Miss You - SamaRain

Seminggu itu adalah batas toleransi seorang Samatoki untuk menahan diri.

By Healerellik

"Ah, rapatku akan segera dimulai. See you, Kusogaki!"

Hilangnya wajah Rain dari ponselnya kala sambungan terputus membuat Samatoki menghela napas singkat, lantas mengusap wajah. Seolah dia tidak rela bahwa dia harus menunggu sekian jam lagi untuk menelepon sang istri.

"Ayolah. Kalian sudah video call selama dua jam lebih. Tidak kah itu cukup untuk sementara?" celetuk Jyuto dari sisi sebelah. Samatoki yang menengadah hanya mendecih balik sebagai tanggapan.

"Sebaiknya kau juga segera menyelesaikan tugas dari Oyabun. Siapa tahu kau diberi izin menyusulnya ke Okinawa." Kali ini Riou yang menimpali. Dia hanya menatap polos pada raut aneh yang diberikan oleh Jyuto kala melihat isi piring di tangannya; sekumpulan serangga yang mungkin pertama kali pria berkacamata itu lihat di hidupnya.

"Aku sudah pergi ke sana dari dua hari lalu jika semudah itu, Riou. Sayangnya konflik internal dengan beberapa grup cabang membuatku harus diam di sini." Pria berambut putih bertukar posisi, kini memilih membaca beberapa berkas yang tergeletak secara acak di atas meja.

"Ya sudah. Jalani saja apa yang terjadi. Lagipula perjalanan dinas Rain tinggal tiga hari lagi, kan?"

"Cih, tiga hari terlalu lama. Kalau bisa, aku ingin pergi ke Okinawa malam ini juga," timpal Samatoki yang disambut tawa tertahan dari Jyuto. Membuat si Aohitsugi siap melemparnya dengan map jika saja Riou tidak menengahi.

"Kau rindu dengan Rain ya?" Pertanyaan polos itu membuat Samatoki tertegun sebentar, lantas menggerutu. Walau demikian, gestur yang dia berikan berbanding terbalik. Setelah mengalihkan pandang, tatapannya yang menerawang menjadi lembut kala membayangkan pemilik rambut sewarna emas itu tersenyum bak mentari pagi kepadanya.

Respon itu membuat Riou hanya tersenyum kecil, lantas segera bangun untuk menahan Samatoki yang siap melempar asbak kepada Jyuto yang tertawa keras.

*****

Seminggu lalu, Rain mendadak memberitahu bahwa dia akan melakukan perjalanan dinas ke pengujung Jepang, tepatnya Okinawa. Sejujurnya Samatoki akan nekat menyusul dengan pesawat yang berbeda jika saja Oyabun—yang sudah dia anggap sebagai ayah—tidak memberinya tugas yang memakan waktu lama untuk menyelesaikannya.

Selama seminggu itu pula mereka hanya melakukan interaksi via daring, baik dengan telepon atau panggilan video. Namun, bagi Samatoki yang selalu refleks memeriksa sisi Rain setiap bangun tidur, itu jauh dari kata cukup. Dia membutuhkan sosok wanita itu dalam jangkauannya; walau interaksi mereka setiap hari tidak lepas dari suara beroktaf tinggi.

Jika ada yang melihat sosok nomor 2 dalam organisasi Yakuza terkenal di bawah tanah tersebut galau hanya karena sang istri pergi bekerja, mungkin tidak akan percaya. Sayangnya untuk mereka yang sudah tahu seluk beluk si lelaki, maka akan menemukan sekelumit resah yang sulit diberi arti; buah dari bagaimana takdir merenggut beberapa keping dari jiwa seorang Samatoki Aohitsugi.

Lantas malam ini adalah akhir dari penantian tersebut. Samatoki menatap bangga melihat sekeliling ruangan menjadi lebih rapi dan bersih dibandingkan sebelumnya. Beberapa vas berisikan bunga kesukaan Rain pun sudah dia tata sedemikian rupa. Oh, tidak lupa juga kulkas yang penuh dengan bahan makanan; dia berencana untuk memasak kesukaan sang terkasih begitu mereka pulang dari bandara esok harinya.

Intinya Samatoki ingin segera menghabiskan waktu dengan Rain kembali.

"All done. Sekarang tinggal memasang alarm karena dia bilang akan sampai pukul lima pagi." Senyum lebar Samatoki terpasang begitu dia menyusuri kembali ruangan tersebut untuk memastikan. Setelah yakin, maka dia pun menuju kamar untuk bersiap tidur.

Ting tong!

Kepala bersurai putih tersebut refleks menoleh ke pintu utama. Siapa yang bertamu selarut ini? Seingatnya dia sudah mengirim berkas-berkas kepada kedua rekannya, pun Nemu juga sudah mengunjungi dirinya tadi pagi.

Ting tong!

Bel kedua berbunyi membuat Samatoki sigap membuka pintu dengan omelan di dalam hati dan seketika terhenti begitu melihat siapa yang datang. Iris merah darah itu melebar kala bersitatap dengan dua buah manik sewarna langit pagi. Senyum lebar nan childish yang sudah lama tidak dia lihat secara langsung membuatnya tertegun.

"Hei, kupikir kau sudah ti—"

Sapaan Rain terputus begitu dirinya tenggelam dalam dekapan erat si lelaki yang sekaligus menyeretnya untuk masuk ke dalam. Ada sebuah embusan napas nan lega dia dapati bersarang di telinga dari Samatoki yang masih memeluknya bahkan hingga ke ruang tengah. Rain yang sedikit kebingungan karena tingkah abnormal sang suami pun hanya mendiamkan. Baru dua menit setelahnya, tautan tubuh keduanya berpisah.

