18 | Gila

Semalam Sagala baru bisa tidur pukul empat subuh. Akibatnya kepala lelaki ini pusing. Ditambah pagi harinya ia harus pergi ke sekolah untuk ujian akhir semester ganjil. Sebenarnya Sagala bisa saja izin, tetapi ia sangat tidak suka ujian susulan.

Hari ini kondisi Sagala sangat berantakan. Baju kusut, rambut tidak beraturan, wajah pucat pasi, dan selalu menguap sepanjang perjalanan. Tak jarang bunyi klakson yang bersahutan membuatnya mengedipkan mata beberapa kali. Tidak fokus.

Selain kondisi fisik, suasana di sekitarnya pun berubah drastis. Sagala sadar bahwa hal itu terjadi karena ulahnya sendiri. Walau pada dasarnya dalam hati ia muak dengan kehidupan dingin ini.

"Yan, gimana ujiannya tadi?" tanya Sagala merangkul Favian berusaha menahan pusing yang dirasa. Sesuai ucapannya tadi malam, ia ingin mengembalikan persahabatan mereka seperti semula.

"Maaf siapa ya? Gue enggak kenal lo," balas Favian menurunkan tangan kanan Sagala dari pundaknya.

"Kalau gitu kenalin, gue Pandora Sagala. Anak akuntansi dua kelas sepuluh. Salam kenal," ucap Sagala miris mengulurkan tangan untuk berjabat.

"Maaf, gue enggak butuh kenal lo," ketus Favian kembali berjalan menuju parkiran untuk pulang. Karena Sagala, ia harus berhenti berjalan. Mengesalkan.

Sagala terdiam di tempat. "Jadi gini ya rasanya udah enggak dianggap sahabat lagi," batinnya sangat menyesal.

Tak sengaja saat ingin berjalan Sagala melihat Fabiola seperti menunggu sesuatu. Ia berusaha menghampiri. "Lo lagi nunggu siapa? Mau gue anter pulang?"

Setelah melihat siapa yang menghampiri, Fabiola buru-buru pergi menjauh. Namun, gerakan cepat tangan Sagala mengeret tas gadisnya hingga mundur beberapa langkah. “Apa sih lo? Jangan halangi gue,” kesal Fabiola diam di tempat.

“Kenapa? Jawab dulu pertanyaan gue,” ucap Sagala tersenyum.

Setelah menghembuskan napas sejenak Fabiola menjawab, "Enggak perlu."

Sagala memaklumi. Sepertinya Favian dan Fabiola sama-sama menepati ucapan mereka semalam. "Kalau gitu nanti sore masih mau ngajarin gue les kan?" tanya Sagala spontan memegang kepala akibat rasa nyeri yang makin menyerang.

"Enggak, maaf. Gue udah balik ke rumah papa. Gue enggak butuh uang lo lagi. InsyaAllah papa bisa menghidupi keluarga," ketus Fabiola tak memahami kondisi Sagala yang berantakan.
“Oh ya? Syukurlah, tapi gue masih butuh ilmu lo. Gimana dong?” tanya Sagala basa-basi berusaha tegar walau terik matahari menyerang.

“Lo bisa belajar sama yang lain. Enggak perlu sama gue lagi. Dan ingat, jauh-jauh dari hadapan gue!” peringat Fabiola seperti menyuruh Sagala mengingat perkataannya semalam.

“Oke, gue akan cari pengganti. Doain semoga ketemu,” suruh Sagala memandang Fabiola lekat seakan gadisnya akan pergi sangat jauh.

“Aamiin.”

“Oh ya btw, gimana sama Gendis? Udah baikan?”

“Alhamdulillah udah. Selama gue pergi, papa berusaha membagi kasih sayangnya ke semua anggota keluarga.”

“Terus papa lo ngajak lo pulang gimana ngomongnya?”

“Papa ke kontrakan gue. Dan untuk ucapannya itu privasi gue. Lo yang bukan siapa-siapa enggak berhak tau,” balas Fabiola memandang sinis Sagala.

