3 | Rumah.

Tidak salah bagi Sagala sudah belajar dahulu mengendarai mobil selama dua bulan bersama sang kakak. Belum mahir memang, tetapi cukup aman dibawa ke jalanan.

Rasa khawatir Viktor ke adiknya pasti ada. Karena Sagala tahu, Viktor tidak segampang itu melepaskannya melakukan sesuatu. Namun, kali ini ia tidak bisa mencegah, karena ada papa yang mengawasi.

Baru setengah perjalanan, tepatnya saat lampu merah ketiga, tiba-tiba Sagala mengingat perkataan papanya lagi. Ia sangat kesal hingga memukul-mukulkan tangannya ke setir pengemudi. Lelaki ini ingin sekali berteriak, tetapi sadar diri bahwa tempatnya sangat tidak pas. Mau tidak mau ia harus menundanya.

"Oh shit! Kenapa hidup gue kayak begini alurnya?!" monolog Sagala sekali lagi menghantamkan tangan kanannya ke setir.

Belum lama setelah ia mengatakan hal itu, tetiba ia bergumam, "Gal, jangan jadi orang paling tersakiti di dunia. Masih ada yang lebih parah dari lo."

"Tapi kenapa harus dengan cara ini sih?" ucapnya lagi frustrasi tidak tahu harus melakukan apa. "Tau ah, pikir nanti."

Selang beberapa menit di perjalanan, Sagala sudah sampai di kediaman Favian. Ia menyelonong masuk karena sudah diizinkan pemiliknya. Tanpa melakukan sesuatu lagi, Sagala sudah berbaring di sofa dengan tangan kiri menutup matanya.

"Kenapa lo?" tanya Favian yang tengah asik memainkan gamenya. "Sini duduk di lantai bareng gue. Ayo main!" ajaknya tanpa memandang wajah murung sang sahabat.

"Lo aja." Mendengar jawaban Sagala, lelaki yang tengah bermain game itu langsung menghentikan aktivitasnya.

"Lo kalau udah siap cerita, panggil gue," ucap Favian yang sudah mengetahui tabiat sahabatnya ketika mendapat masalah. Tidak perlu dipaksa, seiring berjalannya waktu pasti akan cerita.

"Gue mau tidur," jawab Sagala tak acuh. Saat ini ia hanya ingin ketenangan semata, tidak ada niatan untuk bercerita.

Favian hanya bisa menunggu. Ia sudah tidak mood bermain game, dan kini beralih ke medsos yang isinya terkadang membuatnya geram.

Dentingan ponsel membuat Favian menunda scrol medsos untuk sementara. Pesan tersebut rupanya dari teman sekolah lain yang ia kenal, dan baru-baru ini Sagala kenal juga.

"Gal, mau ikut ke markas enggak? Ke tempat Bang Arles," ajak Favian asal, karena ia tidak tahu apakah Sagala tertidur atau tidak.

"Yok!" balas Sagala mengambil kunci mobilnya dan bergegas bangun.

"Katanya mau tidur," ejek Favian mengambil dompet dan kunci rumah.

Sagala memilih diam daripada berdebat, karena ia sedang membangun mood dan tak ingin dihancurkan begitu saja.

Lima belas menit menelusuri jalan, kedua lelaki yang sedang menaiki mobil sport itu pun sampai di markas Geng Cakra. Pemilik markas sudah menunggu dengan berbagai merek rokok dan juga wine di depan mata. Memang seperti itu tabiat mereka saat bertemu. Tak jarang setelah ini mereka melakukan balap liar di jalan, baik itu motor maupun mobil.

"Minum, Gal," tawar Arles menyodorkan botol kaca berisi wine. Ia termasuk yang paling banyak minum selama berkumpul. Umurnya juga yang paling tua, 21 tahun. Sedangkan yang lainnya rata-rata berumur 18 tahun.

"Enggak, Bang. Gue ambil ini aja." Tangan Sagala meraih satu batang rokok yang ada di depannya.

Ini pertama kali bagi Sagala memegang rokok. Sebelumnya ia hanya melihat bahkan menjauh saat ada yang merokok. Karena ia tahu, perokok pasif rentan terkena kanker paru-paru daripada perokok aktif. Apalagi ia memiliki alergi asap.

"Lo mau ngerokok, Gal? Emang lo tau caranya?" bisik Favian kepo.

"Lo aja bisa ngerokok, kenapa gue enggak?" ucap Sagala berusaha menyalakan korek gas.

Belum sempat rokok itu menyala, Favian segera merebutnya dari mulut Sagala. "Lo lupa alergi asap, hah?!" panik Favian setelah menyadari alergi yang diderita Sagala. Semua netra sudah tertuju pada mereka berdua.

Sagala terkejut beberapa saat. Ia lupa. "Sorry, gue lupa."

Untung saja Favian memperhatikan sekitar sambil berpikir. Mereka tidak ada yang merokok saat Sagala di sana. Karena mereka tahu alergi yang diderita lelaki kaya ini.

