5 | Fabiola Ezara
Sudah satu minggu Sagala menelepon Kakaknya. Namun, tak kunjung dapat jawaban. Tidak pernah Viktor mematikan ponselnya kecuali sedang keluar kota, tetapi kini Sagala tidak tahu apa yang sedang terjadi pada kakaknya. Apakah ia sedang berada di luar kota atau ada kejadian buruk lain yang menimpanya?
Saat ini Sagala sedang berada di kos-kosan, tetapi akan segera ke rumah Favian untuk memintanya menelepon menggunakan ponsel sahabatnya itu. Tidak jauh jarak yang akan ia tempuh. Hanya menggunakan kaki beberapa langkah maka ia sudah sampai di depan pintu rumah berlantai dua tersebut.
"Assalamu'alaikum. Yan, ini gue Sagala," salam Sagala mengetuk pintu coklat yang ada di hadapannya. Namun, matanya tertuju pada ponsel yang tersisa sedikit kuota.
"Wa'alaikumussalam. Masuk masuk aja kali. Biasanya juga nyelonong," balas Favian membukakan pintu mempersilakan Sagala memasuki rumahnya yang sederhana tetapi penuh warna serasi.
"Ingin merubah sikap menjadi lebih baik," jawab Sagala tidak terduga membuat Favian tertawa. Kakinya sudah berjalan menginjak lantai dingin di rumah sepi tanpa adanya keharmonisan keluarga.
"Ngapain ke rumah gue lagi? Enggak betah lo di kosan?" tanya Favian seperti mengusir tamunya. Matanya sama seperti Sagala, tertuju pada ponsel yang ia genggam.
"Kayak enggak kangen aja lo sama gue," sindir Sagala menduduki sofa berwarna biru terang tanpa motif. "Eh Yan, gue boleh minta tolong enggak?"
"Apaan? Kayak biasanya enggak ngerepotin aja," sindir balik Favian ikut duduk di samping Sagala.
"Teleponin Abang gue. Dia enggak aktif lama banget. Gue telepon kagak dijawab-jawab."
"Oke." Setelah mendengar alasan dari Sagala, Favian tanpa bertanya lagi sudah menelepon Viktor.
Baru saja Sagala menyalakan televisi, netranya malah tertuju pada Favian saat sedang meletakkan ponsel ke telinga. "Lo tau nomor Kakak gue? Bukannya gue belum pernah ngasih nomor dia ke lo?"
"Oh itu. Itu gue dapet dari abang lo sendiri," ucap Favian mencari alasan. Bahkan matanya bergerak tidak beraturan, seperti enggan menatap Sagala.
"Kapan? Perasaan setiap ketemu Kak Viktor selalu ada gue. Enggak ada tuh pembicaraan nomor telepon segala. Kalaupun ada kok gue enggak inget?" Entah apa yang membuat Sagala begitu curiga hanya dengan nomor telepon. Atau mungkin karena terkejut dengan banyaknya pengeluaran yang ia dapat dalam satu bulan ini?
"Apa sih, Gal. Nomor telepon aja lo curiga. Emang kalau gue dapat nomor kakak lo bakal terjadi sesuatu sama lo?" balas Favian mengalihkan pembicaraan.
"Enggak an-" Ucapan Sagala terhenti ketika ada suara lain di antara mereka.
"Assalamu'alaikum. Halo? Kenapa telepon, Yan? Sagala ken-" jawab orang di seberang telepon yang kedengarannya sibuk. Ketika orang tersebut menyebutkan nama Sagala, Favian panik dan langsung menyela.
"Wa'alaikumussalam. Halo, Kak. Kak Viktor di mana? Sagala di sebelah gue, khawatir katanya."
"Oh gue lagi bisnis di luar kota mau buka cabang baru. Kalau enggak ada yang mau dibicarain lagi gue tutup ya. Besok gue pulang," balas singkat Viktor mematikan teleponnya sepihak. Dia sangat terburu-buru.
"Dah denger kan lo? Kakak lo lagi bisnis di luar kota." Favian segera bangkit sebelum pertanyaan yang tidak diinginkannya keluar dari mulut Sagala.
"Kenapa sih Favian kayak enggak nyaman gitu," batin Sagala memilih diam.
"Besok ngumpulin berkas ke sekolah. Lo enggak balik buat siap-siap?" tanya Favian diujung tangga. Ia sudah berada di atas.
"Gue ke terima di mana?" Ya, Sagala belum menanyakan serta malas mencari namanya di daftar SMK se-kota. Padahal sudah lewat empat hari sejak pengumuman. Bahkan ia juga tidak atau belum sempat fotokopi berkas yang diberikan sekolah.
Favian menepuk jidat sebentar, ia lupa kalau sahabatnya ini bergantung padanya. "SMK dua puluh satu. Satu sekolah sama gue. Gue nebeng ya."
Sagala mengangguk, toh satu jalur. "Gue balik ya."
"Tuh ambil dulu berkas di sebelah tempat printer gue. Yang ada nama lo ya. Yang ada nama gue itu tempat gue," teriak Favian dari lantai dua yang semakin lama semakin mengecil suaranya.
