11 | Oh Ya.

Tidak terasa Ulangan Tengah Semester sudah hampir selesai. Besok adalah jadwal terakhir dengan satu pelajaran yaitu Perbankan. Sagala berusaha belajar dengan Favian yang kali ini lebih pintar daripada ia saat SMP.

Pikiran Sagala sejak SMK sudah kacau. Untuk mengikuti pelajaran saja ia muak. Favian juga bingung harus bagaimana bersikap, karena sahabatnya ini sudah kecanduan game yang setiap minggunya berubah.

"Gal! Buruan dikerjain soalnya," suruh Favian menepuk kaki Sagala yang sedang duduk di sofa biru terang miliknya.

"Bentar ah, gue lagi nyoba gamenya," protes Sagala menggeser kaki menjauh dari sahabatnya.

"Udah jam delapan lho, Gal. Lo belum belajar apa pun," geram Favian berdiri mengambil paksa ponsel milik Sagala. Ia muak dengan berbagai alasan.

"Ya terus kenapa?" kesal Sagala malah menyalakan televisi menggantikan ponselnya yang diambil.

"Belajar!" bentak Favian mematikan televisi seperti ibu menyuruh anaknya yang bandel untuk belajar.

"Iya," pasrah Sagala turun dari sofa dan mengambil kertas fotokopi untuk mengisinya asal.

Suara dering telepon membuat keduanya mencari sumber suara. Favian yang merasakan getaran di daerah saku mengambil ponselnya. Ia segera melihat nama yang tertera di sana. "Lo belajar duluan, gue mau angkat telepon dulu," suruh Favian menuju lantai dua meninggalkan Sagala sendiri. Ponsel Sagala juga ia bawa di saku celana satunya.

"Katanya suruh belajar, nyatanya ditinggal," ledek Sagala mencoba menjawab beberapa soal yang menurutnya sulit.

Beberapa menit Sagala mengutak-utik soal, tetapi baru lima soal terjawab sejak ditinggal Favian. Setelah Favian kembali pun ia terlihat santai meletakkan kepala di meja. "Udah berapa soal yang lo kerjain?" tanya Favian kali ini seperti bapak-bapak yang ingin melihat nilai ujian anaknya.

"Baru lima, sisanya gue enggak ngerti," jawab Sagala membuat Favian mengacak rambutnya frustrasi. Dengan telaten ia mulai mengajarinya pelan-pelan seperti Sagala dulu membantunya memahami.

Seperti yang Sagala duga mereka dapat tertidur saat pukul dua pagi untuk memahami soal. Sekarang matanya capek sama seperti Favian. Namun, demi pelajaran terakhir mereka harus siap mengerjakan.

Tak ada pembicaraan diantara mereka, karena sibuk dengan pikiran masing-masing. Kini lima menit sebelum ujian dimulai, Sagala sempat tertidur di kelas. Untung saja saat bel berbunyi ia dengar. Kalau tidak ia akan menjadi murid langganan BK.

"Selamat pagi anak-anak," sapa guru pengawas memulai ujian offline berbasis online lewat aplikasi pendukung ujian. "Sudah siap memulai ujian hari ini?"

"Sudah, Bu," jawab para murid tak bersemangat. 

"Alhamdulillah. Sebelum kita memulai ujian alangkah baiknya kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa dengan agama dan keyakinan masing-masing mulai," ucap guru tersebut memimpin doa di depan kelas. "Aamiin. Berdoa selesai. Baik karena kalian sudah mengerti aturannya, silakan menunggu bel kedua berbunyi dan buka soal di hp kalian masing-masing."

"Terima kasih, Bu," ucap Sagala spontan, untung diikuti seisi kelas.

Tepat hari ini tidak terasa dua minggu setelah ujian berakhir, semua siswa akan menerima hasilnya. Sagala tidak tremor apalagi takut menerima hasilnya. Ia sudah pasrah yakin nilainya tidak akan melebihi rata-rata.

