13 | Buku Besar
Netra Sagala sedang tidak baik-baik saja. Paras ayu gadis di depannya yang sedang menjelaskan pelajaran membuat mata perih tak ingin berkedip. Semua pergerakannya terhenti bak diikat tali. Degup jantung juga ikut meramaikan telinga hingga tak dapat dihitung detakan cintanya.
Sampai satu kalimat bentakan membuat buyar seluruh badan. "Gal! Lo dengerin gue kan?!" tanya gadis di depannya melambaikan tangan seakan tahu bahwa Sagala sedang melamun.
Sadar namanya disebut, badan Sagala bergerak tak beraturan. "Gue denger kok," ucapnya menyeruput milk shake coklat di depannya.
"Terus kenapa ngelamun gitu?" tanya gadis itu membalikkan kertas untuk menjelaskan lembar selanjutnya.
"Lanjut, Zar," balas Sagala menaruh gelasnya di meja sembari memperbaiki posisi yang meyakinkan.
Fabiola mengangguk mengiakan. "Oke gue lanjut. Tadi kan gue udah jelasin tuh pengertian buku besar, jenisnya, dan bentuk buku besar itu sendiri. Sekarang lo coba kerjain PR yang dikasih Bu Ani," suruh Fabiola menaruh buku di meja dan memandang sekilas lelaki yang saat ini bisa disebut muridnya.
"Lah terus lo ngapain? Bukannya tugas guru itu membantu muridnya?" tanya Sagala tak terima.
"Lebih tepatnya membantu dan mengajar. Gue juga sambil ngerjain kok. Kalau lo enggak paham entar gue bantu plus jelasin," balas Fabiola sembari menyalakan laptop.
"Ok. Terus sekarang ngapain nyalain laptop?"
"Gue kalau ngerjain pakai laptop dulu biar auto correct di excel."
"Kok lo enggak bilang?"
"Lo aja enggak nanya," balas Fabiola masih santai sambil membuka aplikasi excel di laptopnya.
"Kan gue murid lo. Harusnya lo kasih tau dong," ucap Sagala yang kini menatap Fabiola lekat.
"Emangnya lo bayi?"
"Bukan."
"Terus apa?"
"Gue laki-laki yang mencintai gadis di hadapannya," balas Sagala telak membuat Fabiola terdiam seketika. "Kenapa? Salah?" tanyanya ketika menyadari lawan bicaranya terdiam dari segala aktivitas.
"Enggak. Enggak ada yang salah malah. Cuma bercanda lo terlalu berlebihan," jawab Fabiola yang kini meraih minumannya.
"Bercanda gimana? Orang gue bicara sesuai kenyataan," balas Sagala kian lekat pandangannya. Sedangkan Fabiola spontan tersedak minuman.
Sagala hanya memandang saja, enggan membantu. Untungnya tidak berlangsung lama Fabiola sudah meredakan tenggorokan. "Udah cukup bercandanya. Tuh sana nyalain laptop dulu terus kerjain PR-nya," ucap Fabiola masih menganggap bercanda omongan Sagala.
Sagala tidak peduli dan segera menyalakan laptop. Ia mengerjakan tugasnya dengan hati-hati walaupun tidak yakin semua jawaban benar. Namun, ia memiliki prinsip tidak akan bertanya sampai tangannya tanpa sadar mengaruk kepala. Bingung.
Baru setengah tabel Sagala mulai menggaruk kepala. "Zar, kode akun nomor seratus sebelas keterangan akunnya apa aja?"
"Tapi lo udah nemu debit kreditnya?" tanya Fabiola memastikan. Ia mau Sagala belajar mengerjakan terlebih dahulu, tidak yang hanya instan saja.
"Udah semua tinggal keterangan doang," balas Sagala merapikan rambut yang berantakan.
"Sini laptop lo." Sagala segera memutar laptop agar mengarah ke Fabiola.
"Jadi tuh yang tanggal satu ini namanya pinjaman bank. Yang tanggal dua pembayaran sewa, tanggal tiga pembelian peralatan dan seterusnya. Paham kan lo?" tanya Fabiola hanya memberitahukan tiga poin saja. Sisanya ia mau Sagala yang mengerjakan sendiri.
Sambil memegang kertas soal, Sagala memastikan. "Berarti tanggal sepuluh ini pembayaran beban-beban, tanggal dua puluh dua penjualan jasa. Gitu?"
"Nah iya gitu. Nih lanjut sendiri," suruh Fabiola mengembalikan laptop Sagala ke hadapannya.
Setelah berterima kasih Sagala melanjutkan tugasnya hingga kode akun lima ratus sebelas. Ia sudah mulai lancar mengerjakan buku besar. Bahkan tinggal beberapa tabel lagi ia akan selesai.
Namun, di pertengahan tugas Fabiola menanyakan beberapa pertanyaan pada Sagala. Mungkin karena ia bosan karena sudah selesai duluan. "Gal, gue mau tanya. Kenapa sih sifat lo berubah drastis gitu? Bukannya lo dulu anak teladan? Bahkan lebih pinter dari gue. Sekarang? Jauh berbeda."
"Kenapa? Lo suka diri gue yang dulu?" tanya Sagala memberikan setengah senyumnya pada Fabiola sembari merapikan rambut yang sudah gondrong.
"Dibilang iya ya enggak, dibilang enggak ya iya. Cuma ya aneh aja sama perubahan lo," balas Fabiola memotong steiknya yang masih panas.
"Emang salah ya?"
