8 | Balap Liar
Malam hari yang dingin ditemani segelas kopi panas membuat Sagala lebih santai mengerjakan tugas akundas. Walaupun kakinya sudah saling menggosok untuk memberikan rasa hangat.
Kini waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Netra coklat milik Sagala sudah berusaha menahan kantuk yang menyerang. Badannya ia tegakkan untuk berusaha sadar. Karena tugas menghitung yang tak tahu kapan selesai.
Di jam yang sama, suara ketukan membuat Sagala terdiam sebentar menggoreskan pena. Bukannya menjawab atau beranjak berdiri, ia lebih memilih diam hingga ketukan ketiga terdengar bersamaan dengan panggilan namanya.
"Siapa?" tanya Sagala masih di meja belajarnya.
"Gue Vian," balas orang di depan pintu tersebut. Tanpa menunggu lama Sagala beranjak untuk membukakan pintu.
"Ngapain malem-malem ke kosan?" tanya Sagala tanpa mempersilakan tamunya duduk terlebih dahulu.
"Mau ikut gue pergi nggak? Kalau nggak yaudah," ucap Favian tanpa menjawab pertanyaan Sagala. Kini kakinya sudah beranjak ingin meninggalkan Sagala dengan berbagai pertanyaannya.
"Ngapain? Ke mana?" tanya Sagala masih setia di depan pintu indekosnya.
"Menurut lo jam segini gue mau ngapain?" Begitu dilontarkan pertanyaan ini, Sagala bergegas kembali ke kamar indekosnya dengan melupakan tugas akundas dan mengambil kunci mobil yang berada tepat di meja belajar.
"Nih lo bawa. Gue pakai motor lo," ucap Sagala yang sudah menyejajarkan langkah setelah mengunci pintu indekos dan memberikan kunci mobilnya kepada Favian.
"Lah lo kan kagak pakai jaket, Gal," ucap Favian yang menyadari bahwa jaket yang Sagala pinjamkan pada Fabiola beberapa hari yang lalu belum dikembalikan.
"Ya mangkanya anterin gue beli," ucap Sagala menepuk pelan bahu Favian mendahului jalannya.
"Ya sekarang lo pakai mobil dululah bego!" perintah Favian sambil setengah berlari yang tak dihiraukan sahabatnya. Namun, tetap saja Sagala menaiki mobil diikuti Favian yang menaiki motor tepat di belakangnya.
Di tengah perjalanan sesuai perkataan Sagala, akhirnya mereka berdua pergi ke mal yang biasa ia datangi bersama Viktor. Kebetulan mal itu berhenti beroperasi saat tengah malam. Jadi masih ada waktu bagi mereka untuk memilih jaket sesuai keinginan Sagala.
"Beli jaket ngapain ke mal sih, Gal?" celetuk Favian bingung. Kenapa tidak di toko pinggir jalan saja yang lebih murah? Toh kualitasnya tidak seburuk yang dipikirkan.
"Kalau di toko pinggir jalan terlalu murah. Lagian gue juga suka beli jaket di sini," jujur Sagala yang sudah berdiri di depan toko berbagai jenis pakaian, jaket, dan celana.
Sagala segera memilih jaket yang dia inginkan. Perkiraan Favian pasti sahabatnya akan memilih jaket kulit, sehingga ia mencoba memilihkan. Namun, tak terduga Sagala malah lebih memilih jaket mandarin yang terlihat lebih soft dari jaket yang ia pinjamkan ke Fabiola.
"Lo yakin mau pakai jaket itu, Gal? Beda banget lho sama jaket kulit lo yang dulu. Mana warnanya item coklat muda lagi," bawel Favian keheranan.
"Cerewet lo. Dah gue mau bayar," putus Sagala segera menuju kasir.
"Totalnya tiga juta rupiah, Mas," ucap pegawai kasir membuat Favian sekali lagi keheranan. Bagaimana bisa jaket yang harganya sekitar tiga ratus ribu di pasaran menjadi tiga juta di mal?
Setelah sedikit menjauh dari toko tersebut, Favian langsung bercelatuk, "lo gila ya ngeluarin uang sebanyak itu demi satu jaket? Kenapa enggak beli di pasar aja? Lebih murah, Gal."