“Kalau gitu, mau enggak jadi pacar gue?” tanya Sagala spontan berbicara dengan waktu yang tidak tepat sama sekali.

“Terus apa keuntungannya buat gue?”
“Loh katanya gue bukan siapa-siapa lo. Mangkanya biar jadi prioritas lo, gue jadi pacar lo aja gimana?” tanya Sagala membuat kedua pipi Fabiola memerah.

“Enggak, gue enggak butuh pacar. Ayah gue aja bisa beri kasih sayang lebih ke gue. Gunanya lo apa?” ucap Fabiola memasuki mobil yang baru saja datang di hadapannya.

“Jangan serius-serius jadi anak. Gue Cuma bercanda kok,” alasan Sagala tersenyum kecut. Padahal niatnya ia ingin menyatakan perasaan pada Fabiola, eh ujungnya malah tidak terduga. Sial.

“Terserah lo. Oh iya, kalau ada yang menasihati itu didengarkan. Jangan masuk telinga kanan, keluar telinga kiri," jelas Fabiola untuk terakhir kalinya sebelum melesat pergi menjauh dari pandangan.

Sagala tidak begitu mengerti maksud Fabiola, tetapi kali ini ia tersenyum tulus memandang kepergian gadisnya. Setidaknya masalah di keluarga perempuan itu telah usai. Ditambah lagi wajah judes Fabiola membuat hatinya bergetar dan nyaman menggantikan rasa penyesalan akibat diabaikan Favian.

Sesampainya Sagala di indekos, bukannya tidur malah membuka ponsel untuk melihat berita terkini. Tak sengaja ia memencet video yang berjudul ‘Fakta Tabrak lari di Jogjakarta, Pelaku Disebut Pakai pelat Nomor Jakarta'.

Tanpa pikir panjang Sagala bangun dari tidurnya dan memutar video tersebut. "Kasus tabrak lari yang menimpa satu korban asal Wonogiri pada Senin 6 Desember 202* terus dilakukan penyelidikan. Penyelidikan dilakukan dengan memeriksa semua saksi yang ada di sekitar lokasi kejadian kecelakaan. Dari hasil pemeriksaan–" ucap pembawa berita. Belum selesai berita tersebut, Sagala menghentikan video setelah melihat lokasi kejadian.

Ia mengingat kembali kejadian pada malam itu. Kondisinya Sagala sedang kalang kabut takut Arles menang balapan. Dan saat dibelokkan hendak memutar menuju garis finish, ada seorang pria tua yang menyeberangi jalan. Namun, karena lampunya remang Sagala tidak melihat orang tersebut.

Akibatnya Sagala tak sengaja menabrak pria tua itu hingga terpelanting beberapa meter. Cukup keras benturannya. Spontan ia menghentikan mobil ke pinggir, karena tiba-tiba kepalanya pusing. Bukannya Sagala tidak mau menolong, tetapi kepalanya tak bisa diajak kerja sama untuk berjalan.

Kedua tangan Sagala lemas berusaha memegangi kepala, badan sudah bergetar hebat, dan otaknya seakan menimbulkan kembali luka masa lalu yang menyakitkan. Sekilas ia berpikir, haruskah luka itu muncul di kondisi genting seperti ini?

Ketika itu umur Sagala baru tiga belas tahun. Ia sudah mengerti mana yang benar dan mana yang salah, tetapi ia tidak paham bahwa apa yang ia saksikan bisa mengubah kehidupannya. Orang yang dari dulu berusaha untuk mengerti dirinya akan hilang bersama tanah. Kini ia hanya bisa ingat percakapan terakhir bersama Aminah—mamanya.

"Sagala tadi sekolahnya gimana?" tanya Aminah memandang sayang anak bungsunya.

"Baik kok, Ma. Malah tadi Sagala bisa jawab pertanyaan guru yang harusnya dijawab Favian," balas Sagala ramah tersenyum.