"Mungkin. Karena menurut gue perubahan lo bukan mengarah ke hal yang lebih baik, tetapi malah lebih buruk," jujur Fabiola menyatakan opini.
"Hal buruk yang lo maksud yang mana?" tanya Sagala seperti melupakan bolos sekolahnya dan balap liar malam itu.
"Bolos sekolah mungkin?"
"Oh. Lo enggak suka ya?"
"Iya. Bagi gue belajar itu yang utama. Dengan belajar dan mencari ilmu, kita bakal mudah menghadapi kenyataan. Sedangkan lo malah bolos. Kenapa?" sangkal Fabiola kini berani menatap sekilas lawan bicaranya.
"Karena gue ingin menjauh dari kata perfect. Gue mau tampil beda," jawab Sagala mantap kembali melanjutkan tugasnya.
"Lo enggak mau perfect itu pasti ada alasannya kan?" tanya Fabiola semakin serius mencermati setiap jawaban Sagala.
"Ada. Karena nama gue Sagala." Fabiola bingung bukan main, tetapi ia tidak berani bertanya lagi. "Kalau lo enggak tahu, Sagala artinya lengkap. Dan kebetulan bokap selalu menuntut gue untuk perfect dalam segala hal. Bahkan alergi yang gue punya aja dia enggak terima," lanjut Sagala menjelaskan.
"Lo serius? Emang ada bokap modelan begitu?" tanya Fabiola memelotot.
"Ada. Bokap gue contohnya. Lo sendiri gimana sama keluarga lo? Emang ada saudara tiri segalak Gendis? Setahu gue selama ini dia manja," ucap Sagala balik mempertanyakan keluarga Fabiola.
"Lo kan udah lihat kenyataannya kenapa mesti tanya." Sagala mengangguk sembari terus mengerjakan tugas.
Pukul lima sore les privat telah usai. Beruntungnya pekerjaan rumah mereka juga sudah selesai. Sampai rumah Sagala hanya ingin rebahan untuk melemaskan badan yang pegal dipakai dari pagi.
"Assalamualaikum," salam Sagala sedikit menguap tak menyadari bahwa pintu indekosnya tidak terkunci. Ia langsung masuk begitu saja.
"Waalaikumussalam," balas seseorang yang sedang menyapu lantai. Sagala terkejut bukan main. Bagaimana bisa kamar indekosnya ada orang selain dirinya?
"Kak Viktor? Lo ngapain ke sini? Ke mana aja dua bulan kagak bisa dihubungi?" tanya Sagala merebahkan diri di kasur.
"Kayak nggak tahu gue aja lo, Gal," balas Viktor terus menyapu. "Lo tuh jadi anak yang bersihan napa? Sampah makan sama minum berserakan. Ini kos atau tempat sampah? Bau banget," lanjutnya menceramahi adik semata wayang.
"Bawel. Gue mau tidur," kesal Sagala memejamkan mata. Ia capek habis belajar malah disemprot dengan berbagai pertanyaan.
"Ngapain aja lo baru pulang? Foya-foya?" tanya Viktor yang kini mencoba mengepel lantai indekos adiknya.
"Belajarlah. Duit gue aja tinggal sepuluh juta. Mana cukup buat foya-foya," balas Sagala terus memejamkan mata walau belum bisa tertidur. "Btw sejak kapan lo bisa bersih-bersih?"
"Dari dulu. Sebelum Bi Tuti beresin kamar gue, pasti udah bersih duluan. Enggak kayak kamar lo yang selalu berantakan," ujar Viktor yang sedang menekan alat pel ke lantai agar kotoran segera hilang.
"Iyain. Dari dulu lo kan udah dituntut mama untuk mandiri, sedangkan gue dituntut papa untuk perfect. Kita berbeda kasih sayang, Kak. Gue iri lo deket banget sama mama sampai beliau meninggal," ucap Sagala membuka matanya menatap atap indekos kosong. "Yah walaupun ujungnya lo tetep dituntut perfect sama papa sampai lo rela melepas mimpi lo begitu aja. Sayang banget."
"Yang berlalu biar berlalu. Sekarang fokus sama kehidupan masing-masing. Intinya satu, jangan ngecewain papa," ucap Viktor yang sudah selesai bersih-bersih dan duduk di sofa kecil milik Sagala.
"Gue udah ngecewain papa, tapi setidaknya gue enggak ngecewain diri sendiri."
"Terserah lo gue capek. Besok lagi kosnya di bersihin, kotor banget. Kok bisa sih lo betah?" tanya Viktor yang sedang mengurut tangannya. Lelah.
"Gue sering ke rumah Favian. Ke kos cuma buat tidur doang. Btw, Kak lo masuk kos lewat mana?"
"Lewat pintulah. Kuncinya aja lo kasih di keset," jawab Viktor mengecek ponselnya. "Gal, gue pulang duluan ya. Papa nyariin gue. Kalau nggak pulang dimarahin lagi kayak waktu itu," pamit Viktor membuat beberapa pertanyaan di otak Sagala.
Spontan Sagala bertanya, “Kenapa dimarahi papa?”
“Pas gue ke sini kemarin kan supirnya Pak Pipit, terus Pak Pipit ditanyain papa kenapa kemaren Viktor enggak langsung pulang ke rumah. Nah gue lupa enggak komunikasi sama Pak Pipit, yaudah Pak Pipit jawab jujur. Alhasil gue dimarahi habis-habisan sama papa. Udah ah gue balik,” pamit Viktor untuk kedua kalinya dan benar-benar pergi meninggalkan berbagai pertanyaan adiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top