Days Filled With Silence - SamaRain
Karena kenyataannya Samatoki tak bisa berlama-lama mengabaikan istrinya.
By rey_asha
Netra senada darah itu masih lekat menatap wanita yang termangu di meja makan. Bibir yang mencebik juga iris seiras dengan kilauan permukaan samudera di pagi hari tampak muram. Jemari panjang yang biasa menari di atas keyboard kini menggenggam sumpit dengan lesu. Sementara ia mengulum senyum ketika sang hawa mencuri-curi pandang dengan cara yang mencolok.
Mendongak untuk bersitatap dengan sang wanita, Samatoki hanya mengarahkan sumpitnya pada mangkuk Rain seolah mengatakan cepat-habiskan. Sikapnya lagi-lagi mengundang dengusan pelan dari sang istri.
Bukan tanpa alasan kediaman mereka absen dari adu argumen—bahkan percakapan sederhana—beberapa hari ini. Samatoki memilih untuk bungkam setelah Rain melupakan janji kencan mereka akhir pekan lalu, memprioritaskan pekerjaan meski waktu luang di antara mereka terbilang jarang.
Kesepakatan awalnya adalah Samatoki membiarkan Rain bekerja di akhir pekan dengan janji akan menghabiskan sisa malam hanya dengan mereka berdua—tanpa dering telepon kerja tak peduli seberapa darurat keadaannya. Alih-alih mewujudkan kencan ideal setelah sekian lama sibuk dengan aktivitas masing-masing, Samatoki malah mendapatkan pesan dari salah satu sekretaris Rain bahwa wanita itu bersikeras memperpanjang rapat—yang berakhir dengan Samatoki meninggalkan restoran pilihannya dengan gontai.
Rain telah berulang kali menuturkan maaf, bahkan sampai memasang rupa kecewa. Samatoki pun sudah memaafkan sikap istrinya. Namun, ia merasa perlu memberikan pelajaran pada wanita berhelai keemasan itu agar kapok menomor duakannya setelah pekerjaan.
"Sudah selesai," cicit Rain sembari mendorong pelan mangkuk nasinya.
Samatoki berdehem, menumpuk mangkuk nasi dan piring lauk untuk diletakkan di wastafel. Benaknya tergelitik geli ketika rupa Rain mencerah saat ia menyematkan kecupan ringan pada puncak kepala sang hawa.
"Kubantu, boleh?" tanya Rain penuh harap.
Samatoki menggeleng, pertanda ia tidak membutuhkan bantuan Rain saat ini. Terkekeh dalam hati ketika bahu sang wanita merosot sedih, ia memilih menyibukkan diri dengan mencuci alat makan mereka.
"Sekretarisku sudah mengosongkan jadwal di akhir pekan ini." Suara Rain terdengar dari ruang makan. Samatoki tak merespons. "Kalau kau tidak sibuk, mau menebus kencan yang gagal kemarin?"
Sejujurnya, benteng pertahanan Samatoki telah luluh lantak ketika Rain meminta maaf dengan rupa menggemaskan. Sebenarnya, ia juga tidak mau mendiamkan sang hawa begini. Kenyataannya, ia rindu beradu mulut dengan Rain meski hanya untuk hal sepele. Sekali lagi Samatoki menghela napas panjang, kembali memupuk tekad yang sudah hancur tak bersisa demi kebaikan hubungan mereka berdua.
"Samatoki... aku minta maaf untuk kencan kemarin," tutur Rain setengah merengek. "Sungguh. Bukan maksudku melupakan kencan kita. Aku tidak punya pembelaan apapun karena sekretarisku juga sudah mengingatkan. Kan kau juga tahu bagaimana sifatku jika menyangkut pekerjaan."
Ia menoleh dari balik bahu dengan sebelah alis terangkat seolah berkata 'yang benar saja, kuso onna. Kau ingin minta maaf atau membela diri?'
Rain mencebik, menumpukan dagu pada sandaran kursi. "Iya, iya. Aku minta maaf. Sampai kapan kau akan mendiamkanku begini?"
Samatoki mengangkat bahu acuh tak acuh sebagai respons, memancing dengusan kesal Rain.
"Ya sudah. Terserah kau saja. Kita lihat seberapa lama kau tahan mengabaikanku dan bungkam begini. Paling-paling kau tidak akan bertahan sampai dua minggu!"
Mendesah kasar, Samatoki mengeringkan tangan dengan handuk yang tergantung di dekat wastafel. Pria berhelai keperakan itu berbalik menatap Rain, menyilangkan tangan di depan dada masih dengan sebelah alis terangkat sirat menantang. Punggungnya bersandar pada wastafel dengan kaki bersilang. Sorot mata senada ruby itu menyorong lurus seakan menyelami palung kebiruan istrinya.
Bergerak gelisah di bawah tatapan mengintimidasi sang suami, Rain mengembuskan napas panjang. Ia mulai lelah dengan kegusaran yang membayangi tiap harinya, seolah ada yang kurang dalam hidupnya. Samatoki memang berada dalam jangkauannya, tak menolak ketika dipeluk bahkan sesekali masih melayangkan cium, tetapi bagian diri Rain masih terasa kurang lengkap saat Samatoki enggan angkat bicara.
