First Sight - ShawMela
Kalau hari esok masih ada, mungkin pertemuan pertama mereka bisa diremedi.
---
by Evellyn93
"Hei, tunggu sebentar," ujarnya pada diri sendiri. Tangan kekarnya terkait erat pada tiang bendera di atas atap kerajaan. Tangan satunya memegang kantung berisi mahkota dari raja terdahulu yang sukses ia curi diam-diam. Mata emasnya menyapu pemandangan kerajaan dari atas, jarang-jarang dia bisa melihat pemandangan seperti ini.
"Aku harap aku punya istana," helanya pelan sambil mengawang seandainya aku jadi raja seperti anak kecil.
Pria itu memilih duduk sebentar, menikmati angin yang menerbangkan helaian abu kebiruannya. Predikatnya sebagai penipu dan pencuri ulung membuatnya bisa mendaratkan pantatnya untuk duduk tanpa khawatir tertangkap oleh penjaga kerajaan. Sudah ribuan kali dirinya melakukan ini, di berbagai kerajaan pula.
Dan dia masih bisa bernapas dengan lega bersama hasil curiannya.
Di antara sapuan pandangnya ke seluruh area istana, sepasang maniknya bertemu pandang dengan seorang gadis berhelai jelaga. Mampus! Pikirnya. Tapi melihat ekspresi sang gadis yang keheranan, nampaknya bukan ancaman yang berarti baginya.
Jadi apa salahnya untuk turun dan menyapa?
Kakinya gesit membawanya turun dari atap istana, tanpa membuat curiga para penjaga yang berpatroli di sekelilingnya. Mendarat dengan sedikit gaya lalu menghampiri gadis itu.
"Apa aku sekeren itu?" ujarnya. Barulah gadis itu mengerjap beberapa saat lantas terkejut karena tiba-tiba ada orang asing yang muncul di hadapannya.
"Huh? Kau ini siapa?" Sepasang netra emasnya meneliti sang gadis dari atas sampai bawah. Surai jelaga yang tertata rapi, lengkap dengan tiara yang menghias. Gaun dengan kain kualitas terbaik, beberapa lapis hingga mengembang dengan cantik. Sebuah buku bersampul kulit dengan kertas yang menguning dan kulit sang gadis yang terawat.
'Oh, tuan putri.' Batin sang pria.
"Aku tanya sekali lagi, kau siapa dan darimana?"
Alis sang pria terangkat sebelah, lenuh keheranan. "Bukannya kau melihatku dari tadi?" Dan pertanyaannya dijawab dengan gelengan. "Lah, lalu kau melihat apa?"
Tepat saat telunjuk sang putri menunjuk sesuatu di belakangnya, dirinya ikut berbalik. Harga dirinya jatuh saat menemui jika ada balon terbang yang melayang. Jika dilihat dari bawah, maka tempatnya ada di sekitar tempatnya duduk tadi.
Bodoh. Sekarang dia bingung mau ditaruh mana muka sok kerennya ini.
"Oh, aku pikir kau melihatku," bisiknya pelan. Untung dirinya membawa jubah sekarang, jadi dia bisa menaikkan tudung untuk menjaga agar harga dirinya tidak tambah anjlok.
"Jadi?"
Pria itu mengulurkan tangan, berniat untuk bersalaman untuk berkenalan. "Shaw. Kurir. Aku baru saja mengantarkan barang."
Gadis di hadapannya bergeming. Jabat tangannya hanya dilihat sementara tangannya naik untuk menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Uh, Melanie. Panggil saja Ann."
Di titik ini, Shaw sudah tidak punya harga diri.
"Oh, bukan tuan putri?" Tapi Shaw bukan Shaw kalau tidak bisa tetap kalem di mata perempuan. Sepasang keping cokelat itu membola mendengar kata tuan puteri dari pria itu.
