2 | Pilihan.
Wajah tampan milik Sagala, harus dirias dengan baik oleh profesional agar mendapatkan hasil terbaik. Rias ringan, tetapi dapat memikat orang.
Sungguh kini ia sudah tidak betah lagi. Sudah hampir satu jam duduk di kursi. Namun, belum juga usai.
"Lumayan juga lo dimake up," puji Viktor yang setia menemani adiknya sembari menonton televisi. Maklum, MUA didatangkan ke rumah. Jadi semua orang bisa lebih leluasa.
Sagala memutar bola matanya malas. "Dari dulu emang udah ganteng kali."
Baru beberapa menit sunyi tanpa suara, Viktor kembali memandang Sagala untuk sekian kalinya. Ia terlihat sudah tidak sabar menunggu sang adik yang entah kapan selesai dirias. "Ngapa lo liat gue terus-terusan? Ngiri lo kagak dimake up?" risih Sagala mengeluarkan apa yang ada dipikirannya.
"Sorry gue jerawatan aja ganteng. Apalagi mulus," balas Viktor yang kenyataannya hanya pernah jerawatan sekali, itu pun tidak banyak.
"Terus ngapa lo liat-liat gue?" Viktor ingin berucap, tetapi takut menyakiti hati MUA tersebut.
Setelah menyadari bahwa Viktor tidak mau menjawab pertanyaanya, kini Sagala ingin bertanya menggunakan gerakan tubuh. "Papa ke mana?" tanyanya komat-kamit disertai gerakan tubuh. Ia tidak ingin Wajendra-Papa mereka dengar.
"Apa sih lo gerak-gerak enggak jelas. Jadi pantonim lo?" Viktor yang belum paham maksud Sagala, langsung menegurnya.
Sagala hampir saja menepuk jidat, tetapi tidak jadi karena ingat parasnya sudah dipenuhi riasan. Ia mengode dengan menaik turunkan tangan kanannya. Menyuruh Viktor memelankan suara. "Papa ke mana?" Kembali Sagala bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Baru setelah Viktor menyadari maksud Sagala, ia menjawab, "Di kamar."
"Ikut wisuda enggak?"
Viktor hanya menjawab dengan anggukan. Karena semalam ia sudah berbincang dengan papanya bahwa nanti Wajendra sendiri yang akan menyetir.
Entah kenapa Sagala merasa senang. Ini pertama kalinya Wajendra menghadiri wisudanya. Karena dulu hanya kakak dan mamanya yang menghadiri. Rasanya sangat berbeda walaupun tanpa Aminah.
Selesai bersiap, Sagala, Viktor, dan Wajendra segera memasuki mobil menuju tempat wisuda. Di dalam mobil benar-benar tidak ada pembicaraan di antara mereka. Sagala pun tidak berani bercelatuk.
Setelah berada di tempat wisuda dan menunggu cukup lama, namanya dipanggil sebagai murid dengan nilai terbaik nomor dua.
"Pandora Sagala, putra dari bapak Wajendra Qodama dan ibu Siti Aminah. Dengan perolehan nilai 38,00," ucap MC (Master of Ceremony) dengan suara lantang dibantu mikrofon.
Sagala berdiri dengan raut muka bahagia. Netranya tertuju pada sang papa yang menatapnya bangga. Tidak masalah menjadi nomor dua, asalkan keinginannya akan menjadi kenyataan.
Selesai dengan acara dan panggungnya, Sagala dihampiri oleh Gendis. "Selamat, Gal. Sudah gue duga, pasti lo dapat lima besar," pujinya dengan senyuman yang terpancar indah.
Sagala membalas pujian Gendis dengan senyuman. "Makasih. Lo cantik banget hari ini."
"Iya dong jelas," balas Gendis dengan kebanggaannya.
"Sayang, sikap lo enggak sesuai parasnya," sarkas Sagala segera pergi meninggalkan gadisnya.
Gendis yang bingung, hanya bisa menggaruk kepalanya yang gatal. "Gue salah di mana lagi coba."
Lagi-lagi, Sagala bukan tipe orang pemarah tanpa ada alasan. Ini terjadi karena seminggu yang lalu, ia melihat kejadian yang tak biasa di kantin sekolah.
"Kalau jalan lihat-lihat dong!" teriak gadis berambut panjang sepinggang, dengan aksesoris bandana di kepala. Ia terkena kuah soto yang lumayan panas.
"Ye, gitu aja ngegas," balas gadis itu tanpa rasa bersalah dan masih memegang nampan berisi sambal, soto, serta es teh manis.
Gendis mencoba mengentakkan kakinya untuk memberi peringatan. "Bisa enggak sih lo, yang mulai duluan yang minta maaf?!"
"Astaga, cuma kena dikit doang harus minta maaf? Cih! terlalu kaku."
Gendis yang memiliki rencana lain pun langsung menduduki kursi di sampingnya, tanpa berniat mengambil pesanan.
Ketika gadis itu berjalan, Gendis meluruskan kakinya di luar meja. Otomatis gadis yang beradu mulut dengannya tadi, jatuh tersungkur. Spontan Gendis tertawa saking kesalnya beradu mulut dengan gadis yang menurutnya tidak setara.
Namun, saat itulah Sagala dan Favian lewat di depan kantin. Inilah yang membuat kesalahpahaman antara Sagala dan pacarnya.
"Kak, jangan lupa. Dua puluh juta melayang ke rekening gue," bisik Sagala di telinga kakaknya saat pulang dari acara wisuda. Kebetulan Viktor ingin duduk di belakang bersama adiknya.