"Lo kenapa sih, Yan? Biasa aja kali."
"Ya gue bakal biasa aja kalau keuangan lo masih diatur sama Kak Viktor. Lah sekarang lo harus ngatur keuangan lo sendiri," cerocos Favian tak berhenti.
"Tenang aja. Uang gue masih dua puluh lima juta kok." Ya, sebagian uang Sagala sudah ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari dan juga biaya sekolah.
"Terserah lo deh," pasrah Favian memberikan kunci motornya setelah Sagala minta.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh empat puluh lima malam. Rasa kantuk yang tadi datang, kini lenyap bersamaan dengan dinginnya angin malam. Sekarang yang ada hanya rasa senang untuk melakukan sesuatu.
Sagala dan Favian sudah sampai di tempat yang ramai, tetapi jarang dilalui kendaraan. Deru kedua mesin mobil serta motor menambah sorak-sorai penonton yang berada di sana. Entah itu sorak-sorai menghina atau memberi semangat.
"Semangat, Kak Arles!" teriak Sagala lebih kencang dari yang lainnya. Ia yakin bahwa Kak Arles akan menang untuk sekian kalinya.
Balap antar mobil tersebut telah dimulai setelah aba-aba dilakukan. Balapan ini lumayan sengit karena lawan Arles sering menang dalam taruhan walau tidak dengan Arles sendiri. Namun, tetap kali ini Arles beruntung di garis akhir.
Setelah pendukung Arles memujinya, Sagala berusaha mendekat tepat di depan lelaki berumur dua puluh satu tahun itu. "Kak, tanding sama gue yuk. Gue taruhan lima juta," ucap Sagala ketika berhasil menerobos kerumunan. Ia hanya berani bertaruh lima juta karena mulai berpikir atas ucapan Favian saat di mal tadi.
"Boleh. Gue taruhan sepuluh juta," taruhan disetujui oleh Arles. Ia memperbolehkan Sagala menggunakan motor atau mobil. Sesuka Sagala.
"Gal, asli lo gila hari ini," ucap Favian berusaha menyejajari Sagala yang sudah merebut motor miliknya.
"Tenang aja, entar kalau ada apa-apa gue bakal tanggung jawab sama motor lo," ucap Sagala sudah siap dengan helm full face pinjam dari Favian.
Untuk sekian kalinya Favian pasrah kembali. "Dasar keras kepala," pikirnya.
Baru istirahat beberapa menit, Arles sudah harus menancapkan gas mobil untuk mulai bertanding kembali. Kedua belah pihak sudah bersiap saling bersebelahan. Tatapan mata mereka saling beradu sengit.
Kemarin mungkin mereka teman, tetapi sementara akan menjadi lawan. Tidak ada yang bisa saling mengalah di arena ini, mereka semua bersaing.
Sorak-sorai kembali muncul saat keduanya memanasi mesin masing-masing. Walau ini kali pertama bagi Sagala, tetapi sudah ada beberapa orang yang menyebutkan namanya. Mungkin karena Sagala tampan.
"Sumpah Sagala enggak waras. Kesenggol dikit bisa oleng tuh anak. Motor sama mobil kan menang mobil," celatuk salah satu anggota Geng Cakra. Hal itu membuat Favian gusar. Namun, lagi-lagi ia tidak bisa bertindak.
Pertandingan sudah dimulai, beberapa kali Sagala lima senti di depan Arles. Pandangan Sagala lurus ke depan, ia begitu fokus hingga tak sadar kecepatannya melebihi batas. Untung saja jaket yang ia pakai dirapatkan hingga tidak mendapati celah untuk udara masuk.
Di detik terakhir pertandingan, kemenangan diraih oleh Sagala. Untuk pertama kalinya ia ikut bertanding, dan untuk pertama kalinya juga ia menang. Sagala cukup senang sebelum mengingat taruhan terakhir mereka.
"Nih uangnya," ucap Arles tersenyum sembari memberikan uang cash sepuluh juta dari hasil pertandingan di awal pada Sagala. "Masih ingat taruhan terakhirnya?"
"Terima kasih," ucap Sagala mengambil uang cash tersebut. "Nih." Sagala segera menunjuk pipinya yang mulus pada Arles.
