20 | Vonis
Lima hari sudah cukup untuk Sagala yang jujur saat diinterogasi. Polisi di polsek pun juga ramah dan santai membuatnya terlena akan semua pertanyaan yang diajukan. Walau terkadang saat kepalanya pusing dan interogasi sedang berada di puncak, pihak penyidik tetap melanjutkan hingga sepuluh menit lamanya.
Penyidik tahu trauma yang dialami Sagala. Mereka selalu mewanti-wanti sakit kepala Sagala menyerang. Namun, karena terus muncul saat di puncak mereka meminta waktu untuk melanjutkan dengan alasan agar interogasi cepat selesai.
"Lima menit lagi kok, tahan ya," ucap salah satu penyidik mengamati raut wajah menahan sakit Sagala. Ia pun mengangguk setuju sembari memegangi kepalanya dengan kedua tangan.
"Maaf, Pak saya sudah enggak bisa," ucap Sagala dua menit kemudian setelah merasa tertekan di kedua sisi kepala.
"Baik, terima kasih atas kerja samanya. Sehat-sehat ya. Dua hari lagi kita akan melaksanakan persidangan. Jangan lupa apa?" tanya penyidik memancing Sagala untuk mengingat.
"Jujur, sopan, dan patuh akan prosedur yang ada," jawab Sagala sembari menutup kedua matanya antara sakit dan mengingat. Penyidik mengacungkan jempol dan membantu Sagala menuju tempat tahanan.
Kemarin Wajendra dan Viktor sudah menjenguknya, sekarang giliran pengacara yang akan mengulik informasi sebenarnya pada Sagala. Ya, Viktor telah mendapatkan pengacara tiga hari yang lalu dan semua berkas sudah tujuh puluh persen pengerjaan.
Kini pukul dua siang tepatnya setelah pengacara pulang, ada tamu istimewa yang datang menjenguk Sagala. Ia menunggu sekitar lima menit untuk melihat siapa yang datang. Sebelumnya ketika papa dan kakaknya datang pasti mereka yang menunggu, bukan sebaliknya.
"Favian, Zara?" tanya Sagala bingung. Bukankah mereka sedari awal sudah memutuskan hubungan dengannya? Lalu kenapa sekarang menjenguk?
"Gimana kabar lo?" tanya Favian membuka pembicaraan. Ia menatap sedih mantan sahabatnya dengan badan kurus kering tak terurus.
"Gue baik, gimana kabar kalian?" tanya Sagala gembira. Sekarang ia sudah menyesuaikan tempatnya berada. Bahkan aura lesu akibat lapar pun tidak begitu terlihat.
"Kita baik," ucap Favian mewakili Fabiola. Gadis itu menunduk dalam. Entah kenapa malah tak mau melihat dan berbicara pada Sagala. Apakah ia masih marah dan kesal atas keputusannya malam itu?
"Zar, lo kenapa? Masih marah ya sama gue?" tanya Sagala sedikit menundukkan kepala berusaha memandang gadisnya. Namun, respons Fabiola tak terduga. Ia meneteskan air mata tanpa bersuara. "Hei, lo kenapa? Gue salah apa lagi sama lo?" tanya Sagala membuat Favian ikut menunduk memandang Fabiola penasaran.
"Sorry, Gal gue salah," ucap Fabiola makin meneteskan air mata.
"Lo enggak salah. Emang lo ngelakuin apa?" tanya Sagala sedikit panik. Ia bingung harus bagaimana. Memeluk tidak bisa, mengusap air mata juga tidak. Lalu sebagai laki-laki ia harus apa?
"Gue salah, Gal. Gue udah ngelakuin hal fatal yang terjadi di hidup lo saat ini."
"Duh yang jelas, Zar. Gue bingung harus gimanain lo," ucap Sagala jujur takut bertindak.
"Gue yang udah ngelaporin lo ke polisi. Gue ada bukti kuat. Gue enggak yakin lo bakal menang di pengadilan nanti," jelas Fabiola membuat gerakan panik Sagala terhenti.
Bukannya paham maksud dari tangisan Fabiola, Sagala malah makin bingung. "Hah? Gimana?"
