Kerfuffle - SenAi
KebungkamanAinawa mengusik Senkuu. Rasa penasaran mendesaknya ingin tahu apa yang membuatsang wanita mengatupkan bibir seharian.
By rey_asha
Ada yang aneh pada Ainawa.
Sungguh, pagi ini mereka masih biasa saja. Wanita itu masih menggoreng telur dan mengoleskan mentega pada roti dengan senyum merekah. Lalu apa yang membuat istrinya kini menekuk wajah dengan senyum yang dipaksakan?
Ia memang bukan pujangga yang mampu merangkai ratusan kata indah. Ia juga bukan pria yang mampu memberi gestur afeksi yang mewah. Namun, ia cukup jeli untuk tahu perbedaan tiap ekspresi yang Ainawa tunjukkan. Mengamati dari meja kerjanya, Ainawa tampak serius membaca buku herbologi dengan alis bertaut dan sudut bibir berkedut. Setiap kali ditanya, jawabannya pasti sama.
"Aku tidak apa-apa, Senkuu-kun."
Omong kosong. Wanita itu jelas tidak baik. Ia yang paling tahu perbedaan seringai tulus dan senyum paksa Ainawa. Binar yang ikut berkilau dalam netra kecokelatannya meredup, seolah ada awan nimbus yang menghalangi pancaran sinarnya. Ditambah dengan fakta bahwa Ainawa urung mengulas apa yang terjadi padanya seharian ini, Senkuu semakin yakin ada sesuatu yang salah.
"Ainawa," panggilnya sembari menopang dagu pada kepalan tangan yang bertumpu di meja. "Ainawa. Aku memanggilmu."
Ainawa mengangkat wajah, masih dengan raut muka tertekuk sungkan. "Ada apa Senkuu-kun?"
"Benar-benar tidak mau bicara padaku?" tanya Senkuu dengan sirat mendesak. "Aku bahkan tidak tahu apa salahku. Setidaknya beritahu supaya tidak kuulangi."
"Aku cuma sibuk dengan pekerjaanku," jawab Ainawa setengah hati, kembali sibuk dengan bacaannya tanpa benar-benar melakukan kontak mata. "Jangan hiraukan aku. Fokus saja dengan apa yang kaulakukan."
Senkuu berdecak sebal. Betapa ia ingin kembali pada pekerjaannya—masih ada jurnal juga perkembangan penelitiannya hari ini yang harus segera dilaporkan. Namun, bayang-bayang raut muram Ainawa enggan menghilang dari dalam pikiran. Mengingat bagaimana sumringahnya sang hawa tiap hari, kemasaman Ainawa sangat mengganggunya.
Jika sudah seperti ini hanya ada satu cara yang terlintas di pikiran. Senkuu merogoh bungkusan plastik yang diberikan rekan satu timnya siang tadi. Gemeresak plastik tampaknya menarik perhatian Ainawa. Ekor matanya menangkap wanita itu terbelalak memandangi objek di atas mejanya lalu matanya memicing samar.
"Kau mau?" Pertanyaan Senkuu mengudara dengan nada jail, tahu bahwa selama ia tinggal bersama dengan Ainawa, wanita itu tidak pernah menolak eksistensi cokelat. "Sini kalau mau."
Ia bisa melihat keraguan yang tersimpan dalam ekspresi Ainawa, menimbang apakah harus mengikuti hasratnya untuk menyantap kue cokelat atau tetap mempertahankan dinding kokohnya. Seringainya tertarik semakin dalam saat Ainawa melirik kue dalam genggamannya.
"Tidak usah." Seringai Senkuu seketika meluntur. "Cokelat yang dibuat susah payah untukmu lebih baik dimakan sendiri saja, Senkuu-kun."
Butuh beberapa detik baginya untuk memahami makna tersirat dari ucapan Ainawa. Senyumnya kembali mengembang, menyadari bahwa istrinya tidak benar-benar marah atau ia telah melakukan kesalahan. Wanitanya hanya cemburu.
"Aku yakin yang membuatnya tidak sampai susah payah." Terselip nada jail dalam kalimatnya. "Lagipula siapapun yang memberi cokelat ini tidak ditujukan untukku."
Ainawa memiringkan kepala penuh tanda tanya namun ekspresinya masih belum melembut. "Kenapa yakin begitu?"
"Karena aku yakin sepuluh miliar persen bahwa kau yang dipikirkan si pembuat cokelat," kekeh Senkuu seraya menyeringai yakin. "Akemi yang menaruhnya di mejaku saat aku bertemu dengan investor tadi siang."