Kini jam sudah menunjukkan pukul 10.24 pagi. Topik pembicaraan mereka sudah berganti beberapa kali. Namun, semakin lama semakin seru, hingga Sagala betah tak ingin melewatkan pembicaraan.

"Terus kemaren siapa yang menang?" tanya Sagala yang hanya tiga kali menyaksikan balap liar. Seringnya setiap pukul 22.00 malam, Viktor sudah ribut memintanya untuk pulang.

"Tuh, Bang Arles."

"Wih mantep. Dapet berapa duit, Kak?" tanya Sagala kepo.

Dengan bangga dan angkuhnya, Arles menjawab, "Mayanlah dua puluh juta."

"Orang kaya nih pasti," timpal Favian tertawa.

"Halah, masih kaya Sagala kali."

"Eh Bang, emang rata-rata taruhannya berapa juta?" tanya Sagala lagi yang ingin tahu lebih dalam.

"Tergantung kesepakatan. Rata-rata selama ini lima juta. Paling mentok dua puluh juta. Yang paling rendah paling taruhan cewek."

"Kalau tergantung kesepakatan berarti bisa dong, misal gue ngasih lo sepuluh juta, lo kasih gue dua puluh juta."

"Bisa aja, tapi jarang."

Percakapan ditutup sampai sini, satu persatu anggota Geng Cakra cabut untuk urusan masing-masing. Termasuk Favian yang mengajak Sagala untuk pulang. Ya, Favian termasuk salah satu geng Cakra, tetapi tidak untuk Sagala. Ia hanya menumpang nongkrong untuk mencari keramaian.

Belum sempat Sagala beranjak dari duduknya, dentingan suara ponsel mengurungkan niatnya untuk berdiri. Ternyata itu pesan dari Viktor.

Gal, pulang. Makan bareng.

Gue masih mau sendiri, mungkin enggak pulang dua bulan.

Jawab Sagala terus terang. Selama dua bulan ini, ia akan tetap pada pendiriannya, tidak akan goyah.

Selang beberapa menit setelah Sagala menjawab pesan, Favian yang hendak masuk mobil pun tertunda. Karena ada yang menghubunginya. Sagala pikir mungkin itu ibu atau ayah sahabatnya yang berada di luar kota.

"Yan, gue nginep di rumah lo hari ini boleh?" tanya Sagala seperti tidak ingin ditolak kepada Favian yang sudah masuk ke mobil.

"Boleh."

Satu minggu menginap di rumah Favian, Sagala sudah menceritakan semua masalahnya. Hingga memutuskan untuk bertanya kos murah di daerah dekat rumah lelaki berkacamata ini.

Namun, tak terduga malah orang tua Favian sendiri yang memiliki kos-kosan. Tempatnya juga hanya berjarak dua rumah dari tempat tinggal sahabatnya. Bahkan hanya tersisa satu kamar saja. Sungguh beruntung.

Hari ini Sagala dan Favian akan melihat kos-kosan itu. Katanya barang-barang sudah disediakan dari orang tua Favian. Mulai dari peralatan dapur, ranjang, kasur, bahkan meja belajar. Biaya per bulan juga hanya 500.000 ribu rupiah. Termasuk murah bagi Sagala yang memiliki tabungan 30.000.000 juta rupiah.

Sagala sangat puas dengan kos-kosannya. Barang untuk melengkapi interior kamar juga tidak membutuhkan biaya banyak. "Gue DP 2 bulan dulu ya. Sisanya kalau gue mau perpanjang lagi."

"Lo bawa uang cash?"

"Enggak. Mangkanya lo anterin gue ke ATM dulu. Sekalian beli barang untuk interior kamar."

"Yaudah, gas. Nih kunci kamar lo," ucap Favian melemparkan kunci berwarna silver itu ke tangan Sagala.

Tidak banyak yang Sagala ingin beli untuk interior kamarnya. Hanya rak buku, tanaman hias, sofa lengkap kecil, white board, keset, dan barang lainnya. Total yang ia habiskan hari ini hanya tujuh juta saja sudah termasuk DP kos-kosan.

Sagala sudah mengajak Favian untuk pulang. Barang yang ia beli akan segera diantar ke kosan. "Gal, lo enggak beli baju?" tanya Favian sedikit janggal.

Masalahnya Sagala pergi dari rumah secara tiba-tiba. Baju yang dipakainya sekarang saja milik Favian. Lalu saat tidak serumah lagi dengannya, bagaimana Sagala berpakaian?

"Entar minta Kakak yang anter," jawab Sagala santai memasuki mobil.

"Hah? Gila lo ya. Kabur dari rumah tapi barang dibawain kakak lo!" kaget Favian menutup pintu mobil dengan kencang. Spontan.

"Gue pergi dari rumah karena papa. Bukan karena Kak Viktor. Aneh lo."

"Kompak banget adek kakak," puji Favian sambil tepuk tangan takjub.

***

Note
Game = permainan
Medsos = media sosial
Mood = suasana hati
Scrol = gulir
Wine = anggur
Worth it = setimpal
white board = papan putih
DP = Down payment = uang muka.
Cash = uang tunai
ATM = Anjungan tunai mandiri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top