"Cuma dua puluh doang, bukan lima puluh. Gampanglah itu," balas Viktor yang tak terduga malah blak-blakan.
"Oke, tunggu aja rekening gue bertambah nominalnya."
"Emang buat apa uang dua puluh juta lo itu? Bukannya uang lo lebih banyak ya?" tanya Viktor sekedar ingin mengetahui uang sebanyak itu untuk apa.
"Gue cuma punya dua puluh juta doang kok. Yang sepuluh juta udah kepake bulan lalu buat beliin tas brandednya Gendis."
"Cinta boleh, bego jangan. Punya uang tuh dihemat, bukan malah buat foya-foya pacar. Lagian cuma pacar doang, bukan istri," sarkas Viktor sedikit kesal. Masalahnya Sagala sudah terlalu bodoh dalam hal percintaan. Ini sudah ketiga kalinya Sagala mengeluarkan uang lebih dari tujuh juta cuma demi pacar.
"Uang milik gue, pacar juga milik gue. Suka-suka gue dong. Kenapa lo sewot sih."
Viktor terdiam mendengar jawaban sang adik. Memang benar itu milik Sagala sendiri, tetapi untuk ke depannya tidak ada yang bisa memprediksi. Ia hanya ingin adiknya menyiapkan hal yang belum terjadi itu.
Seminggu sudah berlalu sejak wisuda. Sagala memiliki kebiasaan baru, yaitu setiap hari ke rumah Favian untuk bermain game atau sekedar nongki bersama kenalan Favian. Saat itu, Wajendra sedang tidak berada di rumah. Ia sibuk dengan restorannya yang semakin lama, kian ramai.
Namun, kini Wajendra tengah bersantai di depan rumah sembari menikmati kopi pagi. Ketika mendengar langkah, ia menatap pemilik kaki tersebut dan mendapati Sagala yang sudah rapi berbalut jaket kulit berwarna hitam.
"Mau ke mana, Gal?" tanya Wajendra tidak seperti biasanya.
"Mau ke rumah Favian, Pa," balas Sagala seadanya.
Wajendra mulai berdiri dan merangkul pundak anak keduanya itu dengan hangat. "Masuk dulu yuk. Kita ngobrol-ngobrol sebentar. Janjian sama Faviannya ditunda dulu bisa?" ucap Wajendra menggiring Sagala masuk kembali ke dalam rumah.
"Emangnya ada apa, Pa?" Mata Sagala sudah menatap curiga ke netra papanya. Tanpa sengaja, ia mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali papanya mengajak berbicara seperti ini.
Ketika sudah sampai di depan televisi ruang tamu, Wajendra menyuruh Viktor untuk bergeser sedikit. Agar tempat tersebut dapat diduduki Sagala. Namun, bukannya bergeser, Viktor malah berdiri di belakang kursi tempat duduk papanya.
"Duduk, Gal," suruh Wajendra membiarkan anak sulungnya itu bertingkah.
"Ada apa sih, Pa?" tanya Sagala untuk kedua kalinya. Ia sangat tidak sabaran mendengar beberapa kata dari Wajendra.
"Papa to the point saja ya," ucap Wajendra sebelum mulai ke topiknya. "Kamu kan sudah lulus SMP, nilainya juga bagus. Cukuplah buat masuk SMK kakakmu. Nah, gimana kalau kamu di SMK Kakakmu? Jurusannya tata boga."
Wajah yang tadinya terlihat bahagia, kini berubah murung. Bukan ini yang Sagala inginkan dari pembicaraan Wajendra. Melainkan hadiah dari nilai ASPDnya kemarin. "Memangnya kenapa, Pa?"
"Biar kamu bisa melanjutkan bisnis restoran papa. Selain itu, Viktor juga rutin memberikan suntikan dana sebagai alumni di sana. Kamu bakal lebih mudah masuknya. Fasilitas di sana juga sangat memadai. Kenapa enggak 'kan?"
"Tapi, Pa ...."
"Memangnya kalau kamu enggak masuk jurusan tata boga, mau jurusan apa? Yang bisa membanggakan papa cuma itu. Kamu juga bisa lebih pintar dan bagus dari Viktor dalam mengelola perusahaan," lanjutnya memotong alasan Sagala.
"Pa, papa enggak lupa kan kalau Sagala punya alergi asap?" tanya Sagala memastikan. Karena Sagala tahu pasti ke mana arah tujuan papanya. Pasti tidak jauh-jauh dari asap.
"Iya, Papa tahu. Kamu tetap bisa kok jadi koki di restoran. Kamu kan bisa rajin minum obatnya. Atau bisa jadi alergimu hilang dengan sendirinya."
Viktor yang tahu Sagala sedang menahan emosinya pun menceletuk, "Maaf, Pa menyela. Setahu Viktor, jika terlalu sering mengonsumsi obat, efek sampingnya bisa berbahaya dan berujung kematian. Jadi ada kala-"
Wajendra mengangkat tangannya sebelah, memberitahukan Viktor untuk diam. "Viktor, jangan menyela pembicaraan."
Sagala yang merasa suasananya sedikit panas, mencoba berdiri tegak walau jantung berdegup sangat kencang. "Maaf, Pa. Sagala butuh waktu untuk menyendiri."
Wajendra terkejut dibuatnya. Ia memanggil nama Sagala berulang kali. Namun, Sagala pura-pura tuli. Ia sudah berjalan mengambil sembarang kunci mobil untuk ia kendarai.
Dirinya berharap, ini memang keputusan yang terbaik dari segala keputusan yang ada. Ini demi kesehatannya, ini demi tubuhnya. Seharusnya, tidak ada yang salah bukan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top