4 | Pilihan Kedua

Dua minggu sebelum memasuki tahun ajaran baru, lelaki dengan postur tegap ini bahkan belum mengetahui akan sekolah di mana. Ia masih sibuk bermain game dan nongkrong. Masalah pun bisa ia lupakan sejenak di rumah sahabatnya.



Saat ini Sagala ingin istirahat sejenak di rumah Favian. Ia terganggu dengan bising karaoke tetangga kos. Namun, suara yang ditimbulkan oleh Favian malah membuatnya tidak bisa tidur. "Yan, lo ngapain sibuk begitu? Gue mau tidur. Tenang dikit bisa?"



Favian berhenti sejenak demi bisa memandang Sagala. "Nyokap gue suruh gue buat nyariin berkas persiapan daftar SMA. Kalau enggak gue kasih bukti, ntar nyokap bokap ngomel."



Sagala terkejut hingga bangkit dari tidurnya di sofa. "Hah?! Daftar SMA berapa hari lagi emangnya? Gila gue belum ada persiapan apa pun,"



"Dua minggu ada kali. Soalnya dimulai PPDB online tanggal empat juli," jawab. Favian sudah kembali ke aktivitasnya semula.



"Berkas apa aja yang harus disiapin?" tanya Sagala sudah duduk dengan sempurna di sofa empuk milik tuan rumah.



"KK, Akta, KTP ortu. Udah kayaknya. Kata nyokap itu doang. Tambahannya belum ada."



"Duh, bentar deh gue telepon Kak Viktor." Ponsel Sagala sudah berada di tangan. Ia segera mencari kontak yang bertuliskan nama Bang Viktor.



Ponsel tersebut cukup lama berdering. Namun, belum ada tanda-tanda akan diangkat oleh pemilik nomor. Sagala mulai panik. Ia sudah coba berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban yang ia dapatkan.



"Yan, gimana nih. Kak Viktor enggak jawab telepon gue samsek." Kaki Sagala sudah tidak bisa diam lagi, tangan kirinya mengepal kuat. Ia bingung harus bagaimana untuk mengambil berkas-berkas pendaftaran. Semua kertas yang disebutkan Favian berada di kamarnya lantai dua.



"Ya lo terpaksa ambil berkas itu di rumah," saran Favian berjalan ke sofa yang diduduki Sagala. Dirinya sudah menemukan semua berkas yang dicari. Kini ia akan memberikan bukti untuk orang tuanya



"Nanti kalau gue ketemu bokap gimana?"



"Ketemu ketemu aja kali. Ngapain ngehindar?"



"Kalau gue dimarahin karena enggak pulang satu bulan gimana?"



"Terima konsekuensi," balas Favian enteng menatap mata Sagala tajam.



Sagala susah payah menelan salivanya. Bagaimana tidak, ia sudah memikirkan kejadian terburuk untuk dimarahi sang papa.



Keesokan harinya saat siang, Sagala memutuskan untuk kembali ke rumah hanya demi mengambil berkas pendaftaran online. Jantungnya berdebar kencang seperti akan menghadapi ketakutan terbesar.



Hampir memasuki perumahan elite Sagala memberhentikan mobilnya sejenak. Di mobil ia berdoa semoga papanya sedang tidak berada di rumah. Jujur ia tidak memiliki keberanian untuk bertemu apalagi bertegur sapa.



"Gala pasti bisa," gumam Sagala menyemangati dirinya sendiri. Akhirnya ia telah tiba di rumah dengan pagar yang tidak terkunci.



"Pak, papa di rumah enggak?" tanya Sagala ketika bertemu tukang kebun halaman rumahnya.



"Enggak, Den. Memangnya kenapa?" jawab tukang tersebut memberhentikan pekerjaannya sejenak.



"Enggak, Pak. Makasih. Saya masuk dulu," pamit Sagala mengeluarkan kunci rumah. Di keluarga Sagala, semua orang memiliki kunci rumah masing-masing. Jadi jika ada sesuatu yang mendesak, mereka bisa menggunakan kunci itu.



Perlahan Sagala mengamati rumah yang ia tinggalkan satu bulan lalu. Dirinya rindu dengan tata letak dan seluruh isi rumah ini. Namun, mau bagaimana lagi, semua sudah ia putuskan.



Setelah menyadari niat awalnya, Sagala segera berlari ke lantai dua menuju kamar. Ia mencari-cari berkas di lemari sebelah tempat tidur dan berusaha mengingat kembali letak urutan berkas yang disimpan Viktor.



"Duh, di mana Kak Viktor simpan kartu keluarganya ya? Kok enggak ketemu," monolog Sagala mengubrak-abrik semua kertas hingga berserak di lantai.



Saking asyiknya mencari kertas, Sagala tidak menyadari langkah yang semakin mendekat ke arah kamarnya. "Masih ada muka kamu kembali ke rumah setelah pergi enggak izin ke papa?" kesal pria paruh baya itu berkacak pinggang.



