Love? - SenAi
Jika memang cinta, bukankah tak perlu kata-kata?
By Wizardcookie
Hari telah berganti, langit malam menghiasi bumi, kesunyian mengiring seorang puan sendiri. Kakinya selangkah demi langkah menapak tanah, pikiran melesat jauh tanpa arah. Tubuhnya benar-benar berat untuk ditopang, apalagi beban yang ia emban. Ainawa tahu semua orang mempercayainya sebagai seorang ketua dalam projek besar yang akan dilaksanakan beberapa hari ke depan, tetapi ia merasa dirinya tak pantas akan posisi tersebut.
Hembusan napas kasar lolos dari bibir, melepas kacamata sejenak dan mengusap wajah. Setelah hari-hari berat yang ia alami mengapa harus sekarang? Mengapa rasa letih ini tak kunjung menghilang?
"Oi."
Terlalu kalut dengan pikiran membuatnya tak sadar saat seseorang memanggilnya. Lantas ia menoleh seraya mengenakan kacamatanya kembali, mendapati adam berambut putih-hijau menghampirinya sembari memegang tas yang ia tumpu di bahu. Wajahnya terlihat kesal karena Ainawa tak menyahutnya.
"Senkuu-kun." Ia memanggil. "Ada apa?"
Lelaki yang dipanggil Senkuu itu mendecak. "Aku memanggilmu dari tadi," keluhnya. "Apa ada yang tertinggal? Aku temani."
"Ti-Tidak," Ainawa mengelak cepat. Meski mereka sudah lama bersama, di jalan ini pula mereka bersua, rasanya ia tetap tak ingin membagi beban pada lelaki di hadapan. "Ayo kita pulang."
"Nah, aku sudah berada di rumah."
Ucapan Senkuu membuat dara tersebut mengerjap. Mereka sekarang berada di jalan sepi, tak jauh dari tempat mereka bekerja. Tak ada lagi kendaraan berlalu lalang, hanya suara jangkrik dan kunang-kunang terbang sebagai peneman. "Rumah" apa yang dimaksudnya?
Lelaki itu menggeleng pelan. "Iya, kau rumahku." Ia memutuskan untuk melanjutkan ucapannya sebab lawan bicara tak paham. Geram-geram, tapi gemas juga melihat tingkah perempuannya. "Mana perempuan yang katanya selalu juara kelas? Masa' begitu saja tidak paham."
"M-Mana kutahu!" Ainawa berucap malu. "Anak sekolah dasar juga tak mengerti dengan kata-katamu."
"Benar, kau adalah anak sekolah dasar." Senkuu terkekeh. "Kau sudah mengekspos dirimu sendiri tahu."
Gadis pemilik mahkota jelaga itu mencebik, merajuk dengan kata-kata prianya. Ia pun berjalan mendahului Senkuu tanpa memedulikan sang lelaki.
Setapak dua tapak, sepatunya bersentuhan dengan aspal, terdengar pula langkah sang lelaki yang berada beberapa senti di belakang lalu beralih di sampingnya. Langkah mereka beriringan, tetapi Ainawa kembali tak bicara. Ternyata, cengkrama yang diciptakan hanya menjadi peralihan sementara.
"Ainawa." Gadis itu menoleh. "Berikan tanganmu."
Walau mereka telah mengikat cinta, walau masih ada pembatas imaji tak kasat mata, perasaan Senkuu tak fana, begitupula Ainawa. Dalam hati, Senkuu selalu bertanya-tanya apakah dia sudah cukup untuk perempuannya? Ainawa sendiri, apakah dia adalah orang yang tepat untuk prianya? Setiap pertanyaan selalu terlintas di pikiran mereka. Saat akan tidur—membicarakan keseharian atau sekadar bercanda, saat bangun tidur—melihat salah satu dari mereka yang masih mengeksplorasi alam mimpi, saat berkemas diri—saling membahu dan membantu. Rasa-rasanya, semua itu bukan keharusan.
Jika memang cinta, bukankah tak perlu kata-kata?
Ainawa mengulur tangannya pada Senkuu, pria itu pun meraih dan menggenggamnya, mengelus punggung tangan sang wanita dengan ibu jari. Langkah mereka pun terhenti, kesunyian tiada arti karena detak jantung yang berdegup tak karuan. Detik itu, Senkuu berharap dia bisa menjadi orang yang bisa berada di sisi Ainawa apa pun yang terjadi. Ainawa sendiri, merasa bersyukur karena Tuhan telah mempertemukannya pada seseorang yang ingin ia andalkan.
"Kalau kau merasa kesulitan ....," Senkuu tetap mengelus tangan sang wanita, hingga iris delimanya mengarah pada Ainawa. "Beritahu aku."
Wanita itu tak merespon dengan kata, tetapi bahasa tubuh dengan mengganggukkan kepala. Meski rona merah timbul di pipi, juga fokusnya yang melihat tangannya disentuh Senkuu membuatnya tak bisa berucap sepatah kata.
Iya, mereka saling mencintai ... meski tak berkata "cinta".
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top