Comfort [IdiCa]

Sedikit kisah Idia membuat gadisnya tenang.

by CHEESECAKEBOX

Lesu—adalah kata pertama yang muncul saat melihat Ecca berjalan di selasar asrama. Tujuannya kali ini mengarah pada Asrama Ignihyde karena tak ada lagi satu pun tempat yang terpikirkan. Tubuhnya benar-benar letih setelah kelas ramuan berakhir, entah karena terlalu banyak berpikir atau bergerak saat kelas dia tak tahu. Ia ingin sesuatu untuk menenangkannya.

Ecca masih sempat menyapa orang-orang yang berlalu lalang, terlebih dia juga sempat menemui adik-adik pungutnya. Tidak tahu mereka sadar atau tidak ketika berpapasan dengannya, melihat wajahnya seperti orang keletihan, ia tidak begitu ambil pusing. Apa yang terjadi di kepalanya sudah membuat Ecca pusing bukan main.

Ketika dirinya telah berada di tempat tujuan, kakinya terus melangkah hingga berhenti di sebuah kamar. Kamar yang tidak begitu besar jika dilihat dari luar, tetapi bagi Ecca yang sudah beberapa kali masuk ke dalam sana, ia berpikir kamar ini paling luas di antara kamar asrama lain. Yah, walau ia sebenarnya belum menelusuri semua kamar, hanya menerka saja. Lagipula kamar yang akan dimasukinya sudah cukup menjadi tempat untuk menenangkan pikiran.

Tok tok.

Tak ada jawaban.

"Oh, nee-chan," Dalam hitungan beberapa detik, pintu terbuka sedikit dan ia disambut oleh seorang lelaki kecil dengan rambut biru menyala. "Nii-san sedang main game. Masuklah," ucapnya sembari melebarkan pintu kamar. Ecca tersenyum, mengucap terima kasih sembari menepuk puncak kepala sang lelaki. Hal pertama yang didapati adalah sosok lelaki yang memunggunginya, tengah asik memegang controller guna kedua tangan dan matanya benar-benar fokus pada layar komputer. Setelah sang adik kecil—Ortho—menyambutnya dan pergi untuk mengambil cemilan, Ecca duduk di kasur lelaki yang sedang bermain tersebut. Aneh memang, tapi saat melihat sang adam bermain tanpa sedikit menyapanya ketika ia masuk ke kamar sudah membuat gelisah terkikis. Ia pun tak ingin mengganggu apalagi melihat betapa seriusnya lelaki tersebut menyelesaikan misinya.

"Ecca-ssi?" Sang lelaki—yang sepertinya sadar akan kehadiran seseorang di kamarnya—menoleh, menurunkan headphone dan menggantungkannya di leher. "Ada apa?"

Bukan, bukan itu yang seharusnya kau tanyakan, Idia bodoh. Entah kenapa suara itu muncul di kepala sang lelaki.

Ia dapat melihat wajah Ecca tertekuk, tetapi senyum tipis dapat terlihat dari sang gadis saat dirinya bertanya.

"Apa aku mengganggu?"

"Kau tidak melakukan apapun, bagaimana bisa aku bilang kau mengganggu?"

Benar 'kan apa yang aku ucapkan?

"Ah, oke," Ecca menjawab begitu singkat, menimbulkan banyak tanya di kepala Idia Shroud. Beberapa hari yang lalu ia membeli buku "Cara Menjadi Kekasih Yang Baik". Memang bukan seorang Idia—membeli buku membosankan, tetapi saat-saat dimana gadis itu begitu menaruh perhatian padanya membuat Idia bergerak untuk menjadi seseorang yang lebih baik ... ya tentu saja untuk Ecca.

Lalu apa lagi yang harus kubicarakan? Idia berpikir lalu menoleh ke sana kemari. Kemana pula buku itu?!

"Ecca-ssi/Idi-chan."

Keduanya mengerjap tatkala mengetahui mereka sama-sama memanggil.

"Idi-chan dulu deh."

"Aku lupa mau ngomong apa," Idia mengelak sembari menggaruk pipi. "Lagipula apa yang akan kuucap sepertinya tidak begitu penting."

"Tidak ada yang tidak penting, Idi-chan," ucap Ecca. "Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu."

Bukankah itu harusnya menjadi bagianku untuk bertanya? Idia membatin.

Sedikit mengobrol dengan Idia cukup membuat Ecca merasa lega. Rasa sesak yang tadinya menyelimuti benak berubah menjadi perasaan lega walau pembicaraan mereka sekadar basa-basi.

Idia mendengkus, meletakkan controller di atas meja dan menghampiri Ecca. Gadis itu tidak tahu apa yang dipikirkan sang lelaki, sampai Idia berada di hadapannya dan duduk di depannya. Tangan sang lelaki meraih tangannya, ditautkan jemarinya pada Ecca dan menggenggamnya. Iris mereka saling bertemu, menimbulkan debaran tak wajar pada jantung Ecca. Tentu tak hanya sang gadis, Idia pun merasa begitu canggung. Namun, dia tak mau melihat gadis itu bersedih. Perlahan-lahan ia mulai belajar untuk menjadi seseorang yang nyaman di sisi gadisnya, walau dia tak tahu apa yang dilakukannya sudah cukup.

"Ecca-ssi," Idia memanggil, mengelus pipi sang gadis dengan ibu jari. "Kau ... jangan bersedih," ucapnya, sejenak memalingkan wajah karena tak tahan terlalu lama menatap gadis di hadapan. "K-Kau bisa cerita denganku."

Ucapan Idia membuat Ecca terkejut, terlebih tangan mereka masih saling menggenggam satu sama lain. Meski wajahnya saat ini tidak terlihat, tetapi Ecca dapat melihat kemerahan di telinga sang lelaki--menandakan bahwa Idia malu. Yah, bagi Ecca, Idia sangat menggemaskan sekarang.

"Iya," Ecca menjawab sembari mengangguk. "Terima kasih ya, Idi-chan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top