19 | Papa Balik
Malam itu suasananya sangat sepi dan dingin. Jaket pun tidak begitu membantu, karena masih ada celah untuk udara masuk ke badan. Jika naik taksi tetap akan percuma dengan jarak indekos yang dekat. Mau tidak mau ia harus merasakan ketakutan ini. Toh salah siapa keluar di malam hari.
Namun, untuk menetralisasi ketakutan, Fabiola mencoba membuka ponsel dengan merekam semua hal yang ada. "Jalannya sepi banget, kok jadi ngeri sih," monolog Fabiola memberikan efek suara di video.
"Enggak usah takut, Mbak. Kan ada saya," ucap Haldis yang ternyata sedang menjaga belokan jalan menuju garis finish.
"Maaf saya enggak kenal Anda," ucap Fabiola hampir melangkah pergi. Namun, tangannya ditarik paksa oleh lelaki itu hingga spontan menendang bagian yang tak seharusnya.
Teriakan Haldis membuat Fabiola terdiam seketika. Sakitkah? Memang ia menendang bagian mana? Sebelum bertanya, lelaki itu telah berlari menjauh entah ke mana. Sedangkan Fabiola ikut lemas hampir dilecehkan.
Bahkan saking lemasnya Fabiola tidak sadar ada pria tua yang hendak menyeberang. Ponselnya yang merekam juga tepat mengarah ke jalanan. Membuat ia tahu kejadian yang sebenarnya.
Suara nyaring terdengar jelas di indra pendengaran Fabiola. Ia terkejut bukan main. Mobil sport ungu familier di matanya telah menabrak seorang pria tua. Fabiola langsung berjalan cepat menuju korban mengabaikan rasa lemasnya.
"Pak, bangun, Pak," ucap Fabiola terduduk lemas menatap pria tua itu. Tangannya mengeluarkan banyak darah, tetapi Fabiola tidak mengerti apakah itu patah tulang atau hanya terluka.
Beberapa kali Fabiola menatap mobil Sagala untuk menunggunya keluar, tetapi tak kunjung mendapatkan jawaban hingga Fabiola kesal dan berjalan mendekat. Namun, baru saja ia akan sampai Sagala sudah menancapkan gas tak peduli.
"Sagala bego! Sagala kurang ajar! Banci!" teriak Fabiola kesal melihat tidak tanggung jawabnya Sagala. "Terus gue harus apa?" tanya Fabiola pada diri sendiri. Tremor. Untung saja ia bisa menghubungi ambulans untuk ditindak lanjut.
Pukul empat pagi saat Fabiola dijemput sang papa untuk pulang, ia menyelonong masuk ke kamar Gendis. "Gendis! Gue harus gimana?" tanya Fabiola membuat Gendis bingung. Mereka belum berbaikan, tetapi gadis ini malah menyelonong masuk ke kamar seenaknya.
"Lo apa-apaan sih masuk kamar gue seenaknya? Lo siapa hah?" ucap Gendis mendorong Fabiola untuk berdiri dari ranjangnya.
"Sagala tabrak orang sampai patah tulang," ucap Fabiola langsung ke inti pembicaraan. Saat menolong korban, Fabiola sempat ikut ke rumah sakit. Bahkan biaya yang dikeluarkan pun dari uang tabungannya.
"Jangan mengada-ngada deh lo. Lo punya bukti enggak?" tanya Gendis memelotot tidak percaya.
"Nih lihat aja," ucap Fabiola memutar kembali video yang berisi rekaman semalam.
"Wah gila sih. Lo harus tegak in keadilan. Enggak peduli dia mantan terindah gue, tapi hukum tetaplah hukum," ucap Gendis geleng-geleng kepala menanggapinya.
"Iya kan? Nanti gue laporin," ucap Fabiola merasa terdukung. Gendis hanya mengacungkan jempol setuju. Entah kenapa hubungan mereka gampang sekali dipersatukan.
Sehari setelah melaporkan, di pagi yang cerah dengan sambutan ramah senyum bahagia Fabiola membuat beberapa warga sekolah bingung. Siswi yang terkenal judes dan tak pandai bergaul tiba-tiba menjadi ramah dan murah senyum? Yang benar saja. Gadis itu sedang tidak gila bukan?
"Ola, lo nggak sedeng to?" tanya salah satu murid sekelasnya. Ia sebal melihat senyum Fabiola yang membuat beberapa mata tertuju padanya.
"Enggak kok. Aku terlalu waras jadinya gini," balas Fabiola tersenyum menampakkan giginya.