"Ayolah, Samatoki," rayu wanita berhelai keemasan itu. Bibirnya mencebik lucu sementara tangannya tergantung lunglai di sandaran kursi. "Memangnya kau tidak bosan diam terus? Tidak ingin bicara padaku lagi, begitu?"
Samatoki tetap bergeming.
"Samatoki..." masih tidak ada jawaban. "Babe, forgive me?"
Kalah. Samatoki kalah tanpa syarat ketika Rain memanggilnya dengan panggilan itu dibarengi dengan pandangan memohon setengah menyerah—kehabisan akal untuk membujuk Samatoki agar menghentikan hukumannya. Sesuatu dalam dirinya seolah putus, membuatnya berjalan mendekati Rain dan duduk di kursi di sebelah sang istri.
"Babe?"
Rain memekik kaget ketika Samatoki menarik kaki kursinya mendekat. Merah darah mengunci biru safir. Menelisik rupa ayu sang hawa, Samatoki menyeringai tipis seraya menyentak lembut pergelangan tangan Rain hingga ujung hidung mereka bersentuhan.
"Sa-matoki?"
"Diamlah."
Ia membungkam mulut Rain dengan bibirnya. Tersenyum tipis tatkala Rain mengerang terkejut. Bibirnya menari di atas bibir Rain penuh tuntut, butuh dekat dengan sang istri setelah seminggu menahan diri. Tangannya menangkup Rain, mengelus rahang sang hawa dengan ibu jarinya—usaha untuk membujuk Rain membuka mulut. Lidah saling membelit ketika Samatoki menarik Rain kian mendekat, menekan belakang kepala sang istri hingga jarak mengikis.
Untuk beberapa saat, Samatoki membiarkan seluruh indranya dikuasai oleh Rain. Bagaimana harum khas sang istri mengusik indra penciumannya. Telinga yang dimanjakan dengan erangan pelan sang hawa. Maupun hangatnya kulit mereka yang saling bersentuhan, enggan membiarkan pakaian menjadi penghalang.
Hanya ketika Rain memukul bahunya pelan, barulah Samatoki melepaskan tautan bibir mereka.
"Apa yang kaulakukan?"
"Selama seminggu ini kau berbicara lebih banyak dari yang biasanya," seringai Samatoki. "Kupikir sudah saatnya aku membungkammu."
"Dasar sialan! Kau pikir mengabaikanku itu lucu, hah?"
"Biar kukembalikan pertanyaannya padamu. Kau pikir menunggu istrimu tanpa kabar adalah sesuatu yang lucu, Rain?"
"Aku kan sudah minta maaf untuk itu."
"Tapi belum mengurangi rasa sakit hatiku ketika kau lagi-lagi menomor duakanku, kuso onna."
"Diam selama seminggu membuatmu melankolis ya?" sungut Rain yang membuang pandangan ke arah lain. Kemana pun asal tak harus bersitatap dengan kelereng ruby milik sang suami. Ia sudah cukup dikekang oleh rasa bersalah selama seminggu ini.
"Mungkin aku harus mengabaikanmu lebih lama lagi agar kau kapok?" Pertanyaan Samatoki menyiratkan ancaman, memberitahu Rain bahwa ia tidak keberatan mengatupkan bibir untuk seminggu lamanya.
Rain berdecak. "Aku sudah kapok, oke? Tidak perlu diperpanjang."
Samatoki mengerutkan dahi. "Benarkah?"
Wanita itu mengangguk cepat.
Samatoki tergelak, menggenggam tangan Rain. Lantas membawa wanita itu ke dalam pelukannya. "Kemari."
Memasrahkan diri dalam dekapan sang suami, Rain kian membenamkan wajah di lekuk leher Samatoki. Tangannya mengelus pelan punggung sang hawa, menenangkan Rain yang sempat panik mendengar ancamannya. Mungkin memang hanya seminggu Samatoki enggan bicara, tapi bagi keduanya rasanya seperti bertahun-tahun.
Entah sudah berapa lama keduanya saling merengkuh, berbagi kehangatan kala air hujan menghantam jendela, berbagi kenyaman di antara keheningan selain irama detak jantung masing-masing.
Mungkin akibat kebahagian yang menerpa karena Samatoki akhirnya memaafkannya. Mungkin juga karena afeksi yang diberikan oleh sang suami meresap hingga ke relung hati. Rain menjauhkan diri dengan lengan masih terkalung di leher Samatoki.
"Samatoki... aku menyayangimu."
Senyum sirat jahil terukir di rupa Samatoki, tak tahan mengisengi sang istri. "Aku juga menyayangiku."
Ekspresi Rain yang langsung merengut kemudian menarik diri benar-benar tiada dua. Pria itu tergelak lepas, enggan membiarkan Rain pergi terlalu jauh, lantas menarik pinggul sang hawa.
"Setelah kupikir lagi, aku membencimu, dasar sialan."
"Bercanda, bercanda." Samatoki memajukan wajah, mencium ringan pipi Rain yang merona merah. "Aku juga menyayangimu."
Cukup menyayangimu untuk segera memaafkanmu tidak peduli apa kesalahanmu. Karena selama seminggu ini, aku sama menderitanya denganmu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top