1 | Dasar Gula

Langkah-langkah percaya diri, mulai memenuhi SMP Negeri 22 Yogyakarta. Pagi yang disambut awan mendung, tidak memundurkan niat untuk memulai ujian Asesmen Standarisasi Pendidikan Daerah (ASPD). Udara dingin, juga tak dapat membuat nyali mereka ciut. Bahkan saat ini, senyum bahagia masih terlihat sempurna.

Tak terkecuali murid tampan ini. Pandora Sagala. Sesuai namanya, Sagala terkenal tidak memiliki kekurangan. Lengkap.

Karena kesempurnaannya itu, banyak murid yang iri dan tergila-gila untuk memilikinya. Namun, hanya satu yang beruntung, yaitu Gendis. Gadis manis seperti gula yang dapat menarik hati Sagala.

Hubungan mereka sudah berjalan selama satu tahun lebih. Dengan waktu yang lumayan lama Sagala sudah lumayan mengenal Gendis walaupun tidak dengan keluarganya. Namun, Gendis sendiri belum sepenuhnya mengetahui Sagala. Hingga rentan masalah kecil bisa menjadi perdebatan yang panjang.

Saat ini pukul tujuh empat puluh lima pagi, bel belum berbunyi, tetapi seluruh siswa sudah masuk ke ruangannya masing-masing. Suara yang keluar, hanya suara diskusi dan penjelasan matematika dari video Youtube. Tidak ada suara canda tawa seperti biasanya. Semua serba serius.

Tak terasa, waktu hanya tersisa lima menit sebelum bel, tetapi Sagala masih berkutat dengan pelajarannya. Sedangkan yang lain sudah bersiap tanpa benda apa pun di meja.

"Gal, udah masukkin bukunya," pinta Gendis bergayut manja di sebelah Sagala.

Walaupun setiap meja terdiri dari satu orang, tanpa ada guru apa pun bisa dilakukan.

Sagala tersenyum menengok ke arah Gendis. Ia terlihat tidak risih atas perlakuan pacarnya yang manja. Padahal ada beberapa pasang mata yang memandangnya tak suka. "Bentar, dikit lagi aja ya."

"Yaudah kalau gitu, tapi nanti kasih contekan ya?"

"Iya," jawab Sagala singkat bersamaan dengan memudarnya senyuman.

Lima menit berlalu, bel juga sudah berbunyi, menginstruksikan untuk seluruh siswa menuju ruang komputer. Setiap meja, terdapat satu komputer. Hal itu membuat jarak antara Sagala dan Gendis sedikit jauh.

Namun, mereka berdua telah memiliki rencana. Sagala memberi contekan dengan cara maju untuk izin ke kamar mandi dengan memberikan kertas jawaban untuk pacarnya. Beruntung, paket soal mereka sama, maka soal dan jawaban pasti akan sama juga.

Kini ujian telah dimulai. Sepuluh menit sebelum bel berbunyi untuk menandakan ujian selesai, Sagala sudah menyiapkan diri ke toilet. Wajah cemas Gendis juga berkali-kali memandangnya. Sagala menginstruksikan untuk tenang.

Ketika Sagala sudah benar-benar pergi ke toilet, Gendis segera menyalin jawaban pacarnya ke komputer yang baru terisi setengah. Ia berkali-kali menengok ke bawah dan komputernya bergantian hingga lupa tidak memandang pengawas yang sedang melihat gerak-geriknya.

Akhirnya setelah merasa benar mencurigakan, pengawas tersebut mendatangi meja Gendis. Sedangkan Gendis sama sekali tidak memperhatikan. Padahal jika memasang telinga, pasti langkah orang akan terdengar walau pelan.

Tetap berdiri selama dua menit di belakang Gendis, ia yakin bahwa siswi ini sedang mencotek jawaban dari temannya. Baru saja Sagala kembali dari toilet, ia sudah melihat pemandangan yang sedikit tidak mengenakkan. Apalagi jantungnya berdetak dengan kencang ketika kertas yang ia beri masih berada di tangan Gendis.

"Kamu dapat contekan dari mana?" tanya pengawas memutuskan untuk menegur Gendis dengan raut wajah tegas.

Kini semua pasang mata tertuju padanya. Mereka terlalu kepo sampai tidak peduli akan soal di komputer yang menunggu untuk diselesaikan. Bahkan tak sedikit yang sudah memposisikan kepala agar nyaman memperhatikan perdebatan itu.

Gendis gelagapan dibuatnya. Ia spontan meremas kertas tersebut hingga kusut. "Enggak ada, Bu. Saya cuma menyalin jawaban saya dari komputer," jawab Gendis mencoba tidak terbata-bata.

"Buat apa?"

"Buat koreksi sama teman aja, Bu."

"Masa iya buat koreksi sama temen. Dari tadi ibu lihat kamu nengok ke bawah, terus ke komputer," ucap guru tersebut membuat Gendis berpikir untuk mencari alasan. "Atau jangan-jangan kamu mau ngasih jawaban untuk sesi kedua?" kilah pengawas tersebut menyudutkan Gendis kembali. Tidak salah jika pengawas berpikir seperti itu. Pasalnya saat siang nanti masih ada sesi kedua yang ujian, karena lab komputer terbatas dua ruangan.

