Gesticulate - ShawMela

Karena tidak ada yang lebih ia sukai daripadaekspresi malu-malu Melanie.

By rey_asha

Mengantar Melanie adalah hal yang lumrah ia lakukan ketika tidak harus pergi ke luar kota untuk menunaikan pekerjaan. Bergantung pada keadaan, Shaw mungkin akan mengantar Melanie dengan mobil jika ia berencana bepergian jauh setelah itu, mungkin juga akan menggunakan motornya dan mencuri kesempatan untuk mengelus kaki sang istri—lalu tertawa saat memandangi wajah Melanie merona dari kaca spion. Namun, karena malas berkendara dan mereka memiliki lebih banyak waktu, bis menjadi pilihan kendaraan mereka pagi ini.

Seperti keadaan bis pada umumnya di jam berangkat kerja, setiap kursi yang tersedia telah diduduki oleh seseorang sehingga memaksa mereka untuk berdiri menghadap jendela. Shaw melirik gadis di sampingnya diam-diam, mengulum senyum saat Melanie menyipitkan mata lantaran silaunya cahaya mentari jatuh tepat di mata.

"Kau sangat bersinar hari ini sampai matahari saja ingin bersaing denganmu," kelakarnya.

Melanie mendengus, meliriknya tajam. "Omong kosong apa itu?"

"Kalau wajahmu merengut begitu, mataharinya akan menang, tahu." Shaw terkekeh rendah, mengangkat tangan di depan wajah Melanie untuk menghalangi cahaya mentari yang masih bersikukuh menyinari Melanie. "Kau pendek juga sih, makanya kena silau, kan."

Melanie mendecak. "Tubuhmu saja yang terlalu jangkung."

Sebelah alis Shaw terangkat jahil, lalu menunduk hingga bibirnya nyaris bersentuhan dengan telinga Melanie. "Tapi kau tidak protes dengan tubuhku tadi malam."

Melanie terkesiap, memutar kepala ke arah Shaw yang menyeringai lebar. Abai dengan mereka yang tengah berada di ruang publik, Melanie mencubit Shaw kuat hingga pria itu mengaduh—dan ia yakin akan meninggalkan bekas kebiruan yang menyakitkan.

"Aduh, Ann! Hei, sakit tahu!" Shaw mencekal pergelangan tangan Melanie. "Kau mau masuk berita dengan tuduhan pelaku penganiayaan pada suami sendiri?"

"Harusnya aku yang bertanya begitu," desis Melanie kesal dengan wajah merona. "Kau mau kulaporkan sebagai pelaku pelecehan seksual, hah?"

Shaw mengangkat bahu acuh tak acuh. "Yang benar saja. Masa menggoda istri sendiri dituduh pelecehan."

"Kalau kau terus bicara yang aneh-aneh, maka iya. Bisa dianggap pelecehan seksual tahu!"

Shaw mendecih tapi tidak membalas. Menyaksikan bagaimana rona menjalar di pipi sang hawa sudah cukup memuaskan baginya. Persetan dengan orang-orang yang melihat mereka dengan tatapan penuh ingin tahu, toh yang ia rayu adalah istrinya sendiri.

Ia berganti posisi dan memegang tiang di atas kepala dengan tangannya yang bebas. Menuntun tangan yang menggenggam pergelangan tangan Melanie untuk bertumpu pada lengannya alih-alih pada pegangan yang disediakan dalam bus, Shaw mengabaikan tatapan penuh tanda tanya sang istri.

"Karena kau pendek," tukas Shaw enteng. "Takutnya tidak sampai kalau pegangannya terlalu tinggi, jadi pegang lenganku saja."

Melanie menghela napas panjang, malas meladeni sang suami. Energinya di pagi hari masih belum terkumpul sempurna dan ia tidak ingin menghabiskan sebagian besar energinya untuk membalas tiap tingkah Shaw—yang terkadang membuat kepalanya berdenyut.

