9 | Gue Enggak Sendiri
Semalaman Sagala mulai berpikir. Mengapa Gendis harus pindah ke sekolah yang sama seperti dirinya? Apa jurusan yang ia ambil? Dan kenapa membawa motor sendiri? Bukankah biasanya diantar jemput oleh sopir pribadinya?
"Yan. Lo tau kenapa Gendis pindah sekolah?" tanya Sagala menelepon Favian tengah malam. Saat ini mereka sedang tidak ingin menonton balap liar, capek.
"Mana gue tau. Mungkin kangen sama lo. Lagian lo sih kagak mau kasih nomor telepon lo ke Gendis," ucap Favian terdengar setengah mengantuk.
"Ya gue kan kagak suka diganggu sama notif, Yan. Lagian kalau kangen ya dateng, bukannya pindah sekolah. Eh btw emang ada jurusan yang cocok buat dia?" tanya Sagala sangat penasaran. Bahkan pukul setengah satu pun ia belum mengantuk.
"Mau ada atau enggak, pasti dia bakal pilih akuntansi. Soalnya lo di sana. Bisa jadi dia ngawasin lo," ucap Favian menguap. "Udah, gue ngantuk. Lo pikir aja sendiri. Bye," putus Favian membuat Sagala kecewa.
"Kok gue jadi merinding bayanginnya," monolog Sagala bergidik ngeri menutupi badannya dengan selimut. Tidak lama kemudian ia terlelap tanpa bermimpi.
Benar saja dugaan Favian kemarin malam. Gendis kini sedang memperkenalkan diri di depan kelas akuntansi dua yang artinya satu kelas dengan Sagala. Perkenalannya begitu singkat hingga Sagala tidak mengerti alasan Gendis keluar dari sekolah lamanya.
"Silakan, Nak Gendis duduk di depan ibu," suruh Bu Puji yang lagi-lagi mengajar pelajaran pertama minggu ini.
"Maaf, Bu saya boleh duduk di tempat cewek yang pakai kerudung itu tidak?" tanya Gendis enggan memakai bangku paling depan yang jelas dekat dengan papan tulis.
Belum sempat Bu Puji menjawab, Fabiola sudah menyadari bahwa yang di maksud Gendis adalah dirinya. "Saya pindah ke depan saja, Bu. Biar saya kelihatan juga," alasan Fabiola terburu-buru merapikan buku yang berada di atas meja. Ia terlihat gugup.
"Enggak bisa gitu dong, Bu. Tempat duduk kemarin kan sudah di rolling. Jadi mau tidak mau harus menurut," sanggah Sagala berdiri tak membiarkan Fabiola melangkah lebih jauh dari mejanya. Kini tatapan Sagala sepenuhnya memandang Gendis tidak suka. "Lo murid baru juga! Bisa enggak patuhi peraturan kelas ini? Jangan seenaknya mentang-mentang belum tau aturan kelas."
"Gue cuma mau di pojok doang kok. Emangnya kenapa? Kalian ada hubungan sampai enggak bisa terpisahkan?" tanya Gendis setengah mengintimidasi dengan kedua tangan yang menyatu di dada.
"Sudah, sudah. Lagian Fabiola mau kok disuruh pindah," ucap Bu Puji melerai perdebatan kecil mereka. "Silakan Gendis duduk di pojok. Sini Fabiola duduk di depan."
Akhirnya Sagala terdiam menatap Fabiola tanpa mau duduk kembali. Di sisi lain sebelum beranjak ke depan, Fabiola sekilas menatap pria itu. Sagala menggeleng pelan untuk merespons agar Fabiola menurut. Namun, tetap gadis itu menunduk dan menuju meja depan meninggalkan tatapan kesal Sagala.
"Lo boleh pindah di SMK gue, tapi lo enggak bisa seenaknya kalau ada gue," ancam Sagala menatap nyalang netra Gendis yang begitu tenang.
Gendis tidak peduli. Ia lebih memilih menatap papan tulis yang masih kosong tanpa coretan. Sedangkan Sagala suasana hatinya tidak tenang. Gebetannya juga terlihat gelisah di depan sana sejak adanya Gendis.
"Gal, nih jaket lo. Sorry baru sempat gue cuci kemarin," ucap Fabiola mendatangi Sagala saat istirahat pertama.
"No Problem. Kalau gitu terima jaket gue yang ini. Baru gue pakai pas balapan doang," ucap Sagala menerima jaket kulitnya dan memberikan jaket mandarin yang ia beli dua hari lalu pada Fabiola.