Sedangkan Sagala hanya memandang bingung sekaligus takut akan ketahuan telah memberikan contekan pada pacarnya. Ia bahkan sampai lupa harus mengecek kembali jawaban di komputer agar memiliki nilai sempurna seperti harapan papanya. 

"Enggak kok, Bu. Temen saya ujiannya di sesi ini juga. Enggak mungkin saya memberikan jawaban ini begitu saja," jawab Gendis memandang mata guru tersebut untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak berbohong. Padahal yang sebenarnya terjadi tidak begitu.

"Kertas ibu ambil. Kamu fokus sama ujian saja. Tidak ada yang perlu dicatat," putus pengawas telak mengambil kertas Gendis dan kembali ke meja pengawas.

Gendis mengurut pelan dahinya. "Sialan, punya pengawas gini amat. Gimana nasib gue," batin Gendis menggerutu kesal.

Sagala yang memperhatikan kegaduhan tersebut, menghela napas lega. "Untung aja tuh bocah pinter ngelesnya. Kalau enggak, habis gue," monolog Sagala pelan mencoba mengatur detak jantungnya yang tidak keruan.

Bel selesai ujian berbunyi, semua murid sudah keluar dari ruang komputer. Gendis yang juga sudah selesai langsung merangkul tangan Sagala dan menggerutu padanya. "Ih, kesel banget deh. Padahal kurang dua sepuluh nomor aja loh, eh keburu diambil. Gimana nasib gue nanti kalau begini."

Refleks Sagala melepaskan rangkulan gadisnya tersebut. "Ya untung lo pinter ngeles, kalau enggak udah dibawa ke ruang BK. Kalau sampai ke ruang BK, mampus kita berdua," ucap Sagala pelan dengan beberapa tekanan pada ucapannya.

"Ya maaf, gue kurang hati-hati. Tapi besok gue pasti hati-hati kok."

"Lo yakin gue bakal kasih jawaban lagi ke lo?" tanya Sagala berhenti melangkah dan memandang gadisnya lekat.

"Ya kenapa enggak?" tanya Gendis balik, tak terima.

"Setelah kejadian tadi lo kira gue enggak introspeksi? Lo mikir bodoh!" jelas Sagala menyelentik kepala Gendis dengan telunjuknya pelan.

Setelah itu Sagala segera mempercepat jalannya untuk mengambil tas yang berada di kelas, lalu segera pulang.

Gendis yang putus asa mencoba menyejajarkan langkah Sagala yang besar, tetapi tidak bisa. "Gal, kok gitu sih," rajuknya tak lagi mengikuti langkah pria dengan tinggi 170 sentimeter itu.

Sampai keesokan harinya, Sagala masih merajuk dengan gadisnya itu. Walau masalah kecil, tetapi akan berujung fatal jika dibawa ke ruang BK. Imagenya akan hancur sebagai murid tercerdas kedua seangkatan. Hanya demi pacarnya.

Bahkan setiap Gendis mendekatinya, lelaki ini akan langsung pergi ke kelas sang sahabat. Seakan Gendis seperti psikopat, yang siapa saja akan menjauh dari hadapannya.

Pulang bareng gue, cepet ke parkiran. Udah ada Kakak gue di sana. Enggak pakai lama!

Pesan sudah terkirim ke sahabatnya. Sagala berjalan dengan tergesa berharap Gendis tidak mengikutinya lagi.

"Apaan sih?! Lo dadakan banget. Kalau mau ngajak bareng ya bilang dari pagi. Gue bawa motor soalnya," cerca Favian kesal ketika sudah memasuki mobil bmw berwarna merah milih Viktor—Kakak Sagala.

Viktor yang berada di depan, langsung membalikkan wajah ke arah dua lelaki itu. "Emang kenapa lagi, Gal? Gue liat dari tadi lo buru-buru banget jalannya."

"Nggak."

"Itu tuh kemaren si Gendis hampir ketauan nyontek Gala," balas Favian yang sudah tahu kejadian sebenarnya.

Sontak Viktor terkejut mendengarnya. "Lo nyontekin pacar lo, Gal?!" tanya Viktor menaikkan nada suaranya.

"Iya," balas Sagala singkat.

"Emang secantik apa sih pacar lo sampai lo rela nyontekin dia? Se berarti apa sih dia buat lo, Gal?" tanya Viktor yang memang hanya mengetahui Favian sebagai sahabat Sagala sejak SD. Untuk teman apalagi pacar adiknya, ia tidak mengetahui.

"Cantiknya lumayan. Cuma kalau berarti, gue enggak ngerasa. Gue cuma kasihan aja karena dia selalu ngejar gue dari kelas tujuh," ucap Sagala jujur membenarkan rambutnya yang berantakan.

"Terus alasan lo mau nyontekin dia apa?" tanya Viktor kemudian mulai menjalankan mobil.