Pengambilan nilai dilakukan oleh para murid sendiri dan sekarang satu kelas mendorong Sagala untuk mengambilnya lebih dahulu. Ia pun menurut saja. Namun, ketika keluar dari ruang guru ia tidak menunjukkan hasilnya pada siapa pun walau banyak yang tanya. Ia malu dengan nilai yang sesuai dugaan awal yaitu di bawah rata-rata.

Kini giliran Favian yang didorong untuk masuk nomor kedua dilanjut Fabiola dengan percaya diri memasuki ruang guru sendiri. Favian keluar dengan wajah gembira karena nilainya banyak yang di atas rata-rata. Begitu pun Fabiola yang sepertinya akan menduduki peringkat pertama di kelas.

"Bagus ya lo hasilnya?" tanya Sagala melihat kertas milik Favian, kepo.

"Bagusan punya Ola tuh. Nilainya banyak yang sembilan," balas Favian yang tadi sempat melihat kertas milik Fabiola.

"Serius?" tanya Sagala tiba-tiba mencegah Fabiola yang hendak pulang melewati mereka berdua.

"Zura," panggil Sagala menarik tas Fabiola membuatnya hampir terjatuh ke belakang.

"Apa sih?! Jangan narik-narik tas dong, gue mau jatuh!" kesal Fabiola menatap Sagala nyalang.

"Sorry. Boleh lihat hasil ujian lo enggak?"

Perlahan Fabiola menurunkan tasnya dan mengambil selembar kertas yang sudah ia lipat menjadi dua. "Nih. Kenapa emang?"

Sagala segera menerima kertas tersebut dan terkejut melihat hasilnya. Hampir sempurna. "Wih kalau begini lo jadi guru les gue deh mending, Ra," celetuk Sagala bercanda.

"Boleh, tapi semuanya enggak ada yang gratis," balas Fabiola serius.

"Seriusan lo mau?" tanya Sagala yang kali ini tidak asal ceplos menentukan harga.

Fabiola mengangguk. "Berapa harganya?" tanya Sagala mengembalikan kertas tersebut kepada pemiliknya.

"Biasanya kalau gue ngambilnya setiap pertemuan sepuluh ribu," ucap Fabiola tanpa memasukkan kembali kertas tersebut ke dalam tasnya.

"Kalau gitu sama gue dua puluh kali pertemuan setiap bulan dua ratus ribu gimana?"

"Deal," ucap Fabiola menyetujui.

"Lo enggak mau bayarin gue, Gal?" tanya Favian yang sedari tadi menjadi nyamuk diantara mereka.

"Enggaklah, lo kan udah pinter."

"Iya deh gue enggak ikut," ucap Favian pura-pura kecewa.

"Lo kalau mau ikut enggak papa lo, Yan. Enggak harus seminggu lima kali," ajak Fabiola yang terlihat tidak enak.

"Oh enggak kok, La. Gue bisa belajar sendiri. Cuma dia nih yang agak susah karena kecanduan game," balas Favian menggerakkan tangan kanannya ke kiri dan kanan sebagai tanda penolakan. Sedangkan tangan kirinya ia rangkulkan pada tengkuk Sagala.

"Oh yaudah. Kalau gitu gue duluan ya, masih ngajar les gue. Bye," pamit Fabiola pergi meninggalkan mereka berdua.

"Untung gue paham maksud lo, Gal," ucap Favian mengetahui bahwa selain belajar, Sagala juga akan lebih banyak waktu dengan Fabiola, perempuan idamannya.

"Thanks." Sagala menurunkan tangan Favian dari tengkuknya dan berjalan mendahului.

Tiba-tiba dari arah berlawanan ada seorang lelaki yang tidak sengaja menabrak Sagala. Makanannya jatuh berserakan di lantai. Sagala spontan meminta maaf, tetapi siswa tersebut tidak terima.

"Gue kan udah minta maaf," ucap Sagala membantah ucapan siswa tersebut.

"Bantuin gue ambil makanannya!" suruh lelaki tersebut menatap tajam Sagala.

"Ogah. Orang lo yang salah kenapa gue yang bertanggung jawab," balasnya terus berjalan dengan Favian yang berhenti agak jauh darinya. Namun, tas ransel hitam Sagala ditarik oleh lelaki tersebut. Terpaksa ia melepaskan tanpa berbalik.