Saat ia akan duduk di kursi, satu tarikan kuat dari tasnya cukup membuat Fabiola mengikuti arah jalan orang tersebut. "Woy, lo sapa dah narik-narik tas gue!" kesal Fabiola tak dapat melawan.
"Sst diem," suruh orang tersebut dengan suara berat. Dugaan Fabiola orang yang menariknya adalah laki-laki.
Sampai di tangga lelaki itu pun melepaskan tarikan dari tas Fabiola. "Mending lo turun tangga sendiri dah. Daripada gue jatuhin."
"Apa sih, Yan? Ke mana? Ada apa?" tanya Fabiola yang belum mengerti arah pembicaraan Favian.
"Cepetan ke belakang sekolah atau gue dorong," ancam Favian membuat perempuan itu menurut.
"Apa? Kok sampai perlu ke belakang sekolah segala?" tanya Fabiola duduk di kursi yang sudah tersedia.
Sedangkan Favian tidak ikut duduk karena menghargai perempuan yang baru saja ia paksa. "Lo tau berita ini?" tanya Favian menunjukkan artikel yang berkaitan dengan kasus tabrak lari.
"Gue saksi matanya," balas Fabiola santai membuat lelaki di depannya terkejut.
"Lo enggak gila kan mau jadi saksi mata di pengadilan Sagala? Atau jangan-jangan lo yang membuat Sagala cepet masuk penjara?" curiga Favian tak habis pikir.
"Kalau iya kenapa? Toh keadilan harus ditegakkan enggak peduli siapa pelakunya," ucap Fabiola menantang.
"Lo gila ya? Lo enggak tahu dia lagi ada masalah sama bokapnya? Kalau bokapnya tahu abis dia," jelas Favian berlalu pergi saking kesalnya pada gadis yang katanya pintar ini.
"Sorry, Yan. Ini demi kebaikan Sagala juga biar jera. Bagaimana pun keputusannya lo, gue, dan Sagala harus terima," monolog Fabiola menatap kepergian Favian.
"Assalamualaikum, Kak Viktor gue perlu bicara. Pastikan, Kakak berada di tempat sepi," peringat Favian sebelum berbicara ke intinya. Saat ini ia berada di luar sekolah mencuri waktu istirahat.
"Waalaikumussalam, udah. Kenapa?" tanya Viktor yang saat ini mengunci kamarnya.
"Malam tadi Sagala di tahan di polsek ... atas tuduhan tabrak lari. Kakak kapan bisa ke sana?"
"Lo jangan bercanda, Yan. Gue lagi sibuk ngurus proyek lain lho," ucap Viktor masih terdengar santai.
"Urusan begini gue gimana mau bercandanya, Kak?" tanya Favian membuat Viktor terkejut.
"Lo gimana jagain Sagala sih? Masa gini doang enggak bisa? Lo udah dibayar besar kan sama papa gue? Gila lo ya?" kesal Viktor menyalahkan ke tidak hati-hatian Favian sebagai penjaga bayaran Wajendra.
"Maaf, Kak pas itu gue cuma gertak Sagala doang, taunya enggak mempan. Maaf banget, Kak gue juga baru tahu kejadiannya lewat berita tadi pagi," balas Favian menyesal. Ia merasa tidak berguna dengan bayaran yang tidak setimpal dengan pekerjaannya.
"Emang bisa Sagala dijenguk hah?" Favian tidak dapat menjawab pertanyaan Viktor karena dua hal. Satu karena bel telah berbunyi, dua ia tidak tahu. Dengan terpaksa ia mematikan telepon sepihak.
Siangnya dengan berat hati Viktor menyampaikan kabar tidak enak pada Wajendra. Jelas dari raut wajahnya pria paruh baya itu sangat marah, tetapi tetap mau menemui Sagala di polsek. Ia juga kecewa karena informasi ini bukan dari Sagala sendiri, melainkan dari kakaknya.
Hanya lima belas menit mereka berdua sampai di polsek yang Favian sebutkan. Setelah mencari informasi keduanya dapat menemui Sagala dengan baju oren khas tahanan. Sepertinya dipinjami.
"Kamu gila ya, Gal. Kamu sudah mempermalukan papa dan keluarga. Kamu enggak sadar diri apa?" tanya Wajendra meluapkan amarahnya memandang wajah lesu Sagala.
"Pa, tenang. Sagala pasti capek juga diinterogasi," ucap Viktor menenangkan papanya. Ia sadar bahwa ini bukan rumah, melainkan markas polisi.
