7 | Hukuman
Pagi menjelang siang, lelaki berparas tampan ini kurang fokus mendengarkan pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Netra coklat tajam miliknya sesekali memandang perempuan berkhimar putih yang fokus mendengarkan serta tangan mulus itu ia gerakan untuk menulis.
"Heh! Kalau ngelihatin tuh sekilas aja," tegur pria berkacamata yang berada tepat di sebelah mejanya. Tangan putih itu agak sulit untuk memegang pundak Sagala, tetapi ia berhasil.
Sadar bahwa ia diperhatikan oleh Favian, lelaki ini bingung sendiri harus menjawab apa. "Bisa diem enggak?"
Bukannya diam, Favian malah makin menjadi. "Iya gue tau tuh cewek cantik, tapi biasa aja kali." Ia tak kuasa menegur Sagala yang sepertinya terpana pada perempuan yang sahabatnya bantu di market sekolah saat itu.
"Suka-suka gue," ucap Sagala pura-pura menulis penjelasan gurunya dengan wajah datar.
Tepat ketika obrolan mereka terhenti, ada seseorang yang mengetuk pintu kelas sepuluh akuntansi dua. Ia merupakan guru bimbingan konseling di SMK dua puluh satu tersebut.
"Permisi, Bu. Maaf menganggu pelajarannya sebentar. Adakah di sini yang namanya Pandora Sagala dan Favian Daksa?" tanya guru tersebut masih di depan pintu kelas.
Tanpa menunggu dipanggil dua kali, Sagala dan Favian mengangkat tangan kanan mereka bersamaan. "Kalian berdua, bisa ikut bapak sekarang." Kemudian pria tersebut menatap guru yang mengajar di kelas sambil tersenyum ramah. "Maaf, Bu saya izin pinjam dua murid ibu njih."
"Iya, Pak Adi silakan." Tanpa bertanya lagi, guru wanita itu pun mempersilakan dan kembali melanjutkan pelajaran.
Sagala dan Favian jelas bingung kenapa mereka dipanggil oleh guru bernama Pak Adi tersebut. Namun, pertanyaan tersebut terjawab ketika mereka dibawa ke ruang BK yang terkenal dingin entah karena AC-nya atau suasana saat disidang. Seketika Sagala teringat bahwa hari kedua MPLS kemarin ia dan Favian bolos bersama. Atau kah mungkin yang akan dibicarakan adalah masalah ini?
"Silakan duduk," ucap Pak Adi mempersilakan mereka berdua untuk duduk di sofa yang berseberangan dengannya. Mereka berdua pun hanya bisa menurut saja "Kalian tahu kenapa bapak panggil ke ruangan ini?" tanya Pak Adi dengan tenang.
"Tidak tahu, Pak," ucap Sagala menunduk hormat. Sedangkan Favian hanya menggeleng pelan.
"Kalian tahu siapa saja orang yang bisa masuk ke ruangan ini?"
Sagala mencoba menjawab walau sebenarnya ia enggan. "Mereka yang berkepentingan dan mereka yang bermasalah."
Pak Adi lalu mengangguk membenarkan. "Betul. Lalu kalian dipanggil langsung ke sini tidak mungkin untuk keperluan bukan?" Ya, speaker di kelas mereka suaranya tidak begitu kencang, sehingga guru yang berkepentingan harus langsung berjalan sendiri menuju kelas sepuluh akuntansi dua.
Sagala dan Favian mengangguk. Jelas saja karena jika ada orang berkepentingan di ruang BK akan langsung berkunjung, tidak perlu dipanggil. "Oke. Kalian tahu apa kesalahan kalian?" tanya pria berkumis tipis itu tidak henti-hentinya.
Mereka berdua terdiam karena bimbang. Jika menjawab maka perilaku mereka saat itu akan ketahuan, tetapi jika tidak menjawab bisa jadi guru di depan mereka ini akan marah. "Kalian tidak mau menjawab ya? Baiklah. Sekarang kalian boleh pilih. Mau hukuman membersihkan kamar mandi atau membereskan buku di perpustakaan sekolah yang besar?"