Sagala terpaku sejenak sambil memandang wajah papanya bingung. "Maaf, Pa. Sagala balik cuma mau ambil berkas doang kok. Setelahnya Sagala pergi," ucap Sagala sudah beraktivitas kembali.



"Ke mana aja kamu sampai kakakmu enggak mau nyariin?"



"Cuma ke rumah temen, Pa."



"Enggak punya rumah kamu sampai harus nginep di rumah temen?"



"Iya, karena rumah ini bukan tempat yang nyaman, bukan tempat yang Sagala impikan!"



Wajendra yang tersulut emosi pun mengeraskan suaranya. "Sudah berani ya kamu!"



"Papa juga sudah berani mengatur hidup Sagala!" bentak Sagala balik yang tidak bisa mengontrol emosinya.



"Semua demi kebaikan kamu, Gal!"



"Tapi Sagala enggak mau, Pa!" Setelah menemukan kertas fotokopi kartu keluarga, Sagala segera bangkit dan mencoba melewati papanya untuk pulang ke rumah Favian.



Namun, sebelum ia bisa melewati papanya, Sagala sudah di bogem mentah oleh Wajendra. Ia mundur beberapa langkah sambil memegang pipi kirinya yang akan segera berubah warna.



Mata Sagala dan Wajendra saling bertemu dengan tatapan tajam. Ia tidak berani berkata apalagi bertindak, tetapi ia harus segera pulang untuk menghindari suasana mengerikan ini.



"Sakit?" tanya Wajendra jelas-jelas tahu apa yang dirasakan anak terakhirnya itu. Namun, Sagala tidak berani menjawab dan pergi begitu saja. Papanya pun tidak menghalanginya lagi.



Sagala sudah hampir sampai di rumah Favian, tetapi berhenti di perempatan karena lampu merah. Tanpa sadar ia memegang pipi bekas pukulan papanya. Ia meringis pelan merasakan sakit yang lumayan membuat kepalanya berdenyut.



"Yan, bisa tolong ambilin kompresan es enggak?" tanya Sagala ketika sudah membuka pintu rumah Favian.



Tanpa menjawab, Favian sudah bergegas menyiapkan kompres yang Sagala instruksikan. "Kenapa lo?"



"Dipukul papa," balas Sagala santai menempelkan kompres pada pipi sebelah kirinya.



"Hah?! Seriusan lo? Enggak mungkin Om Wajendra ngelakuin itu ke lo," elak Favian membelalakkan matanya terkejut.



"Udah ada bukti ngapain tanya."



"Emang lo buat masalah apalagi sama Om?" tanya Favian yang kini lebih memilih duduk di karpet samping Sagala.



"Cuma debat kecil doang."



"Apaan cuma debat kecil doang. Lukanya aja baru bisa sembuh seminggu masa cuma gara-gara debat kecil."



"Diem. Yang penting gue udah dapet berkas-berkas buat daftar sekolah," putus Sagala yang saat ini sedang tidak ingin diajak berbicara. Ia sedang menikmati rasa sakitnya tanpa ada yang menganggu lagi.



"Terus?" tanya Favian bingung. Buat apa Favian peduli akan berkas-berkas Sagala yang nantinya akan ia urus sendiri.



"Ya daftarinlah."



"Enak aja. Daftar sendiri."



"Lo enggak liat gue lagi kena musibah? Jadi temen saling membantu dong," desak Sagala yang membuat Favian pasrah. Pendaftaran masih lumayan lama, tetapi lelaki keras kepala ini sudah menyuruhnya terlebih dahulu.



Waktu pendaftaran sekolah telah dibuka. Favian akan mengurus pendaftaran sekolahnya sekaligus milik Sagala.



"Lo mau sekolah di mana?" tanya Favian mengotak-atik komputer miliknya.



"Ngikut lo aja," balas Sagala sembari bermain game.



"Gue mau ke tata boga. Lo serius mau ngikut?" ledek Favian yang jelas tahu bahwa Sagala akan menolak tawarannya.



"Yaudah akuntansi aja," ucap Sagala tidak mau menambah perdebatan di antara mereka.



"Kalau pas masuk ditanyain alasan, lo mau jawab apa?" Favian bertanya juga memprediksi kemungkinan yang akan terjadi.



"Karena nilai matematika gue bagus."



"Yang logis dikit jadi orang. Lo mau nunjukin apa ke bokap lo selama kabur dari rumah hah?"



"Ya kalau gue enggak bisa jadi koki yang akan selalu bersama atasan, kenapa gue enggak jadi pegawai akuntansi yang akan menentukan perhitungan uang perusahaan?" Jawaban yang masuk akal. Sagala pasti sudah memikirkan jawaban ini sejak lama. Semua kapasitas yang ia butuh kan di sini pasti akan terpenuhi. Ia yakin hal itu.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top