Hari Senin siang ini Sagala dan Favian dengan baju santainya menuju market untuk membeli masing-masing satu paket seragam SMK beserta almamater kebanggaan sekolah. Sebelumnya mereka telah memberikan berkas di kelas sepuluh AKL dua.
Ya, Sagala dan Favian satu jurusan dan satu kelas. Sangat beruntung. Candaan Favian tentang jurusan tata boga jelas tidak benar dan Sagala baru mengetahuinya pagi ini.
Saat hendak membayar Sagala lupa tidak membawa uang cash. "Pak, bisa bayar pakai kartu kredit enggak ya?" tanya Sagala polos.
"Maaf, Mas di market kami belum menyediakan mesin untuk kartu kredit," jawab penjaga kasir market tersenyum ramah.
Favian yang mendengar perkataan Sagala hanya bisa memukul kepalanya pelan. "Bego! Udah tau mau beli yang pakai uang cash malah enggak bawa." Favian tertawa sembari mengeluarkan dompetnya. "Totalnya sama punya teman saya berapa, Pak?"
Setelah mengetik di komputer beberapa saat, penjaga kasir tersebut menyebutkan nominalnya. "Totalnya satu juta tiga ratus ribu rupiah, Mas."
Favian menghitung sebentar uang yang berada di dompetnya. "Gal, lo ada seratus ribu kagak? Kurang nih." Sagala langsung menyodorkan uang seratus ribu kepada Favian. "Ini, Pak satu juta tiga ratus ribunya. Uangnya pas ya, Pak."
Petugas tersebut menghitung kembali uang yang diberikan. Setelah merasa benar, ia memberikan nota dan plastik berisi seragam kepada Favian. "Terima kasih." Favian membalas dengan anggukan dan berlalu.
"Duh, Pak boleh utang dulu enggak ya? Cuma kurang dua ratus ribu nih," mohon seorang gadis yang tak sengaja terdengar oleh Sagala. Kurang satu langkah lagi mereka keluar dari market, tetapi Sagala urungkan sambil menarik lengan Favian.
"Eh, Yan. Itu bukannya cewek yang dibully Gendis pas SMP ya?" tunjuk Sagala memberi tahu Favian.
"Cewek yang di kafe juga 'kan?" ralat Favian sedikit menyingkir dari tengah jalan karena ada orang yang mau keluar.
"Kafe mana? Kok gue lupa?"
"Kafe terakhir dua bulan lalu yang lo gue suruh kenalan sama cewek. Nah itu orangnya."
Sagala berusaha mengingat, tetapi tak kunjung menemukan jawaban. "Gue bantu dulu ya tuh cewek. Lo kalau mau duluan, duluan aja." Tanpa mendengarkan jawaban Favian, Sagala sudah mendekati gadis tersebut.
"Ada yang bisa gue bantu?" tanya Sagala membuka pembicaraan.
"Lo anak sini bukan?" tanya balik gadis tersebut spontan memegang lengan yang dibalut jaket kulit hitam milik Sagala.
"Iya, gue anak sini. Kenapa?" tanya Sagala dengan mata yang bolak-balik memandang tangan dan paras gadis itu.
"Bantu gue bayarin dua ratus ribu aja, please. Besok kalau gue ada duit, pasti gue balikin," ucap gadis tersebut sudah menyadari tangannya salah tempat dan langsung menariknya kembali.
Sagala hanya tersenyum. "Nih, Pak kekurangannya." Sagala memberikan uang cash terakhir kepada petugas kasir.
Gadis itu mengucapkan banyak terima kasih pada Sagala. "Makasih banyak. Oh iya kalau lo mau nagih, gue kasih nomor gue ya. Eh btw lo bawa hp?"
"Gue juga lupa bawa. Temen gue udah pulang lagi," jawab Sagala pasrah. Ia juga tidak membawa apa pun sebagai tempat untuk mencatat.
"Kalau gitu inget-inget nama gue. Nama gue Fabiola Ezara kelas sepuluh akuntansi dua. Kalau nama lo?"
"Gue kayak pernah denger nama lo, tapi di mana ya?"
"Enggak peduli kita pernah ketemu di mana yang penting cepet kasih tau nama lo siapa? Gue udah siap inget-inget ini," desak gadis itu seperti terburu-buru, tetapi enggan memberitahukan alasannya.
Tak ambil pusing Sagala langsung menjawab. "Nama gue Sagala. Pandora Sagala kelas sepuluh akuntansi dua. Kita sekelas, jadi enggak perlu khawatir gue nagihnya."
"Oke. Kalau gitu gue duluan ya. Makasih atas bantuannya. Assalamu'alaikum," balas gadis tersebut langsung lari terburu-buru. Sagala menjawabnya dalam hati.
"Loh lo masih di sini, Yan? Gue kira udah pulang." Sagala terkejut mendapati Favian yang masih berada di luar market sekolah. Ia sedang memesan taksi dari aplikasi. Ya, mereka sengaja tidak membawa mobil agar tidak ditegur guru yang bertugas.