"Enggak bisa apa, Pak saya kasih uang satu juta rupiah, tapi kita terbebas dari hukuman?" ucap Sagala pelan, karena di sebelah ruang BK adalah ruang guru.
"Kamu menyuap saya?" tanya Pak Adi terkejut tetapi masih berusaha santai.
"Menurut, Bapak? Tapi maaf, Pak memang, Bapak punya bukti untuk menghukum kami?" tanya Sagala seperti menantang.
"Jelas saya punya. Mau bukti?" Pak Adi lalu mengambil ponsel dari sakunya. "Nih, lihat saja sendiri," ucapnya mendorong ponsel seperti enggan berdekatan dengan mereka.
"Bapak dapat video ini dari mana?" tanya Sagala setelah selesai menonton video tersebut.
"Kalian jelas sudah bersalah, masih bisa nanya siapa yang mengirimkan video?"
"Memangnya kami tidak berhak, Pak?" tanya Sagala menatap wajah Pak Adi berani.
"Tidak! Atas dasar apa kamu berhak saya beritahu? Kamu itu hanya murid. Tidak berhak mengatur orang tua kedua kalian," ucap Pak Adi terbawa emosi.
"Kakak saya memberikan suntikan dana di sini, Pak. Seharusnya saya berhak!" kesal Sagala keceplosan. Dengan begini nama baik kakaknya pun bisa terancam.
"Halah! Tanpa suntikan dana dari kakakmu sekolah ini juga bisa berdiri," kesal Pak Adi sudah berdiri dari kursinya. "Lagian yang memberikan suntikan dana itu kakakmu, bukan kamu! Sadar diri sadar posisi! Ingat kamu masih murid di SMK ini."
"Saya juga bisa memberikan suntikan dana!" ucap Sagala ngawur. Ia hanya ikut terbawa emosi, kenyataannya bisa jadi ia tidak bisa. Apalagi saat ini ia tidak dibiayai apa pun oleh papanya.
"Oh ya? Buktikan!" Favian hanya bisa terdiam mendengarkan percakapan mereka. Ia bingung sendiri harus apa. Untuk melerai pun ia tidak ke pikiran.
Sagala sudah hampir pergi dari ruangan BK melupakan Favian yang masih duduk terdiam di bangku. Namun, langkahnya dihentikan kembali oleh Pak Adi. "Hei! Mau ke mana kamu! Duduk sini!" Sagala tetap berjalan. "Kalau kamu tidak kembali duduk, saya pastikan kamu dikeluarkan dari sekolah ini!" perintah Pak Adi sambil mengancam.
Mau tak mau Sagala kembali duduk dengan menyisakan amarah. "Sekali lagi saya bertanya, kalian pilih hukuman membereskan perpus atau kamar mandi?"
"Saya membereskan buku perpus," ucap Sagala akhirnya setelah berdiam cukup lama mengatur napas agar tidak emosi kembali.
"Kalau begitu temanmu yang satunya membersihkan kamar mandi. Karena kalau kalian dijadikan satu pekerjaan tidak akan selesai," putus Pak Adi tidak terduga oleh keduanya. Namun, kini Sagala tidak mau melawan lagi. Pasalnya sudah ada beberapa orang yang berada di depan BK, kepo.
"Kejadian ini tidak boleh diulang lagi. Apalagi kamu, Sagala. Perhatikan sikapmu di sekolah. Hormati gurumu," ucap Pak Adi sudah menetralkan suaranya kembali.
Favian menyenggol tangan Sagala, menyuruhnya untuk meminta maaf. Namun, apa daya Sagala tidak peka malah melihat jelas paras Favian. "Minta maaf," bisik Favian menyadari tatapan Sagala.
"Maaf, Pak," ucap mereka bersamaan.
"Kalian bisa menjalankan hukuman setelah pulang sekolah. CCTV dan Tuhan yang mengawasi kalian. Sekarang kalian boleh kembali ke kelas melanjutkan pelajaran kembali. Jadilah anak teladan bukan yang memamerkan kekayaan," pesan Pak Adi mempersilakan mereka pergi.