"Papa harus gimana lagi ngurus dia, Viktor? Dia anak yang paling bermasalah selama ini." Perkataan Wajendra membuat Sagala semakin tertunduk malu. Ia sangat merasa bersalah.
"Maaf, Pa. Sagala salah. Sagala pasti enggak bakal mengulang kejadian ini lagi." Sagala seperti menahan tangis mengatakan hal ini. Namun, tetap ia tidak berani mengeluarkannya di depan sang papa.
"Terus kalau nasi sudah menjadi bubur gini kamu mau bagaimana?" tanya Wajendra mengusap rambutnya frustrasi.
"Sagala enggak tahu, Pa. Sagala enggak ngerti," pasrah Sagala jujur. Ia capek semalaman ditanya berbagai hal oleh kepolisian. Dan sekarang ia ditanya lagi oleh papa.
"Penyidikan lo udah selesai belum?" tanya Viktor angkat bicara.
"Belum. Masih ada beberapa hal yang perlu diusut," ucap Sagala terus terang.
"Lo bicara seadanya kan? Lo enggak bohong sama sekali? Lo enggak melawan juga kan?" tanya Viktor beruntun.
"Awalnya gue bohong, tapi pagi tadi gue jujur. Gue takut nambah hukuman, Kak."
"Bagus. Terus lo udah dapet pengacara belum?" tanya Viktor yang sepertinya lumayan tahu mengenai hukum seperti ini.
"Belum, Kak."
Viktor langsung menepuk jidatnya. Capek. "Wajar deh kalau begini. Lo baru nyemplung sama hukum sih."
"Sekarang kamu mau pilih pengacara yang papa sewa atau pengacara pengadilan?" tanya Wajendra mewakili Viktor.
"Terserah papa."
"Tentukan pilihanmu sendiri Pandora Sagala." Jika sampai papanya menyebut nama lengkap sang anak, pasti hal itu sangat serius. Dan kini Wajendra memang sedang serius.
"Biasanya papa juga kan yang pilihin segalanya untuk Sagala?" tanya Sagala membalikkan keadaan. Entah kenapa saat berbicara pada Wajendra bawaannya ingin mengungkit hal-hal yang belok dari pilihan Sagala.
Untuk menahan amarah, Wajendra menghela napas. "Papa kemaren memang terlalu mengekang kamu, tapi papa sadar bahwa kamu sudah berhak memiliki pilihan sendiri. Namun, papa juga tidak bisa menilai bahwa pilihanmu itu benar atau salah. Di satu sisi kamu berhasil atas hal lain, tapi di sisi lain kamu gagal untuk ini." Lagi Wajendra menghela napas untuk melanjutkan perkataannya. "Papa ulang, kamu mau papa pilih in pengacaranya atau dari pengadilan?"
"Papa pilih in. Karena Sagala yakin kali ini pilihan papa memang yang paling tepat," telak Sagala membuat Wajendra tersenyum.
"Bagus. Sekarang tugas kamu hanya mengikuti semua prosedur yang diberikan kepolisian. Urusan pengacara biar papa," ucap Wajendra mengelus kepala anaknya pelan. Sagala terkejut bukan main. Setelah sekian tahun untuk pertama kalinya Wajendra kembali memegang kepala Sagala. Ini serius?
Dengan gembira Sagala memegang rambut bekas tangan sang papa. "Papa ngelus kepala, Gala? Tulus?"
"Oh iya kamu gimana di penjara ini? Ada yang ganggu kamu enggak? Apa perlu papa pulang in sebentar sebelum pengadilan?" tanya Wajendra over protektif mengalihkan pertanyaan Sagala yang membuatnya salah tingkah.
"Sagala enggak butuh apa-apa, Pa di sini. Sagala cuma mau pulang," jawab Sagala masih mempertahankan senyuman. Walau saat ini perutnya berbunyi untuk diberi makan. Ya, makan yang diberikan di sini lumayan sedikit hingga tak tahan sampai siang.
"Kalau begitu kamu mau kan pulang ke rumah papa? Jangan ke indekos lagi?" Sagala mengangguk mengiakan.
Sedangkan Viktor menatap haru percakapan keduanya. Ia senang kedua penyemangatnya telah akur walaupun terpaksa menyembunyikan beberapa pertanyaan karena waktu yang tersisa tinggal sedikit lagi. Kini yang perlu dikhawatirkan Viktor hanyalah bagaimana cara agar Sagala bisa terbebas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top