"Buat apa?" tanya Fabiola polos meraba jaket mandarin itu.
"Ya buat lo pakailah. Emangnya buat apa lagi?"
Ketika Fabiola meraba bagian leher jaket, ia menemukan jumlah harga jaket tersebut. Ia syok dan buru-buru memberikan jaket mandarin itu pada pemiliknya kembali. "Yang bener aja lo. Jaket harga tiga juta lo kasihin ke gue?"
"Kenapa? Kurang mahal ya? Apa lo enggak suka?" tanya Sagala ikut terkejut. Sekarang dahinya terdapat beberapa kerutan.
Kedua tangan Fabiola bergerak ke kanan dan kiri menandakan bukan itu yang ia maksud. "Bukan. Maksudnya harga segitu terlalu mahal buat jaket. Mending lo pakai aja deh daripada lo kasih ke gue."
Sagala tersenyum mendengar penuturan Fabiola. "Yaudah kalau lo enggak mau jaket ini, gue beliin yang baru sesuai keinginan lo aja gimana?"
Fabiola semakin kesal dibuatnya. "Ish yaudahlah gue ambil aja jaket ini daripada lo beliin lagi. Maksa banget jadi cowok." Padahal dalam hati ia sangat senang untuk pertama kalinya mendapatkan barang branded secara percuma.
Baru sebentar Fabiola kegirangan, tangannya sudah ditarik paksa oleh seseorang yang sejak tadi tidak menyukai interaksi keduanya. "Dis! Lepas tangannya Zara!" pinta Sagala yang tahu bahwa genggaman Gendis begitu erat pada Fabiola.
"Lo diem, Gal. Ini urusan pribadi gue sama, Ola," ancam Gendis menunjuk wajah Sagala dengan raut wajah yang sulit diartikan.
Sagala mencoba diam untuk berpura-pura mengikuti ucapan Gendis. Setelahnya tetap mengikuti langkah mereka berdua dengan meninggalkan Favian yang sibuk memahami soal di kelas.
Sedangkan sejak awal Fabiola menaruh jaketnya pada sembarang meja dan mengikuti langkah Gendis yang begitu cepat.
Tiba di belakang halaman sekolah, Gendis sedikit melemparkan badan Fabiola ke dinding. "Lo pikir lo bisa lari dari gue? Gue pindah dari sekolah lama demi bisa ngawasi lo dan Gala. Lo kira papa bakal biarin lo tanpa pengawasan siapa pun? Mikir, Ola!" Telunjuk Gendis sudah mengarah tepat di pelipis Fabiola.
"Gue juga mikir, Regina. Kalau doa gue cepet dikabulinnya. Gue mau lo enggak ada di sekolah ini! Lo enggak disuruh papa untuk ngawasi gue. Dan untuk masalah Gala, lo bisa ambil dia. Tapi keinginan gue buat pergi dari keluarga toxic kayak kalian, enggak akan pernah sirna. Sekalipun papa ingin gue kembali," jelas Fabiola penuh penekanan di setiap kalimatnya.
"Emang lo pikir lo bisa bertahan hidup tanpa hartanya papa? Lo aja anak manja, jangan sok mandiri deh," balas Gendis menatap rendah saudara tirinya tersebut.
"Gue pasti bisa. Enggak kayak lo yang melakukan segala cara buat dapat perhatian papa," ucap Fabiola yang mendengar bel masuk hendak pergi dari hadapan Gendis.
Spontan Gendis menarik kerudung Fabiola hendak menghentikannya. Namun, jarum pentol yang dipakai Fabiola terlepas dari kerudungnya. Hingga telihatlah setengah rambutnya oleh Sagala.
Buru-buru Sagala keluar dari balik dinding yang menyekat jarak di antara mereka. Ia memberikan jaket mandarin yang tidak sengaja ia bawa saat Fabiola menaruhnya di sembarang meja.
Sagala membiarkan Fabiola membenarkan kerudungnya di balik jaket itu dengan ia yang berhadapan dengan Gendis. "Lo nyadar enggak sih kalau lo udah mengusik kehidupan seseorang?" tanya Sagala membuka suara.
"Enggak. Emangnya kenapa? Toh gue cuma menjalankan amanah papa buat ngawasi Ola," jawab Gendis angkuh tanpa rasa gugup sedikit pun.
"Oh gitu ya cara ngawasi, Zara. Dengan narik kerudungnya secara paksa?" tanya Sagala membuat Gendis sedikit gelagapan. Sungguh ia tidak sengaja akan hal itu.