"Jadi pas kejadian Ola itu ada di sana. Ia lagi ngerekam jalanan karena takut sepi. Nah enggak sengaja videonya nyorot ke lo yang nabrak pria tua itu," ucap Favian bantu menjelaskan maksud dari Fabiola. "Terus Fabiola makin gedek pas lo enggak mau tanggung jawab. Awalnya dia enggak bakal laporin lo kalau aja lo nyelametin pak tua itu, tapi apa yang lo laku in buat Ola kecewa."
Sagala mengangguk paham. Ia tahu bagaimana perasaan Fabiola. Walaupun pria tua itu bukan keluarganya pasti Fabiola tetap merasa sakit hati, karena pada dasarnya mereka sama-sama manusia. Apalagi seharusnya Sagala mengerti karena hal tersebut pernah terjadi pada mamanya.
"Tindakan lo enggak salah, Zar. Lo enggak perlu nangis. Lo orang baik," jawab Sagala menenangkan.
"Tapi gara-gara gue lo jadi enggak terurus gini," ucap Fabiola berusaha menahan tangis walau dadanya sakit akibat sesenggukan.
"Ya sebab lo papa jadi mengerti jalan pikir gue. Gue yang seharusnya makasih sama lo," ucap Sagala tersenyum hampa. Di satu sisi ia senang karena Fabiola menyatukan keluarganya kembali. Di sisi lain ia takut akan hukuman yang diterimanya dua hari yang akan datang.
"Kalau gitu gue cuma mau bilang semangat buat lo untuk lusa besok menjalani persidangan," ucap Fabiola keluar dari dalam polsek.
"Yan, lo ya yang bilang sama papa tentang gue?" tanya Sagala tidak bisa mengejar kepergian Fabiola.
"Gue bilang sama Kak Viktor kok bukan om," ucap Favian juga tak mengikuti Fabiola.
"Gue kira. Btw ada hak apa lo ngasih tahu keadaan gue ke Kak Viktor? Bukannya udah mutus hubungan ya lo sama gue," tanya Sagala tetap dengan nada bersahabat. Ia capek memunculkan perdebatan.
"Gue dibayar buat ngawasin lo sama Om Wajendra. Tempat kos yang lo tinggalin itu juga bukan tempat orang tua gue, melainkan baru dibeli sama papa lo. Dan lagi lo kemaren tanya kenapa gue dapet nomor Kak Viktor. Ya karena misi ini. Cuma gue gagal jagain lo," jelas Favian mengusap wajahnya frustrasi. Selalu saja begini. Siapa pun yang pertama kali menjenguk Sagala pasti mengusap wajah frustrasi.
"Seriusan lo? Lo kenapa mau?" tanya Sagala heran yang mengetahui perekonomian Favian selama ini selalu baik-baik saja.
"Papa gue udah lama enggak nafkahin gue, mama juga kalau ngasih cuma satu juta perbulan. Mangkanya pas papa lo tawarin gue, ya gue mau ajalah. Ya kali enggak."
"Sorry lo selalu berusaha mengerti gue, tetapi gue malah sebaliknya. Enggak peduli. Gue emang enggak pantes jadi sahabat lo lagi, Yan," ucap Sagala lesu menaruh kepalanya di meja jenguk seakan memang tak sanggup menopang kepala yang berat.
"Enggak usah minta maaf, lo enggak salah. Yang terpenting lo fokus sama persidangan lo lusa depan," ucap Favian menyemangati dan juga pamit pulang. Waktu jenguknya sudah habis dan lagi memang sudah tidak yang perlu dibicarakan. Rahasia di antara mereka sudah terungkap.
Kini saat yang ditunggu-tunggu tiba. Waktu persidangan dimulai tepat pukul sebelas siang. Tidak ada jalan keluar untuk Sagala pergi. Ia harus menerima konsekuensi. Memang sudah seharusnya terjadi.
Sidang dimulai dengan hakim memasuki ruangan dan memberikan pertanyaan pada Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Umum. "Pada hari ini Rabu, 15 Desember 202* sidang peradilan ... yang memeriksa dan mengadili perkara pidana tingkat pertama nomor ..., dengan terdakwa PANDORA SAGALA, saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum." Setelah mengatakan hal itu palu pun diketuk sebanyak tiga kali. "Kepada saudara jaksa penuntut umum harap menghadirkan Terdakwa di ruang sidang.
"Baik, Majelis Hakim. Kepada SAGALA dipersilahkan memasuki ruang sidang," ucap Jaksa Penuntut Umum menyuruh Sagala masuk ke ruang sidang dan berdiri tepat di depan kursi terdakwa.
