In The Dark - GavinAsa

Gelas kedua.

Gavin memandangi sosok istrinya yang masuk duduk di meja, berhadapan dengan serangkaian dokumen yang tidak terlalu ia pahami sembari memegang mug berisi kopi. Hari dimana pekerjaan mengizinkannya untuk pulang lebih awal berpapasan dengan Asakura yang harus menggenapi tugasnya sebagai guru TK di rumah.

Ia tidak terlalu paham dengan tugas guru. Sepanjang pengetahuannya, pekerjaan guru hanya menilai tugas siswanya. Asakura sampai harus menjelaskan padanya bahwa tugas seorang guru lebih kompleks daripada itu. Sialnya, ketika istrinya menjelaskan panjang lebar, ia terlalu sibuk mengamati ekspresi yang lucu Asakura hingga telinganya bagai tuli.

Gavin cukup pandai mengontrol diri, memberi ruang pada Asakura untuk menyelesaikan pekerjaannya terlepas dari fakta bahwa yang ia inginkan hanyalah tenggelam dalam pelukan sang istri. Sejak tiga jam lalu, pandangannya tidak berpaling. Netra senada madu menyusuri tiap jengkal Asakura. Sudut bibir tertarik lebih dalam kala Asakura kerap kali berganti ekspresi atau menghela napas.

Istriku lucu sekali, kalimat itu berulang kali terbesit dalam benak.

Memutuskan untuk mengurangi beban pikiran Asakura, Gavin beranjak. Meski kemampuan memasaknya agak memprihatinkan, tapi ia cukup pandai dalam urusan mencuci piring kok.

"Jangan memaksakan diri hingga larut," Gavin membungkuk, jemarinya menangkup dagu sang istri, memberi keleluasaan untuk mengecup kening wanitanya. "Kalau sudah lelah, berhenti dulu."

"Iya iya."

"Janji tidak akan berlebihan?" tanya Gavin tanpa melepaskan pegangannya.

"Janji," cetus Asakura cepat. "Aku tidak sepertimu, Gavin. Aku tahu batasanku."

Gavin berdecak jenaka. Ia menempelkan ciuman ringan pada puncak kepala Asakura sebelum melangkahkan kaki ke dapur. Tumpukan piring dan mangkuk menunggunya. Selama beberapa waktu hanya suara aliran air yang menggema di penjuru apartemen, sesekali Gavin mendengar Asakura menggumamkan sesuatu tapi tidak ambil pusing.

Setelah cucian piring selesai, Gavin memeriksa pintu dan jendela. Kebiasaan yang ia bangun semenjak tinggal bersama dengan Asakura. Ia ingin meminimalisir adanya ancaman tidak terduga yang dapat membahayakan istrinya. Puas dengan kunci ganda yang sudah terpasang dengan benar, Gavin berniat untuk menemani Asakura hingga pekerjaan wanitanya selesai. Ia menyapa Pearly dan Rudy dalam perjalanannya.

"Apanya yang tahu batasan," Gavin mendengus, tidak bisa menahan senyum geli. "Kau malah tertidur di meja."

Ia berjongkok di sisi meja, sejajar dengan wajah Asakura yang tampak lucu karena sebelah pipinya tertekan oleh lembaran kertas. Gavin tidak bisa menahan desakan untuk menyibak helaian jelaga Asakura. Irisnya bergerilya, memandang setiap lekuk wajah istrinya. Tidak pernah bosan meski hampir setiap saat bersamanya.

"Kerja bagus, Bu Guru," bisik Gavin seraya menepuk pelan kepala Asakura dengan hati-hati.

Perlahan, Gavin menyelipkan lengan di lekuk lutut Asakura, mengangkat wanita itu dalam gendongannya. Langkahnya ringan, upaya agar tidak mengguncang tubuh Asakura. Tubuhnya bergerak dengan insting, membiarkan kaki menuntun arah selagi tatapannya berpusat pada Asakura.

Seketika dunia hening. Baginya, di dunia ini hanya ada mereka. Keinginan kuat untuk melindungi Asakura menyelimuti seluruh tubuh, dalam hati berjanji yang kesekian ribu kalinya untuk menjaga sosok yang serupa malaikat—menurut penilaian subjektifnya. Ia membaringkan Asakura di sisi kasurnya, menyelimuti wanita yang gemar bermain piano itu hingga sebatas bahu.

Napasnya tercekat saat Asakura mengerang tidak nyaman. Sesuatu mengganggunya dalam mimpi. Kini, ia berharap memiliki kemampuan untuk memasuki mimpi agar bisa menghancurkan apapun dan siapapun yang mengusik lelapnya sang istri.

"Aku di sini," bisiknya lembut. Tangannya mengusap lengan Asakura, gestur menenangkan. "Tidak akan terjadi apapun padamu. Aku di sini."

Pemandangan ini mengingatkannya pada salah satu malam paling panjang dalam hidupnya. Dibutakan oleh ketidak percayaan diri juga perasaan tidak aman, Asakura mencurahkan keluh kesahnya. Rentetan kalimat penuh penghakiman pada salah satu wanita paling menakjubkan yang ia kenal.

Aneh memang. Bagaimana bisa seseorang yang sempurna dengan segala kekurangannya seperti Asakura masih merasa tidak percaya diri? Namun Gavin tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa meyakinkan bahwa ia tidak akan meninggalkan Asakura. Mengingat dalam hati untuk melontarkan pujian—walau sebagian besar waktu, ia melakukannya tanpa sadar.

"Kau tahu tidak?" hanya suaranya yang menggema di kamar tidur. "Aku suka melihatmu merangkai bunga, tampak elegan. Aku suka saat kau tersenyum, rasanya seperti dunia kelihatan lebih cerah. Aku suka dengan kebiasaanmu yang menyeduh kopi agar tetap terjaga tapi berakhir ketiduran. Aku suka mendengar lantunan pianomu, melodimu yang menyelamatkanku."

Jemarinya tersisip di antara helaian hitam Asakura, membawanya sebatas bibir lalu menciumnya. Aroma familiar menyapa indra penciumannya. Aroma rumah yang sesungguhnya.

"Aku banyak melakukan kesalahan," lanjut Gavin.

"Beberapa diantaranya masih kusesali hingga saat ini. Namun, satu hal yang kutahu pasti merupakan keputusan terbaik dalam hidupku."

Bibirnya mengulas senyum, memuja ekspresi damai Asakura dalam diam. "Keputusanku untuk menitipkan setengah jiwaku padamu."

Gavin turut berbaring di samping Asakura, menempatkan wanita itu dalam rengkuhannya. "Sejak pertemuan pertama hingga hari ini, kau berulang kali menyelamatkanku. Terlepas dari keraguanmu pada dirimu sendiri, kau yang terbaik. Tidak ada yang lebih kudambakan daripada dirimu, Asakura."

Selamat tidur, Gavin menyapukan bibirnya sejenak. Aku rindu padamu. Kuharap kita bisa bertemu dalam mimpi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top