Kini waktu menunjukkan pukul tiga sore. Saatnya mereka berdua menjalani hukuman secara terpisah. Sagala merasa beruntung karena ia tidak akan terlalu menguras tenaga banyak. Apalagi ada gebetan yang sedari tadi duduk di bangku dengan tenang sembari membaca buku.
Pukul tiga empat puluh lima sore, Sagala sudah selesai mengerjakan hukumannya. Ia segera menghampiri Fabiola yang masih serius membaca buku. "Hai, lo lagi ngapain?" basa-basi Sagala sudah duduk di sebelah bangku Fabiola.
Tanpa memandang paras sang pemilik suara, Fabiola menjawab asal. "lagi ngelipet piring."
"Anjir, beda banget sama cewek yang gue kenal kemaren," batin Sagala keheranan. Setahunya perempuan yang ia kenal kemarin sangat ramah.
Untuk memastikan bahwa perempuan yang ia ajak bicara benar gebetannya, Sagala menurunkan sedikit kepala hingga dapat melihat jelas wajah Fabiola. "Bener kok," ucapnya tanpa sadar.
"Bener apanya?" ucap Fabiola mengalihkan netranya pada buku yang sedang ia baca dan tanpa sadar tatapan mereka bertemu.
Buru-buru netra coklat milik Fabiola ia alihkan pandangan lain. "Kenapa? Salting lo?" tanya Sagala menyadari gerakan cepat Fabiola.
"Agama gue mengajarkan untuk menjaga pandangan. Bisa enggak tatapannya beralih tempat? Kita bukan mahram," suruh Fabiola masih setia mengalihkan pandangan.
Sagala menurut saja dengan perkataan Fabiola. "Udah." Kini tatapannya menghadap lurus ke depan. "Emang ada surat yang mengatur hal itu?" tanya Sagala yang tidak begitu mengerti agamanya sendiri.
"Ada," jawab singkat Fabiola kembali membaca buku.
"Bacain dan jelasin," suruh Sagala tanpa sengaja melirik sekilas perempuan itu.
"Dalam qur'an surat An-Nur ayat 31. Waqullilmu'minaatiyaghdudnamin abshaarihinna. Bagi laki-laki juga sama Waqullilmu'mininyaghdudnamin abshaarihinna. Yang artinya dan katakanlah para perempuan atau laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya," jelas Fabiola menghela napas. "Saat kita memandang lawan jenis yang bukan mahram, maka itu termasuk maksiat. Dengan maksiat tertutuplah pintu rezeki kita. Double tuh hukumannya. Maka dari itu penting bagi kita untuk mengolah apa yang masuk ke jiwa kita," jelas Fabiola masih menundukkan pandangan.
"Terus kalau enggak sengaja menatap lawan jenis gimana?" tanya Sagala lagi yang kini sedang memilih buku yang berada di belakang Fabiola. Entah apa topik buku yang ingin dicarinya.
"Sekali menatap itu artinya tidak sengaja, yang kedua dan seterusnya itu zina." Baru saja Fabiola selesai menjelaskan, dering telepon membuatnya harus mengangkat. "Halo, Bu assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Mbak, kapan ke rumah? Sudah jam empat sore ini," ucap seberang telepon yang tidak dapat didengar Sagala.
"Oh iya, Bu sebentar ya. Maaf atas keterlambatannya, saya langsung ke rumah njih," ucap Fabiola terburu-buru membereskan bukunya dan berdiri. "Kalau ada pertanyaan, bilang aja ke gue besok. Gue duluan," ucap Fabiola pada Sagala menjauhkan telepon dari telinganya.
"Dengerin ceramahnya seru juga." Jari Sagala masih mencari-cari di rak buku. "Ngapain gue masih nyari buku. Fabiolanya aja udah pergi," monolog Sagala bingung dan memutuskan untuk pulang dengan menaiki taksi.
***
Bila ada kesalahan dalam menjelaskan, bisa dikoreksi ya. Terima kasih sudah bersedia membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top