"Silakan duduk," ucap Hakim mempersilakan Sagala duduk. "Apakah Saudara dalam keadaan sehat jasmani dan rohani?" tanya Hakim kembali membuat peluh di pelipis Sagala mengucur.
"Sehat, yang Mulia," jawab Sagala persis sesuai perkataan pengacara. Ya, sedikit-sedikit Sagala diajarkan, sisanya biarkan ia jujur.
Kini sidang berjalan dengan khidmat dan tertib. Sagala pun mengikuti semua arahan dengan baik. Walaupun badannya bergetar dan peluh terus mengucur membasahi pelipis. Namun, ia tetap usahakan untuk mengikuti segala prosedur yang ada.
Hingga saatnya Fabiola maju ke depan untuk disumpah sebelum memberikan pernyataan. "Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya sebagai ahli telah atau akan memberikan keterangan menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya, tidak lain dari yang sebaik-baiknya. Apabila saya tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Tuhan."
Setelah mengucapkan sumpah dan dipersilakan oleh hakim berbicara, Fabiola mengatakan, "Pada saat itu saya sedang jalan menuju ke rumah. Karena sepi saya mencoba untuk mengabadikan hal ini menjadi sebuah video. Namun, ada seorang lelaki yang mencoba menggoda saya. Spontan untuk melakukan perlawanan, saya menendang bagian tubuh lelaki itu. Saya tidak tahu bagian tepatnya, tetapi lelaki itu pergi tidak tahu ke mana," jelas Fabiola menghela napas sebentar. "Kemudian kaki saya lemas tidak dapat berjalan dan mencoba duduk di trotoar. Kepala saya sedang tertunduk dan kondisi tangan mengangkat hingga terlihat jelas jalanan itu. Saya baru sadar bahwa ada tabrakan karena mendengar suara yang lumayan nyaring." Kini Fabiola menghirup napas dalam-dalam dan akan mengeluarkannya saat berbicara. "Dengan kondisi lemas saya mendekati pria tua itu dengan tangan yang sudah bersimbah darah. Awalnya saya membiarkan mobil terdakwa diam, tetapi semakin lama tidak ada tanda-tanda orang di dalam akan turun. Maka dari itu saya berusaha menghampiri, tetapi yang saya dapatkan mobil sport ungu malah melaju kembali dengan kecepatan tinggi."
Sudah cukup penjelasan panjang dari Fabiola. Bahkan Sagala pun sampai tertunduk dalam karena semua perkataan Fabiola sangat benar adanya. Apalagi nanti akan diperkuat dengan video Fabiola.
Dengan Fabiola masih di tempat semula, hakim pun menyuruh agar diputarkan video yang ia rekam. Dan di sana pasti akan terbukti semua apakah ucapan Fabiola benar adanya atau tidak. Jika tidak maka ia akan dijatuhi hukuman Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242.
Setelah serangkaikan persidangan selesai hakim pun memutuskan konsekuensi yang akan Sagala dapatkan. "Pandora Sagala terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana di dalam pasal 311 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan yakni sengaja mengemudikan kendaraan dengan membahayakan bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan luka-luka berat," ucap hakim menarik napas. "Vonis yang akan diterima Pandora Sagala yaitu penjara selama dua bulan dan denda sebanyak tujuh juta."
Putusan berakhir sampai di situ. Setelahnya hakim bertanya apakah masih ada yang mau disampaikan? Namun, tidak ada yang bergeming. "... Sidang dinyatakan ditutup." Palu diketuk sebanyak tiga kali oleh hakim tanda persidangan telah usai.
"Hakim akan meninggalkan ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri."
Dengan rasa lega Sagala meneteskan air mata haru. Ia tidak masalah dengan masa penjara dua bulan dan juga denda sebesar tujuh juta. Asalkan dirinya tidak sampai setahun mengabdi di sel dingin itu.
Sebelum dimasukkan di sel besar dan dingin, Sagala memeluk erat papanya sebagai tanda perpisahan untuk dua bulan ke depan. Pelukan itu begitu lama sampai pihak pengadilan harus memaksa Sagala ditahan kembali. Wajendra meneteskan air mata tak rela anak bungsunya akan menjalani masa remaja di sel.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top