Setelah selesai membenarkan kerudungnya, Fabiola menarik baju Sagala agar menjauh dari Gendis. "Lo bisa enggak sih enggak usah ikut campur urusan pribadi gue seperti yang dikatakan Gendis tadi? Lo punya telinga 'kan?" tanya Fabiola masih di belakang halaman sekolah, tetapi sedikit jauh dari saudara tirinya.
"Iya gue punya telinga, tapi masa lo terima aja kerudung lo ditarik begitu?" alasan Sagala ada benarnya juga.
"Ya, mungkin enggak sengaja," ucap Fabiola sedikit lelah menjelaskan. "Lagian lo bukan siapa-siapa gue, jadi cukup jangan ikut campur urusan gue. Dan lagi ngapain lo panggil gue, Zara?"
"Oke kalau gue bisa, gue enggak akan ikut campur lagi masalah lo," ucap Sagala cukup berat, takut tidak bisa menepati ucapannya. "Terus kenapa kalau gue panggil, Zara? Bukannya lebih bagus daripada Ola?"
"Enggak. Gue memang lebih suka dipanggil begitu. Makasih," ucap Fabiola seperti menahan sesuatu di matanya. Sagala dapat melihat itu walau Fabiola menunduk untuk sekian kalinya.
"Kayaknya lo nahan sesuatu di mata lo. Mau cerita?" tanya Sagala seperti ingin mengulik tentang kehidupan gebetannya.
"Udah bel dari tadi. Masuk yuk," alih Fabiola hendak melangkah, tetapi ditahan kain lengannya oleh Sagala.
"Cerita aja dulu. Jamkos kok kali ini," ucap Sagala yang tahu terlebih dahulu dari siswa yang lewat tadi bahwa semua guru akan mengadakan rapat dadakan selama satu jam pelajaran.
Fabiola menurut saja karena ikut terbawa suasana. Ia akhirnya duduk berjarak di sebelah Sagala. "Zara itu nama panggilan kecil gue. Namun, sejak mama meninggal delapan tahun lalu gue ingin orang-orang manggil gue dengan nama Ola bukan Zara. Niatnya sih biar gue enggak begitu keinget mama, tapi ternyata setelah lo panggil gue Zara, hati gue lebih adem," jelas Fabiola berkaca-kaca. Ia kembali teringat mama, sang kehidupannya.
"Nasib kita sama kok. Cuma bedanya mama gue meninggal tiga tahun yang lalu, dan gue enggak mengganti panggilan itu sampai sekarang," ucap Sagala seakan memberitahu Fabiola bahwa ia tidak sendiri. Sagala ada untuk Zara.
"Oh ya? Lo hebat enggak nangis walau keinget mama. Apalah gue yang cengeng ini," kekeh Fabiola sambil berusaha menghentikan air mata yang keluar.
"Kalau lo mau nangis, nangis aja. Seandainya gue bisa meluk lo, gue bakal lakuin itu. Karena kalau gue sedih, gue bakal cari Kak Viktor untuk meluk gue," ucap Sagala membuat energi Fabiola serasa terisi kembali. Ia memang tidak memiliki penguat untuk hidupnya, tetapi ia akan bertahan hidup demi mimpinya.
"Kalau gitu ... sampai saat ini pas sedih, lo masih nyari kakak lo?"
"Enggak. Gue sekarang udah hidup sendiri. Kalaupun gue butuh bantuan kakak, responsnya tidak akan secepat dulu."
"Kenapa? Lo ada masalah sama kakak lo?" tanya Fabiola yang sudah dapat mengontrol air matanya.
"Lebih tepatnya sama papa gue. Keinginan papa gue enggak sejalan sama kesehatan gue. Papa ingin gue bisa lanjutin restoran seafoodnya, tapi gue punya alergi asap. Jadilah gue memilih pergi dari rumah dan ngekos sendiri," jelas Sagala menghela napas. "Sejak itu kakak gue tambah sibuk dan jarang banget hubungin gue."
"Gue juga hidup sendiri, tapi bedanya kalau gue karena enggak betah aja sama keluarga toxic kayak mereka," ucap Fabiola tanpa sadar menceritakan masalah pribadinya pada Sagala. "Gue masuk kelas duluan ya, Gal. Gue haus," pamit Fabiola berjalan meninggalkan Sagala.
"Padahal masih ada banyak pertanyaan yang ingin gue sampaikan, Zar," putus Sagala mengikuti gebetannya dari belakang. Ia juga ingin ke kelas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top