14 | Balap Liar (2)
Lelaki berpostur tegap ini akan pergi menuju tempat yang katanya penyembuh kepenatan. Di balik kemudi mobil ia fokus ke jalan yang sudah sedikit sepi kendaraan. Semilir angin malam dan indahnya pemandangan akan setia menemani Sagala dan Favian.
"Lo hari ini mau balapan, Gal?" tanya Favian di samping kemudi Sagala.
"Enggak. Duit gue menipis," balas Sagala memandang fokus ke depan tanpa adanya celah untuk melihat arah lain.
Favian hanya mangut-mangut mengerti. Tidak heran baginya yang mengetahui semua pengeluaran Sagala. Sahabatnya itu selama empat bulan sudah menghabiskan lebih dari dua puluh juta. Entah tinggal berapa uang di kartu Sagala, ia lupa.
Baru keluar dari mobil Sagala langsung dihampiri sekelompok orang yang salah satunya ia kenal. Wajahnya sangat familier hingga dirinya mengoreskan hati dengan dendam. Namun, sebelum amarah Sagala meledak lawan bicaranya sudah berucap dengan angkuh.
"Lo tahu mantan pacar lo kan? Dia pacar gue," ucapnya memandang rendah Sagala.
"Yang lo maksud Gendis? Terus kenapa? Gue peduli?" tanya Sagala menutup pintu mobilnya dengan kasar. Amarah dan rasa tidak sabarannya sudah hampir meluap, tetapi malah diberi pertanyaan yang tidak berbobot. Yang benar saja?
Sebelum menjawab pertanyaan Sagala, lelaki itu menunjukkan senyum yang tidak ada gunanya. Menyebalkan. "Gue kira lo bakal peduli kalau nanti malam gue bakal 'pake' dia buat seneng-seneng. Mumpung lagi mabok di klub."
Dengan amarah, Sagala mencengkeram kerah kaos lelaki itu dan menatapnya beringas. "Jangan gila lo! Lo nggak pikir perasaan dia gimana hah?!"
"Lo pikir dengan putus secara tidak baik-baik nggak menyakiti perasaannya? Lo pikir juga bodoh!" ucap lelaki itu balik mencengkeram kerah kaos Sagala lebih keras keras darinya.
"Ya sekarang lo maunya apa?! Sebutin jangan bikin belibet anj****," cerca Sagala berucap kata yang sangat kasar dan tidak pantas masuk di telinga siapa pun.
"Balapan bareng gue malam ini. Yang menang dapat lima juta rupiah dari lawan dan tidak boleh memakai Gendis. Begitu pun sebaliknya. Yang kalah memberikan lima juta kepada lawan dan boleh memakai Gendis," balas lelaki itu menyebutkan hadiah taruhan serta melepas cengkeraman di kerah Sagala.
Sagala menggeleng pelan sembari tersenyum begitu lebar. "Kenapa lo suka membuat ribet hal yang mudah? Gue kasih lo lima juta, bawa Gendis ke tempat gue. Selesai!" solusinya ikut melepas cengkeraman di kerah sang lawan.
"Enggak! Gue tetep mau kita balapan."
"Are you seriously? Artinya lo minta gue buat kalah untuk mendapatkan Gendis. Pengecut!" bentak Sagala menunjuk lelaki di depannya dengan wajah merah padam.
"Ya, seperti yang lo katakan," ucap lelaki itu pergi dengan pasukannya memasuki mobil sport berwarna merah.
"Gue baru tau, Haldis anaknya Pak Suntoyo bisa serendah ini," batin Sagala memasuki mobilnya yang terparkir di pinggir jalan untuk menuju arena balap.
Belum sempat Sagala menyalakan mesin, suara ketukan dari kaca membuatnya harus menunda. "Gal, lo serius mau balapan? Ada uang kagak? Gue pinjemin deh. Gue ke ATM dulu tapi," ucap Favian yang sebenarnya mau menghentikan Sagala. Namun, mendengar bahwa tubuh Gendis yang menjadi taruhan ia harus mendukung sahabatnya.
"Ada kok. Tenang aja," balas Sagala menutup kembali kaca mobilnya dan benar-benar menerima tantangan konyol yang diberikan Haldis.
Hitungan kelima, kedua mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Awalnya mereka berdua tidak ada celah untuk mengetahui siapa pemenangnya, hingga Haldis memelankan mesin. Dengan kesal Sagala mengikuti jejak lelaki itu agar ia bisa kalah.
Namun, tiba-tiba Haldis menggunakan cara licik dengan memojokkan mobil lawan hingga Sagala terpaksa banting kemudi ke berbatuan. Bahkan karena hal tersebut ada beberapa goresan di mobil kesayangan Viktor. Ya, mobil itu milik kakaknya.
Saat pergi dari rumah Sagala asal mengambil kunci kendaraan dan tanpa sengaja mendapatkan mobil kesayangan milik kakaknya. Viktor pun tidak mau meminta, karena tahu sang adik pasti bisa merawatnya. Tak disangka malah begini kejadiannya.
"Sumpah licik banget tuh anak," monolog Sagala menghentikan mobilnya ke pinggir jalan. Ia hendak mengecek seberapa parah goresan yang Haldis perbuat. "Sial, lumayan menguras duit ini."