"Kuso onna! Mengapa kau pergi lama sekali?! Dan sial sekali aku tidak bisa menyusul."

Rain yang semula hendak protes karena kepulangannya disambut dengan nada tinggi melebarkan mata menyadari ekspresi dan maksud sang terkasih. Senyum canggung beserta semburat kemerahan yang anehnya terlihat cocok dengan Samatoki pun menular kepada dirinya. Tunggu, kapan terakhir kali dia melihat ekspresi yang sama? Di kencan terakhir mereka tepat sebelum dirinya ke Okinawa?

"Oh? Tumben sekali kau tidak membangkang. Biasanya kau akan membujuk Oyabun untuk membiarkanmu bertindak seenaknya," adalah kalimat yang selanjutnya Rain sesali setelah dikeluarkan. Harusnya kalimatnya lebih manis mengingat situasi. Namun, Samatoki yang biasanya akan meladeni kalimat ejekannya kini hanya tersenyum tipis.

"Kehadiranku sebagai orang nomor dua benar-benar dibutuhkan dalam masalah kali ini."

Mereka berdua pindah ke sofa. Rain pun dengan senang hati membiarkan dirinya tenggelam dalam keempukan benda tersebut. Lantas menoleh begitu menyadari ekspresi Samatoki.

"Kau bilang kau akan pulang besok pagi," ujar si lelaki.

"Bukankah aku sudah memberitahumu kalau acaranya lebih cepat selesai? Jadi aku segera pulang." Semakin Rain memerhatikan ekspresi Samatoki, semakin banyak pula kernyitan di dahinya. "Mengapa? Kau tidak suka?"

"Bukan begitu!" sergah Samatoki, "dan aku tidak sempat mengecek ponselku karena sibuk juga dari sore, Kuso onna."

"Sibuk apa memangnya? Bukannya tugas dari Oyabun sudah selesai kemarin?"

"Sibuk menyambut kepulanganmu."

Rain segera menyadari sekelilingnya yang tentu mengalami perubahan dari kali terakhir dia lihat. "Eh? Tumben sekali—"

Lagi, ucapannya terputus karena Samatoki yang mendadak memeluknya dari samping. Membuatnya rebah ke lengan sofa, lantas memerah begitu mendapatkan balasannya.

"Sial. Kau belum mengerti sama sekali?" gerutu Samatoki sebelum membenamkan wajahnya pada dada Rain. "Aku merindukanmu, Rain." Suaranya terdengar samar karena posisi mereka.

Butuh beberapa detik bagi Rain untuk menghubungkan semua titik, sebelum akhirnya tertawa penuh kemenangan. Pelukan Samatoki dibalas singkat, kemudian mempertemukan tatapan mereka dengan mengangkat wajah si lelaki. Senyum miringnya membuat Samatoki mendecih seketika.

"Wah, wah~ jadi yang diceritakan Jyuto benar ya? Ada yang diam-diam galau karena aku tidak ada selama seminggu. Bagaimana kalau aku pergi—"

Samatoki dengan cepat membungkam mulut Rain menggunakan miliknya. Ada sebuah rasa yang mengalir, bertukar secara alami seiring ciuman mereka yang berubah dalam. Membuat ruangan tersebut seketika hanya terisi dengan suara decapan yang makin basah, sampai Rain harus menepuk punggung Samatoki beberapa kali agar mereka mengambil jeda untuk bernapas.

"Shut up. Apa yang salah dari merindukan istriku sendiri?" Samatoki mengambil kesempatan di bagian leher Rain yang terbuka, buat suara si wanita tertahan begitu dia menghisap daerah itu.

"Y-ya tidak ada."

"Jadi?"

"Hah ... dasar Kusogaki," hela Rain begitu tatapan mereka bertemu kembali. Ditangkupnya kedua pipi si lelaki untuk diberi ciuman singkat. "But well, honestly I miss you too ..."

Samatoki tersenyum kecil mendengarnya, sebelum kembali berbelok lantas mengisap kecil daun telinga Rain. Ditambah tangannya yang lihai membuka kemeja si wanita; buat belahan dadanya segera terkena udara.

"H-hei, tiba-tiba?!"

"Nah. Harusnya kita sudah melakukannya tiga sampai empat kali untuk seminggu kemarin. Jadi kau harus bertanggung jawab." Samatoki benamkan wajah kembali, beri tanda kemerahan yang kontras dengan kulit putih Rain tepat di bawah leher. Bisa dia dengar desahan lembut yang keluar dari lawan.

"But I can't help it! It was an important meeting!"

Seringai halus terbit di wajah Samatoki kala mendengar jawaban tersebut. "So do I, Honey. I've been craving you for a fucking week," bisiknya di telinga Rain yang seketika memerah. Membuatnya ingin segera menikmati waktu ke depannya.

"So allow me to take all of you right now ..."

Permintaan yang jelas tidak bisa Rain tolak karena sejatinya dia pun merasakan hal yang sama. Alhasil dirinya hanya benamkan wajah di leher Samatoki kala si lelaki dengan sigap mengangkatnya untuk berpindah menuju kamar mereka.

Karenamereka membutuhkan tempat yang lebih luas untuk menyalurkan semua rindu yangtertahan.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top