"Hah?"
"Aku yang meminta Akemi membuat cokelat untukmu, mengingat kau sangat suka dengan kue buatannya." Ia bertopang dagu, sebelah alisnya terangkat dengan seringai congkak. "Jadi apapun yang terlintas di kepalamu tidaklah benar. Cokelat itu untukmu, bodoh."
Senkuu tergelak kala Ainawa terperangah. Mengambil satu potong kue, ia beranjak mendekati Ainawa yang telah berhasil mencerna maksud perkataannya. Tawanya kian geli setengah mengejek saat Ainawa memalingkan wajahnya yang tersipu.
"Jangan salah sangka, Senkuu-kun. Aku tidak memikirkan apapun," Ainawa mengelak. "Kau berhak melakukan apapun yang kaumau kapanpun. Aku tidak punya hak untuk cemburu atau apalah itu namanya."
"Jadi kau mengaku kalau kau cemburu?" Sebelah alis Senkuu terangkat jahil. Ia kembali melanjutkan sebelum Ainawa menepis. "Baik, baik. Sekarang buka mulutmu."
Senkuu berlutut di hadapan Ainawa, menyodorkan sepotong kue di tangannya. Sorot matanya berkilat penuh tuntut, meminta sang wanita untuk membuka mulutnya. Seringai puas tercetak tatkala Ainawa menurut. Iris senada darahnya memandangi rupa Ainawa yang memerah lantaran ia mengusap bibir bawah sang istri dengan ibu jarinya.
"Enak?"
Ainawa mengangguk ragu, masih mengunyah pelan.
"Masih ada satu toples lagi." Senkuu menyentakkan kepala ke arah meja kerjanya. Ia mengusak puncak kepala Ainawa yang masih menunduk. "Lain kali jangan berpikir aneh-aneh. Waktuku sudah sibuk dengan penelitian."
Ainawa mendecih samar, memalingkan muka. "Aku tidak berpikir aneh-aneh."
"Pasti ada alasan mengapa kau tidak mengoceh seperti biasanya," papar Senkuu. "Dan menilai dari reaksimu pada toples cokelat yang baru kukeluarkan, kuduga kau mengunjungi ruanganku saat makan siang dan melihatnya di sana, benar kan? Ditambah lagi hari ini adalah 14 Maret. Kau berpikir mungkin saja ada gadis lain yang menyatakan perasaan padaku atau aku akan memberikan cokelat itu pada seorang gadis, benar kan?"
Sesuatu dalam dirinya seolah meluap, bergelegak tanpa bisa dibendung. Meski ia tahu bahwa Ainawa telah menyukainya sejak lama, tapi baru kali ini wanita itu menunjukkan sikap posesif—walau samar dan terkesan pasif-agresif. Dan ada bagian dirinya yang merasa puas ketika Ainawa memperlihatkan sisi teritorialnya.
"Sudah kubilang tidak," kilah Ainawa keras kepala. "Aku tidak memikirkan apapun. Untuk apa juga aku cemburu."
Entah apa yang merasukinya. Mungkin juga gelombang kepuasan dan euforia, mungkin juga karena akhirnya netra kecokelatan itu memandang ke arahnya. Ia mengangkat wajah, memejamkan mata lalu mempertemukan bibir mereka dalam kecupan singkat.
"Masih ingin mengelak?"
Ainawa masih berusaha mengumpulkan akal sehatnya yang menguap lantaran kecupan tadi, menggeleng sebagai respons untuk pertanyaan Senkuu.
"Gadis pintar."
Senkuu mengusak puncak kepala Ainawa lalu kembali pada posisinya semula. Senyumnya masih belum luntur, penuh dengan endorfin yang mengalir di pembuluh. Butuh beberapa menit sebelum Ainawa mulai angkat suara, bercerita tentang apa yang ia lakukan seharian ini sebagai pengalih betapa tersipunya ia.
Sesekali menanggapi cerita Ainawa, Senkuu melanjutkan pekerjaannya—kali ini dengan suasana hati yang lebih tentram karena ia telah mendengar musik favoritnya. Pikirannya kembali mengulang kejadian beberapa menit lalu—mengumpat karena bertindak begitu impulsif hingga mengabaikan logika dan mengandalkan insting.
Terlepas dari sikapnya barusan, Senkuu mengatakan hal yang sejujurnya. Bahwa ia tidak punya waktu untuk wanita lain. Penelitian dan Ainawa sudah cukup menyibukkan dunianya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top