"Hebat dong, Sagala. Enggak heran sih, Sagala kan anak mama yang paling pinter," puji Aminah membuat Sagala besar hati. "Tapi inget, Sagala enggak boleh sombong lho ya. Tetep main sama yang lain. Soalnya mama lihat akhir-akhir ini Sagala cuma deket sama Favian karena pinter. Teman yang lain ke mana?"

"Sagala main kok, Ma sama temen yang lain. Cuma karena kemaren Sagala batuk pas kena asap kantin sekolah, jadi di ketawain sama temen. Katanya Sagala lemah. Sagala enggak mau temenan sama mereka lagi," jelas Sagala mengadu memberi alasan yang sebenarnya.

"Lho memangnya kenapa kalau, Sagala alergi? Kan Allah yang memberikan kekurangan itu sama, Sagala. Sagala juga terima kan? Seharusnya temen Sagala mengerti. Teman yang lain juga pasti punya kekurangan."

"Iya, katanya Sagala enggak bisa ngejalanin bisnis papa," jawab Sagala menatap lurus ke depan.

"Enggak papa. Sagala kan bisa menggapai cita-cita Sagala sendiri. Enggak perlu di perusahaan papa kan?" Mendengar hal itu Sagala mengangguk setuju. Dan setelahnya kejadian tak terduga terjadi.

Saat itu di malam hari setelah pulang dari membeli barang belanjaan, tiba-tiba ada mobil yang membanting setir ke trotoar tepatnya ke arah mereka berdua. Mungkin menghindari kecelakaan jalan, tetapi malah mengenai Aminah.

Untungnya dengan sigap ada orang yang berada di dekat Sagala menariknya ke dalam toko. Hingga yang menjadi korban tewas di tempat adalah Aminah.

“Mamaaa,” teriak Sagala histeris. Sagala bingung harus apa, tetapi yang bisa ia lakukan hanya menangis dan memanggil Aminah dengan sebutan ‘mama’. Netranya bahkan bisa melihat jelas tubuh sang mama yang berlinang darah. Hingga sampai di titik Sagala pingsan karena capek menangis dan berteriak. Hal selanjutnya ia sudah tidak mengingatnya lagi.

Tak terasa di dalam mobil ini Sagala ikut menangis mengingat kejadian yang hampir saja hilang di memori. Bodohnya ia malah memilih melanjutkan balapan tanpa turun untuk menolong korban yang ia tabrak. Bahkan untuk melihatnya saja tidak.

Memang benar Sagala menang balapan dan mendapat lima belas juta. Itu pun karena memang Arles sengaja memperlambat mobil. Namun, tetap rasa penyesalan di dada tidak akan pernah hilang.

Jujur saat itu Sagala bingung mengapa ada orang yang lewat? Biasanya tidak ada karena sudah dibersihkan. Ditambah tak ada juga yang menjaga di sekitar belokan. Benar-benar sepi.

"Halo, Kak Arles. Gue mau tanya," ucap Sagala menelepon tiba-tiba ke nomor Arles.

"Iya kenapa?" tanya orang di seberang terdengar berisik.

"Kak, kenapa pas belokan menuju garis akhir malah enggak ada yang jaga?" Sagala benar-benar kepo dan langsung menanyakan hal ini pada Arles.

"Ada kok pas gue lewat. Daerah rawan selalu ada penjaga. Emangnya pas bagian lo kagak ada?"

"Oh ada ya? Oke makasih, Kak Arles," balas Sagala menutup telepon sepihak.

"Ada apa emang? Halo, Gal?!" samar-samar sebelum ditutup Sagala masih mendengar pertanyaan dari Arles, tetapi ia tidak peduli. Yang ia pedulikan sekarang adalah pikirannya.

"Kok bisa bagian Kak Arles masih ada yang jaga sedangkan gue enggak? Dan baru kali ini kejadian," monolog Sagala berpikir keras. "Terus nanti kalau gue ketangkep polisi gimana? Enggak, enggak mungkin. Kan enggak ada CCTV. Tenang Sagala. Tenang," ucap Sagala menenangkan diri dengan pemikiran terburuknya. "Argh gila! Sagala gila!"