"Bukannya itu tanggung jawab sebagai pacar ya, Kak? Harus ngasih segalanya buat si cewek." Favian yang sejak tadi diam tetiba terkekeh pelan mendengar jawaban sahabatnya. Ia tidak mengerti kalau murid secerdas Sagala bisa bodoh juga.

"Ya enggak gitu. Kalau lo memang enggak mau kasih jawaban, ya tinggal tolak. Enggak segalanya harus lo kasih. Semua ada batasan, Gal," ucap Favian sambil tersenyum di balik kemudinya. "Terus kenapa lo bisa sampai marah gitu ke cewek lo?"

"Soalnya hampir ketauan kemaren. Kalau ketauan kan mampus gue. Selain image gue hancur pasti papa marahin gue juga," ucap Sagala menghadap ke depan. "Kak, lo jangan cepu lho ya," ucap Sagala takut kakaknya memberitahukan hal ini pada sang papa yang ingin anaknya perfect dalam segala hal.

Viktor yang sudah mulai menjalankan mobil pun hanya mengangguk pasrah. Entah harus bagaimana lagi menasihati adik satu-satunya itu. Berkali-kali ia peringatkan, tetap tidak Sagala jalankan. Ia sudah cukup lelah untuk mengurus adiknya, belum lagi perusahaan yang hampir setengahnya ia pegang.

"Terus gimana motor lo, Yan?" tanya Viktor dengan pandangan masih tertuju ke jalan.

"Nanti gue titipin ke pak satpam," jawab Favian santai sembari bermain ponsel miliknya.

"Terus besok lo berangkat pakai apa?"

Tanpa berpikir, Favian langsung menjawab pertanyaan kakak dari sahabatnya ini. "Taksi atau ojol kayaknya, Kak."

Belum sempat Viktor memberi balasan, Sagala sudah menceletuk, mendahului. "Kak, ke kafe biasa ya."

"Ke resto Viga?"

"Nggak! Gue kan bilangnya kafe, bukan resto. Lagian itu kan resto papa," jawab Sagala cepat. Ia tidak suka berada di tempat itu, banyak asap. Wajar saja, karena dapur di sana terbuka.

"Okay, pulang jam berapa? Tapi gue enggak bisa jemput ya. Masih ada kerjaan."

"Ngapain tanya kalau enggak bisa jemput," sewot Sagala tak acuh memandang ke jendela samping.

Viktor tidak menjawab, matanya sangat fokus ke depan. Entah ia dengar atau tidak perkataan Sagala barusan.

Sepuluh menit kemudian, mereka sudah tiba di kafe tersebut. Meninggalkan Viktor yang akan melanjutkan kerjanya.

"Papa lo jam segini di rumah, Gal?" Keduanya sudah duduk santai dengan berbagai makanan di meja. Ada juga yang sudah tersisa setengah.

Kini, mereka sedang melakukan permainan seperti biasanya. Memutar pena untuk menentukan pelaku yang akan memainkan truth or dare. Target untuk dare hanya boleh di sekitaran kafe. Tidak untuk lainnya apalagi ditunda.

"Hm."

Favian mengangguk-angguk mengerti. "Yes bolpen ngarahnya ke lo. Mau truth or dare?" tanya Favian kegirangan. Karena dari awal permainan Favian selalu kena. Namun, ia memilih truth, cari aman.

"Dare," balas Sagala datar sembari bermain ponsel.

"Ok. Lo yang minta ya. Tuh ada cewek cantik pakai baju ungu, samperin terus tanya namanya."

"Tanya nama doang 'kan?" tanya Sagala dengan harap cemas.

"Kalau bisa sekalian nomor hp." Senyum licik terlihat di wajah Favian. Ia yakin ini tidak mudah bagi Sagala yang notabenenya kutu buku.

"Okey." Sagala sedikit ragu, tetapi ini sudah konsekuensi. Seharusnya ia tidak memilih dare tadi.

Sagala mulai beranjak dari duduknya, mendekati gadis yang ditunjuk Vian. "Hai. Boleh kenalan enggak? Lo cantik," ucap Sagala spontan sembari mengulurkan tangan untuk berjabat.

"Siapa? Gue?" tanya salah satu teman wanita cantik itu.

"Bukan. Temen lo yang baju ungu," ralat Sagala tersenyum untuk mencairkan suasana.

"Gue?" tanya wanita yang dimaksud. Akhirnya setelah bingung sebentar, ia baru sadar.

Sagala mengangguk untuk memberi jawaban.

"Fabiola Ezara." Ia tidak membalas jabatan Sagala, melainkan menyatukan kedua tangannya sebagai balasan.

Sagala yang kikuk langsung menurunkan tangannya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pergi kembali ke Favian.

"Puas lo ketawa?" kesal Sagala menyeruput kopinya yang sudah agak dingin.

Setelah berhenti tertawa, Favian kembali ke topik semula. "Siapa namanya?"

"Fabiola Ezara."

Favian mengangguk. "Nama yang bagus."

💐💐💐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top