia seharusnya tidak mempercayai hal itu dari awal.
"Maaf, maaf. Aku hanya ingin melihat ekspresimu yang lain. Aku minta maaf ya?"
Shizurei terdiam. Enggan menanggapi permintaan maaf Kei, walau hal ini termasuk jarang karena sifat si lelaki yang cenderung bersikap tidak peduli dengan sekitarnya. 'Seharusnya aku merekamnya tadi,' pikir Shizurei.
"..."
"Shizu?"
"Tapi kau harus janji jangan diulangi lagi. Oke?" Shizurei mengancungkan jari kelingkingnya di depan layar.
"Janji," ucap Kei, turut mengangkat jarinya juga.
"Oke. Aku maafkan," senyum pemilik marga Kuroneko mengembang melihat ekspresi rileks Kei, "asal dengan satu syarat."
"Hm? Syarat apa?"
"Karena candaanmu, aku jadi takut sendiri di sini," ada sedikit rona samar di wajar Shizurei, "jadi kau harus menemaniku, minimal sampai aku tertidur, sebagai hukumanmu."
"Aah ... oke. Itu mudah kok," timpal Kei. Sekilas dia menghadap ke samping dan bergumam, "yes berhasil!"
"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Shizurei dengan heran.
Kei langsung mengibaskan tangan, "tidak ada kok. Jadi, ...."
Pembicaraan mereka pun kembali berlanjut hingga larut malam setelahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top