Setelah mengatakan hal itu Sagala tertidur. Ia capek seharian ini dengan suasana yang tak mengenakan. Baru setelahnya pukul dua siang sampai pukul empat sore ia belajar untuk ujian besok pagi. Sedangkan malam nanti adalah waktu santainya.

Namun, planingnya hancur seketika. Suara ketukan pintu di malam hari membuat santainya terganggu. "Siapa?" tanya Sagala masih asyik bermain game di ranjangnya.

"Buka," ucap suara yang tidak familier di depan pintu.

Dengan terpaksa dan malas Sagala membuka pintu. "Maaf, apakah benar ini rumah Pandora Sagala?" tanya salah satu lelaki berjaket hitam.

"Ya, dengan saya sendiri," jawab Sagala se-formal mungkin. Dengan cepat salah satu lelaki dari ketiganya memborgol tangan Sagala.

"Ada apa ini, Pak?" tanya Sagala bingung. Bagaimana bisa secepat ini ditangkap?

"Anda berhak ditangkap karena telah melakukan tindak pidana Undang-Undang nomor dua puluh dua tahun dua ribu sembilan tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," jelas lelaki lainnya membuat Sagala paham.

"Ada surat penangkapan?" tanya Sagala yang sedikit tahu tentang aturan penangkapan.

Dengan segera lelaki itu mengeluarkan surat penangkapan. Setelah yakin hal tersebut benar Sagala menurut saja mengikuti jalannya kepolisian. Ia bahkan tidak berontak sama sekali mempermudah pekerjaan.

Saat Sagala hendak masuk mobil kepolisian, ia melihat Favian dengan wajah khawatir sekaligus kecewa memandangnya. Sagala tahu ini bukan perbuatan yang baik sekaligus mencemari nama keluarga. Namun, mau bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur.

Sampai di kepolisian Sagala diinterogasi oleh pihak polisi dengan berbagai pertanyaan. "Semalam Anda berada di mana?"

"Saya berada di rumah," ucap Sagala spontan menatap ke kanan. Ia berbohong.

"Bisa diceritakan apa saja yang Anda lakukan di rumah?" tanya polisi tersebut terus mendesak.

"Belajar," jawab Sagala lagi berbohong untuk menutupi kebohongan awal.

"Anda tahu di jalan ... terjadi kecelakaan yang menyebabkan korban patah tulang parah?"

"Patah tulang parah? Ya saya tahu," jawab Sagala tak sengaja keceplosan. Ia baru tahu bahwa korban yang ia tabrak mengalami patah tulang parah. Sagala kira hanya luka saja.

"Bisa Anda ceritakan kegiatan Anda sekitar pukul sembilan sampai pukul empat malam kemaren?" Mampus Sagala tidak memikirkan jawaban untuk ini. Pasti alibinya tidak kuat. Lalu apa yang harus ia lakukan?

Keringat sebesar biji jagung menetes deras dari dahinya. Kaki panjangnya pun ikut bergerak tak beraturan untuk menutupi rasa takut. Ya, Sagala takut di ruang privasi ini. Ia takut akan berbagai hal yang akan terjadi selanjutnya. Sungguh ia tidak berpikir atas akibat yang dilakukan semalam.

Karena tidak berani menjawab, polisi mengalihkan pertanyaan lain. Lalu dilanjut dengan beberapa pertanyaan beruntun demi kepentingan penyidik. Sagala hanya bisa menjawab sesuai apa yang ia anggap membantu dan tidak dicurigai.

Sekarang yang ada di otaknya bagaimana cara ia memberitahu Viktor dan papa. Sagala yakin tanpa bantuan keluarga pasti ia tidak akan bebas. Urusan PAS, teman, maupun gebetan ia sudah tidak peduli. Ia takut, ia capek, dan ia ingin menyerah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top