"Iya, tapi tidak secara harfiah." Maniknya mengekori Shaw yang kini terduduk di bawah pohon, di sebelahnya. "Panggil Ann saja."
"Apa tidak masalah jika aku disini sebentar? Apa ini tempat pribadimu?" Melanie menggeleng. Tempat ini adalah salah satu tempat di halaman kerajaannya yang sepi. Jarang ada penjaga yang berpatroli disini. Tempat yang menurutnya paling nyaman untuk membaca.
Mereka larut pikiran masing-masing. Hanya suara gemersik daun dan dahan yang menyela mereka. Shaw sibuk mengutuk otaknya yang secara impulsif memutuskan untuk duduk disini dan Melanie yang membaca di sisi lain pohon ini. Sapuan angin yang lembut di pipinya buat rasa kantuk perlahan datang.
Shaw hanya berharap dia tidak mendengkur di depan putri kerajaan atau dia harus mengutang harga diri ke orang lain.
***
Apapun yang terjadi pada Ann, Shaw tidak mau tahu. Sekarang yang mau ia ketahui adalah—
"Kemana perginya gadis itu?!"
—Saat dirinya bangun, Melanie sudah absen dari balik pohon ini. Matahari masih tinggi, sore juga masih lama. Apa Melanie tidak nyaman denganku? Apa aku mendengkur?
Apa, lebih parah, aku kentut saat tidur?!
Sel otaknya yang jumlahnya tidak seberapa itu ribut sendiri-sendiri. Sebelum otaknya tambah ribut, dirinya teringat sesuatu. Tangannya spontan mencari kantung tempatnya menyimpan mahkota raja.
"Ketemu!"
Masih utuh, pada tempatnya. Hebatnya lagi, tidak ada yang sadar, termasuk Melanie. Helaan napas lega ia keluarkan lantas berencana meninggalkan tempat ini. Membersihkan celana, Shaw langsung menempatkan barang curiannya di tempat yang aman lalu beranjak dari sini.
Tapi satu hal terlintas di pikirannya. Ada konflik yang pecah lagi di kepalanya. Meributkan apakah dia harus kembali lagi besok atau tidak. Rasanya agak bersalah kalau dirinya merusak siang yang tenang seorang putri barusan. Seharusnya Melanie memarahinya karena merusak momen menatap balon terbangnya tadi.
"Aish, pikir nanti."
***
Langkah kakinya terhenti saat Shaw yang seharusnya masih tidur tiba-tiba sudah hilang. Melanie melebarkan pandangannya saat tahu kalau sisi belakang pohon itu benar-benar kosong. Bahkan dia memutari pohon itu.
"Pergi kemana dia?!"
Tangannya membawa nampan berisi air dan roti karena tadi Melanie mendengar perut pria itu berbunyi. Entah ada guntur di dalam perutnya atau apa, tapi Melan langsung beranjak untuk mengambilkan makanan. Saat dia kembali, Shaw sudah tidak ada.
"Apa karena aku terlalu diam tadi?"
Sekarang otaknya ribut. Mengeluhkan fakta jika dirinya tidak pandai bersosialisasi. Padahal tadi Shaw sudah berusaha akrab dengannya, tapi malah diam saja.
"Apa besok dia datang lagi?"
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik dan barulah Melanie menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Buat apa aku berharap begitu?!" Bisiknya gemas pada diri sendiri.
Tapi tidak munafik juga, Shaw terlalu lebih untuk seorang kurir. Parasnya, bentuk badannya, bahkan binar keemasan di mata ambernya. Selain itu, Shaw adalah orang pertama yang tetap biasa saja walau tahu jika dirinya adalah tuan putri. Tidak mencari muka, tidak menjilat seperti orang kelas atas yang sering dia temui. Entah apa yang kurang dari pria itu.
Kurang ajar mungkin.
Tapi, kalau bisa, kalau diberi kesempatan, Ann berharap jika dia bisa menemui Shaw lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top