Tas dijatuhkan oleh lelaki sepantarnya. Ia seperti melangkah mendekati Sagala. Dengan cepat satu pukulan keras mengenai perut kurus pewaris kaya ini. Ia mengaduh pelan tanpa ingin membalas. Bahkan kerumunan yang melihat kejadian ini hanya dapat menutup mata tanpa berani memisahkan.

"Lo harus bertanggung jawab, karena gue anak sulung dari Pak Suntoyo. Kepala sekolah SMK Negeri dua puluh dua Yogyakarta ini. Dari dulu tidak ada yang boleh membantah permintaan gue," bisik siswa itu tepat di telinga Sagala.

"Terus dengan begitu lo dapat berkuasa dengan masalah sekecil ini? Bego!" cerca Sagala masih memegangi perutnya yang nyeri.

Untuk kedua kalinya lelaki itu memukul Sagala. "Gue lagi kesel. Jangan tambah gue kesel. Lagian lo siapa berani ngatain gue?" balas lelaki itu sudah melepaskan Sagala yang terlihat kesakitan.

"Kalian berdua, ikut saya ke ruang BK!" Suara tersebut menutup perkelahian mereka. Sagala yang masih kuat berdiri menurut saja. Sedangkan lelaki itu terkejut hendak kabur. Untung saja beberapa siswa lelaki segera menangkapnya dan membawanya ke ruang BK.

Beberapa langkah sebelum melewati kerumunan, suara familier itu terdengar oleh Sagala. "Kakaknya Sagala kan ngasih suntikan dana di sini, enggak mungkin dihukum 'kan? Apalagi tuh cowok satunya anak Pak Suntoyo. Kayaknya enggak bakal ada yang dihukum deh."

Sagala segera mendekati suara tersebut dan menyentil dahinya pelan. "Benerin dulu bacaan lo, Dis. Gue pernah hampir dikeluarin sekolah gara-gara enggak sopan," balas Sagala masih sempat tersenyum kepada Gendis yang ia tahu tabiat pacarnya yang suka membaca di aplikasi, bukan buku fisik.

"Hah? Serius lo, Gal?" tanya Gendis tidak percaya. Jadi selama ini bacaannya salah?

"Gue saksinya," balas Favian sedikit berlari mendekati Sagala untuk menuntunnya ke ruang BK. "Lo masih sanggup, Gal? Ke UKS dulu mau?"

"Enggak usah. Cuma nyeri doang kok. Nanti lo yang nyetir ya. Tungguin gue," ucap Sagala memberikan kunci mobilnya pada Favian.

"Masalah kecil aja sampai dibawa ke ruang BK. Dasar keras kepala," batin Sagala menyesali perbuatannya yang tidak minta maaf tadi.

Sagala duduk di kursi BK sambil memegangi perutnya yang masih sakit. "Bapak memang tidak lihat dari awal kejadian, tetapi bapak dengar dari salah satu saksi yang melihat. Ada yang mau menjelaskan permasalahannya?"

Mereka berdua terdiam, tetapi karena tidak ada suara yang terdengar akhirnya Sagala mencoba untuk menceritakan. Entah kenapa tangannya sekarang gemetar. Ia takut harus dikeluarkan dari sekolah ini.

"Baik, Sagala boleh pulang sekarang," putus Pak Adi bersamaan dengan Sagala yang mulai berdiri. "Perutnya enggak papa 'kan, Gal?" tanya Pak Adi yang melihat tangan Sagala sedikit gemetar.

"Enggak papa kok, Pak," balas Sagala yang mengerti arah pandang Pak Adi menyembunyikan tangan di belakang badan. "Terima kasih, Pak. Saya izin pulang." Sejak kejadian waktu itu Sagala sedikit merasa takut dan mulai sopan lagi terhadap guru, tetapi untuk bolos sekolah mungkin ia belum jera.

"Pulang, Yan," ucap Sagala sedikit lesu karena belum sepenuhnya mengontrol diri. Hari ini ia merasa dipermainkan oleh keadaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top