Satu pukulan cukup keras melayang tepat di wajah kanan Sagala. Ya, itu taruhan terakhir mereka. Siapa yang menang akan mendapatkan uang yang ditaruhkan beserta satu pukulan pipi kanan.
Sesaat Sagala meringis pelan. Namun, setelahnya tidak peduli. "Duluan ya, Kak. Terima kasih."
"Menang nih ye," puji Favian senang tidak tahu apa yang terjadi pada pipi Sagala.
Keesokan paginya di sekolah, Sagala menggunakan masker untuk menutupi memar yang muncul semalam. Untuk berbicara cukup susah baginya, tetapi jika tidak mengikuti pelajaran pagi ini, sia-sia sudah pekerjaan menghitungnya walaupun kurang sedikit lagi.
"Tumben pakai masker," ucap Fabiola tanpa memandang wajah orang yang di maksud.
"Tumben nanya," ucap Sagala tersenyum di balik maskernya. Sekilas ia memandang wajah Fabiola yang tepat di sebelah mejanya sedang kesusahan menatap papan tulis diujung kanan. "Mau tukeran tempat? Lo yang di tengah, gue yang dipojok."
Fabiola sekilas memandang wajah Sagala tak percaya. "Serius?" Sagala mengangguk sebagai jawaban.
Tanpa aba-aba Sagala sudah berdiri diikuti Fabiola. Mereka bertukar tempat duduk. Di sisi lain ada yang memandang mereka tidak suka.
"Sagala sama Fabiola kenapa itu?" tanya Bu Puji-guru yang mengajar pelajaran akuntansi dasar.
"Tukeran tempat duduk, Bu soalnya Fabiola enggak kelihatan," ucap Sagala jujur tak ingin membuat malu.
"Ya sudah kalau begitu," ucap Bu Puji kembali menerangkan. "Fabiola, ibu mau bertanya. Apa itu jurnal khusus?"
"Jurnal khusus adalah jurnal yang digunakan untuk mencatat kelompok transaksi sejenis," ucap Fabiola lancar tanpa memandang buku. Padahal soal yang diajukan belum diterangkan oleh Bu Puji.
Selanjutnya pelajaran berlangsung dengan tenang. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul tiga sore. Saatnya seluruh siswa pulang.
Sekarang Sagala pulang dengan mobilnya sendiri, karena ia sudah mengamati beberapa siswa kelas sepuluh yang menggunakan kendaraan. Favian selalu ikut serta dengannya.
Biasanya Sagala keluar dari parkiran masih aman, tetapi hari ini ia tidak sengaja menabrak seseorang yang menggunakan motor besar dengan helm full face. Dari bentuk tubuhnya menunjukkan perempuan.
"Woy, kalau pakai mobil hati-hati dong!" teriak orang yang ditabrak Sagala. Dengan kesal Sagala pun turun dari mobilnya.
"Lo yang harusnya hati-hati. Gue belok udah bener ya!" kesal Sagala membanting pintu mobilnya.
"Bantu gue dulu! Kaki gue sakit nih," suruh orang bersuara perempuan tersebut. Dengan terpaksa Sagala membantunya untuk berdirikan motor.
Dengan perlahan perempuan itu membuka helmnya. Rambut panjang dan halus keluar dari persembunyian. Begitu mempesona hingga banyak mata yang memandang. Apalagi ia baru pertama kali berada di sekolah ini.
"Loh, Gendis?" tanya Sagala setelah menyadari bahwa perempuan yang ia tabrak merupakan pacarnya. "Ngapain lo di sekolah gue?"
"Ya belajarlah. Lo kira gue ngapain?" kesal Gendis dengan raut muka masam.
"Lo kan bukan sekolah sini."
"Gue besok bakal jadi siswi di sekolah ini," ucap Gendis kembali memakai helm full facenya setelah membenarkan rambut.
"Lo gila ya?" heran Sagala karena hal ini sangat tiba-tiba.
"Iya gue gila," putus Gendis sudah menyalakan motor hendak pergi begitu saja. "Karena lo pacar gue, gue biarin. Bye, Gala," pamit Gendis sudah meninggalkan parkiran lenyap begitu saja. Sedangkan Sagala masih bingung entah bagaimana akan merespon.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top