Hug - ShawMela

Pada saat melihatnya, Shaw langsung tahu ada yang berbeda dari Melanie-nya.

By Healerellik

"Aku pulang!"

Bunyi bel bergema di bagian depan kala Shaw membuka pintu apartemennya. Setelah berganti alas kaki, lelaki itu langsung masuk seraya bergumam kecil. Tangannya menggenggam sekantung kecil berisikan kue favorit Melanie. Untung saja toko kue di dekat studio band-nya buka, sehingga Shaw tanpa pikir panjang langsung membeli satu untuk dibawa pulang.

"Ann? Kau sudah pulang?" tanyanya kala menyadari tidak ada jawaban atas ucapannya tadi. Dia akan mengambil ponsel kala telinganya menangkap alunan melodi piano yang sayup-sayup terdengar. 'Ah, sepertinya dia tengah melukis ya?' pikir Shaw yang kini melangkahkan kakinya menuju ruangan di samping kamar mereka.

Tepat seperti dugaannya. Begitu pintu terbuka, dia dapati seorang wanita yang memunggunginya. Rambut hitam sepinggang digulung tinggi, palet cat berwarna-warni di sisi kiri, serta jemari lentik yang begitu apik menggoreskan kuas di atas kanvas putih. Shaw hanya menggelengkan kepala karena kehadiranya tidak diketahui sama sekali.

Meletakkan bungkusan di meja terdekat, Shaw menarik kursi yang ada. Diposisikan dirinya tepat di samping belakang si gadis; cukup dekat untuknya mengamati wajah sang terkasih, tapi tidak memasuki kawasan yang mungkin bisa mengganggu konsentrasi Melanie.

Suara alunan piano yang terdengar dari tape di ujung ruangan menjadi pengisi hening di antara mereka. Tidak ada percakapan, karena Melanie yang fokus dengan kanvasnya, sementara Shaw yang fokus pada pelukis di depannya. Rasanya dia ingin sekali menjaili wanita tersebut, tapi mengingat insiden terakhir—di mana dia dilempar oleh kuas basah karena mengganggu—, Shaw pun mengurungkan niat.

'Oh? Hari ini temanya bunga ya?' batin Shaw yang melihat kumpulan goresan itu akhirnya memberi bentuk; sebuah keranjang anyaman yang diisi penuh oleh bunga bermacam warna.

Shaw pun berdiri sejenak untuk meregangkan badan. Di saat itu dia baru melihat ada beberapa kanvas yang disandarkan pada dinding di samping mereka. Sesuatu yang wajar mengingat Melanie kadang suka melukis secara berkesinambungan. Mungkin itu yang akan dipikirkan oleh Shaw jika saja dia tidak menyadari sebuah perbedaan dari lukisan-lukisan itu.

Semua lukisan itu belum jadi.

Shaw tidak melihat adanya tanda tangan yang biasa Melanie bubuhkan di pojok bawah sebagai penanda bahwa lukisan itu sudah selesai. Bahkan warna beberapa di antaranya terlihat belum kering sempurna. Tinggal bersama Melanie membuat Shaw tahu kalau wanita itu pantang menyelesaikan sesuatu sebelum waktunya.

"Ann?" Shaw menepuk kedua bahu Melanie dengan lembut. Biarlah dia diamuk nanti karena mengganggu si puan, tapi dia membutuhkan kepastian. "Have anything to share with me?" lanjutnya kini seraya mengecup puncak kepala bersurai hitam itu.

Pergerakan jemari Melanie yang memegang kuas berhenti. Namun, hanya sebentar sebelum kembali menggoreskan garis berwarna ungu. Shaw yang melihat itu akhirnya yakin bahwa ada sesuatu yang mengganggu Melanie sehingga tidak seperti yang biasanya.

"Ann," tangan Shaw maju dan segera menahan pergelangan tangan wanitanya, "jawab pertanyaanku, Babe. Setidaknya aku bisa mendengarkan ceritamu."

Kalimat itu membuat Melanie mengembuskan napas sebelum menyerah. Setelah Shaw melepaskan tangannya, dia pun kemudian meletakkan palet dan kuas di pangkuannya. "Begitu kelihatan ya?" ucapnya lirih.

"Iya," jawab Shaw, "apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Sehingga Ann yang biasanya akan mengomeliku jika menyentuh peralatan melukisnya malah menjadi pendiam seperti ini?"

Melanie langsung menoleh. Tatapannya membuat Shaw segera berdeham beberapa kali. "Maksudku, kau memang pendiam. Tapi serius, hari ini kau terlihat berbeda sekali. Aku jadi khawatir. Kupikir kau marah kepadaku karena sesuatu."

"Bukan karena dirimu, Shaw."

"Lalu?"

Melanie menyentuh tangan Shaw di bahunya, lantas menggenggamnya. Hangat. "Aku tidak tahu. Rasanya akhir-akhir ini kepalaku penuh, tapi entah karena apa. Padahal urusanku sudah selesai semua, termasuk tugas dosen dan persiapan ujian mahasiswa. Namun, tetap saja rasanya ada sesuatu yang janggal. Kupikir dengan melukis, aku bisa tenang. Tapi nyatanya kau lihat sendiri. Ini kanvas keenam yang kukerjakan hari ini, padahal lukisan sebelumnya hanya setengah jadi ..."

Shaw terdiam mendengarkan cerita Melanie yang masih bersambung. Sepertinya apa yang dirasakan Melanie terlalu banyak, buat wanita yang dalam kesehariannya itu begitu tenang justru sekarang menjadi tumpah ruah. Alhasil, kala dia yakin cerita tersebut sudah selesai, Shaw segera melingkarkan tangannya, memeluk Melanie dari belakang dengan erat.

"Kau tengah burn out dan itu bukan salahmu, Ann," ujar Shaw kembali mengecup puncak kepala Melanie, "sebaiknya kau istirahat dulu dari rutinitasmu, ya? Lalu, bagaimana kalau nanti malam kita marathon semua film yang kau suka? Kita bisa membeli banyak camilan dan minuman untuk itu. Ah, tentunya aku juga akan memelukmu sepanjang malam."

"Mhmm ...."

"Kau mau kan, Ann?"

Melanie mengangguk, "tapi apa boleh yang terakhir itu kudapatkan sekarang saja?"

"Of course, Babe."

Maka Melanie pun memejamkan mata kala merasakan pelukan Shaw padanya kian erat, tapi begitu nyaman. Mungkin memang benar yang dikatakan oleh kekasihnya itu. Bahwa sekarang dia memerlukan sebuah pelukan panjang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top