Pengumuman pemberhentian selanjutnya telah menggema dalam bus, membuat beberapa orang yang berniat turun sibuk mempersiapkan diri. Shaw mengulum seringai kala mendapati Melanie sudah menandai kursi yang akan kosong dengan tatapan tajam. Namun, tiba-tiba saja bus mengerem dan tubuh penumpang seolah terlempar.

Lengannya merangkul pinggang Melanie, menahan berat tubuh wanita itu agar mereka tidak menghantam lantai bus bersama. Protes dan omelan dari penumpang lain seolah tak terdengar, begitu juga dengan permintaan dari sang supir. Mana bisa fokus jika seluruh indranya ditumpulkan oleh aroma matcha yang menguar dari helaian rambut istrinya?

"Kau tahu, biasanya seseorang akan mengajak pasangan mereka makan malam lebih dulu sebelum memeluk mereka, bukan begitu?" Shaw tergelak rendah ketika Melanie mendengus kesal. "Aku bercanda. Kau baik-baik saja?"

Melanie mengangguk. "Terima kasih."

Shaw menyeringai. "Nanti kutagih bayarannya."

Istrinya menggelengkan kepala pasrah.

Menyadari ada kursi kosong yang baru saja ditinggalkan oleh seorang siswi, Shaw menyentak lengan Melanie lembut. Hatinya menghangat kala Melanie memamerkan senyum cerah, duduk di kursi kemudian menghela napas lega.

"Kalau memang sepegal itu, seharusnya kita pakai motor saja," cetusnya sembari memosisikan diri untuk berdiri tepat di depan kursi Melanie.

Alis Melanie terangkat tinggi. "Naik bus juga tidak apa-apa."

"Setidaknya kalau naik motor kau akan duduk nyaman dan kita akan cepat sampai." Tangannya terjulur, menepuk-nepuk lembut puncak kepala sang istri. "Itu dan kau harus memelukku."

"Sudah kuduga selalu ada niat tersembunyi kalau denganmu."

"Kau harus menyayangi suamimu apa adanya, Ann."

"Apakah terlambat untuk membatalkan pernikahannya ya?"

"Jangan bicara sembarangan," tegur Shaw santai. "Kau sudah milikku seumur hidup. Pikirmu akan kulepaskan dengan mudah?"

Melanie memalingkan wajahnya yang menghangat, enggan memberi Shaw amunisi lebih untuk menggodanya. Namun, Shaw tetap bisa melihat refleksi rupa menggemaskan Melanie pada kaca bus. Tunduk pada hasratnya untuk menyentuh Melanie—meski ia telah menghabiskan sepanjang pagi berada dalam presensi sang istri, Shaw menangkup belakang kepala Melanie dan memaksa wanita itu untuk bersandar padanya.

"Ada apa?" tanya Melanie dengan suara pelan.

"Lebih nyaman bersandar padaku daripada di kaca bus," Shaw menyahuti. "Tidur saja kalau masih mengantuk. Nanti kubangunkan kalau sudah sampai atau ... mau kugendong sampai ruanganmu, Ling-laoshi?"

"Jangan aneh-aneh!"

"Iya, tidak aneh-aneh. Astaga, kalau kau marah-marah terus keriputmu bisa bertambah tahu."

Ia mengaduh ketika Melanie memukul sisi tubuhnya, tapi ia hanya tertawa. Bukan karena pukulan Melanie tidak sakit—percayalah, jika wanita itu ingin ia mampu meninggalkan memar di tulang rusuk seseorang, tapi karena ia tahu balasan kekerasan yang ia terima adalah bentuk tersipu wanitanya.

Mungkin setelah sampai, ia akan menagih bayarannya dengan meminta Melanie mencium pipinya sebelum ia pergi. Ah ... pasti ekspresi tersipu dan rona merah yang menghiasi pipi sang wanita akan tampak menggemaskan. Iya. Mungkin ia harus menagih bayaran itu nanti.

Semua adil dalam perang dan cinta, kan, Ann?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top