Mereka berdua sampai di rumah Favian, tetapi karena Sagala ingin segera bersantai, ia memilih pulang ke tempat kos. Namun, ia mendapati seorang lelaki yang membawa koper sedang duduk tepat di depan pintu kos.
"Kak Viktor?" tanya Sagala ketika Viktor mendongakkan kepala mendengar langkah.
"Hm. Cepet bukain pintunya! Gue udah kek pengemis di sini. Mana anak kos pada seliweran," protes Viktor berdiri sembari menepuk pantatnya yang sedikit kotor.
Sagala tertawa mendengar ocehan kakaknya. Salah siapa berkunjung tidak mengabari terlebih dahulu. "Silakan masuk, Tuan," ledek Sagala membuat wajah masam Viktor semakin masam.
"Kapan sampai, Kak?" basa-basi Sagala menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Sedangkan sang kakak duduk di sofa.
"Heh! Lepas sepatunya dulu!" suruh Viktor menasihati adik semata wayangnya.
"Enggak papa, Kak. Nanti sore gue sapu kok," ucap Sagala masih berdiam seperti semula.
"Wih udah mandiri nih adik gue. Sana ambilin gue minum atau cemilan kek. Tamu kok enggak di hormati di sini." Sagala yang malas tetap menuruti suruhan kakaknya. Ia mengeluarkan cemilan dan minuman botol kepada Viktor.
"Nah gitu dong. Makasih," ucap Viktor meneguk minuman tersebut. Ia sangat haus. "Gimana kehidupan baru lo? Enak?"
"Enak aja sih, Kak asal enggak ada tekanan dari papa," balas Sagala tanpa sadar terlintas di pikirannya kejadian terakhir ia bertemu dengan Wajendra.
"Terus lo udah pernah ketemu papa lagi?" tanya Viktor mengubah posisi duduknya menjadi tiduran.
"Udah. Diberi bogem mentah juga udah."
Baru saja Viktor bersantai, ia sudah terduduk kembali. "Hah? Seriusan lo? Papa kan enggak pernah main tangan sebelumnya."
"Masa gue bo'ong? Luka lebam seminggu baru sembuh masa dibilang rekayasa. Untung enggak sampai geser tulang." Sagala terpaksa duduk dari tidurannya. Ia meyakinkan Viktor atas ucapannya.
"Syukurlah kalau lo enggak papa. Kapan itu kejadiannya?"
"Seminggu yang lalu pas gue ambil berkas buat daftar sekolah. Gue awalnya nanya ke tukang kebun. Katanya papa enggak ada, taunya pas gue ambil berkas di kamar, papa malah dateng," jelas Sagala ringkas.
"Lah elo kagak tanya gue dulu sih. Papa emang nyuruh semua orang yang ngurus rumah buat bilang papa enggak ada pas lo dateng."
"Lah elo aja kagak bisa dihubungi, Kak. Gimana gue mau bilang? Lo enggak liat notif telepon dari gue berapa? Mikir dikit napa. Jangan cuma bisa nyalahin orang doang!"
"Oke gue akui gue salah, tapi lo kan bisa nunggu gue sebentar buat pulang? Gue bisa ambilin berkas lo kok."
"Ya lo emang bisa ambilin berkas gue, tapi deadline pendaftaran aja tiga hari saat lo keluar kota. Kan enggak mungkin gue nungguin lo pulang! Emangnya gue enggak mikirin yang lain apa? Gue sekarang untuk makan aja mikir. Gue juga sekarang semuanya dilakukan sendiri, Kak. Kalau gue enggak gerak siapa yang mau ngurus? Siapa yang mau mikir? Nungguin lo doang enggak cukup!" kesal Sagala meluapkan semua isi yang ada di kepalanya.
Viktor hanya tertunduk lesu. Semua yang dikatakan Sagala benar adanya. Coba saja sedari awal ia tidak mematikan ponsel pribadinya atau nomor Sagala ia salin di ponsel bisnis seperti nomor Favian. Pasti Sagala tidak harus menahan sakit bekas pukulan Wajendra.
Nasi sudah menjadi bubur, ia berdalih apa pun juga tidak ada artinya. Namun, juga bukan berarti ada yang disalahkan dalam hal ini. Sagala pergi dari rumah karena tidak mau ada hal buruk yang terjadi pada tubuhnya serta ingin menggapai impian tanpa tekanan. Sedangkan Viktor hanya bisa membantu secuil masalah sang adik.
"Terus sekarang mau lo apa?" tanya Viktor mendongak sambil menatap mata adiknya penuh sayang. Jujur, ia tidak suka dijauhkan dari sang adik, tetapi ia juga tidak bisa memaksa keputusannya.
"Gue enggak mau apa-apa. Cukup gue jalanin hidup gue apa adanya." Sampai perkataan ini, Sagala tetap menahan air matanya. Ia tidak ingin meneteskan barang satu tetes pun.
"Kalau itu mau lo gue pasti dukung, tapi gue enggak janji bakal selalu ada buat lo. Ada saatnya lo harus berjuang sendirian."
Market : nama koperasi sekolah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top