Baru juga Sagala meratapi nasib sial, tiba-tiba ada seorang wanita yang sempoyongan jalan menuju ke arahnya. "Gal, lo napa ninggalin gue dah. Gue kurang apa sih di mata lo," gumam gadis tersebut seperti memanggil nama Sagala.
Mendengar hal itu Sagala yang tadinya jongkok menjadi berdiri menatap gadis yang ia tahu bernama Gendis. "Dis, kenapa kondisi lo kacau begini? Lo habis ngapain hah? Rambut berantakan, maskara luntur, baju kusut, malem-malem jalan sendirian lagi. Temen lo mana?" tanya Sagala beruntun celingak-celinguk mencari teman mantan pacarnya. Ia terlihat begitu khawatir dengan keadaan Gendis.
"Gal, lo kenapa ninggalin gue hah? Gue kurang apa di mata lo?" Bukannya menjawab, Gendis malah melontarkan berbagai pertanyaan kepada Sagala. Memang dasar orang lagi mabok pasti tidak fokus.
"Ah lo nggak jelas. Sini naik mobil gue!" suruh Sagala menuntun gadis berkulit putih dan cantik itu untuk duduk di samping kemudinya. Setelah memasangkan sabuk pengaman, Sagala kembali melanjutkan balapannya.
"Lo pacaran sama Haldis? Buat apa? Pelampiasan?" tanya Sagala menatap fokus ke depan tanpa mengebut seperti yang dilakukan sebelumnya.
"Apa sih, Gal? Gue cintanya cuma sama lo," balas Gendis masih terpengaruh alkohol.
"Dis, bisa enggak sikap lo jangan kekanak-kanakan begini! Kalau ada masalah jangan larinya ke alkohol. Inget, Dis umur lo udah tujuh belas tahun!" kesal Sagala memperingati umur Gendis agar tau diri.
"Karena gue udah dewasa itu, mangkanya gue 'minum'. Udah ah jangan urus hidup gue lagi." Bocah labil. Tadi katanya masih cinta Sagala, sekarang minta untuk tidak dipedulikan. Dasar cewek gengsian.
Sagala bingung harus menjawab apa. Pasalnya ia sudah kesal bercampur amarah. Otaknya kacau sekali, bahkan untuk berpikir saja tidak bisa. Jika saja api yang ada di kepala dapat terlihat, mungkin sekarang kepala Sagala sudah dipenuhi api dan asap yang sebentar lagi akan meledak.
Lima menit sebelum Sagala sampai di garis finish ternyata Haldis sudah lebih dahulu menang. Ya, semua berjalan seperti ketentuan awal. Gendis sudah berada di tangan Sagala, hanya uang saja yang belum Haldis terima.
Belum juga memudar sorak-sorai gembira penonton, Haldis sudah menghampiri Sagala meninggalkan fans barunya. "Gendis udah berada di tangan lo, sekarang mana duit gue?!"
Sagala menepati janjinya dan mentransfer sejumlah uang lima juta rupiah tanpa kurang sedikit pun pada Haldis. "Puas?" tanya Sagala tiba-tiba membogem mentah lawan bicaranya. "Lo pasti puas. Gue juga puas. Impas kan. Bye," pamit Sagala hampir memasuki mobilnya.
"Kurang ajar!" Sangat jelas terdengar celaan Haldis padanya, tetapi ia tidak peduli.
Hingga lima meter dari kerumunan, tanpa sengaja Sagala melihat pujaan hatinya. Tak ragu ia menitipkan Gendis pada Favian dan segera menuju ke tempat itu. Tatapan nyalang dari Fabiola membuat Sagala sedikit memelankan langkah untuk menguatkan detak jantungnya.
"Hai, Zar. Lo di sini juga? Ngapain?" tanya Sagala basa-basi merapikan rambutnya yang bergoyang akibat berlari.
"Menurut lo?" tanya Fabiola balik tidak bersahabat.
"Gue enggak tau, mangkanya nanya."
"Enggak bagus tau ikutan balap liar begitu. Akhir-akhir ini banyak yang kecelakaan. Soalnya wilayah ini udah agak ramai. Lagian kalau kena razia gimana? Lo juga kan yang kena," cerewet Fabiola sangat mengerti jalanan ini.
"Kok lo tau banget jalanan ini?" tanya Sagala menyelidik.
"Enggak penting. Yang penting sekarang lo harus peduli sama keselamatan lo. Masa lo rela demi lima atau berapa juta untuk sebuah nyawa lo?" Fabiola menatap dari atas ke bawah tubuh lelaki dengan tinggi 170 cm di depannya ini.
"Oh jadi crush gue udah mulai khawatir nih?" goda Sagala membuat Fabiola salah tingkah. Seperti biasa gadis itu menolak dugaan Sagala.
"Lo tau enggak—" ucapan Fabiola terputus kala Sagala mengangkat tangan kanannya untuk memberitahukan bahwa ada dering telepon yang memanggil.
"Halo, Assalamualaikum," salam Sagala tanpa melihat nama yang tertera di ponselnya.
"Waalaikumussalam. Gala, pulang kamu sekarang! Papa enggak mau tau! Cepetan!" bentak lawan bicara telepon Sagala yang ia tahu bahwa orang tersebut sangat marah padanya. Sagala bahkan sampai menjauhkan ponsel dari telinga saking kencang suara tersebut. Kini ia bingung harus menjawab apa di depan gebetannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top