1. Kejutan di Hari Pertama
Happy Reading
*****
Menyapukan blush on sebagai sentuhan terakhir pada make up-nya, Bunga Annisa Rukmantara tersenyum puas. Setelah enam tahun bergelung dengan kesedihan. Kini waktunya dia bangkit.
Enam tahun silam, dia terusir dari tanah kelahirannya.
"Bapakmu itu panutan kami, jika sampai anak gadisnya hamil tanpa adanya suami sungguh sangat memalukan. Untuk apa dia mengajarkan norma serta syariat pada anak-anak kami jika mendidik anaknya sendiri menjadi baik tidak bisa," ucap salah satu tetangga yang malam itu berada di rumah Bunga dengan seluruh warga termasuk ketua RT.
Berbondong-bondong para tetangga menyerang Bunga yang saat itu tengah hamil delapan bulan agar keluar dari desanya. Kehamilan anak guru gaji itu merupakan aib bagi warga desa yang masih menjunjung tinggi adat dan norma. Mereka bahkan tak segan menyeret Bunga beserta orang tuanya untuk segera meninggalkan desa.
Sang perempuan meneteskan air mata ketika mengingat semuanya.
"Unda, cantik banget, sih. Mau ke mana?" tanya seorang bocah dengan rambut lurus sedikit gondrong. Bocah itu mampu membuyarkan semua kenangan pahit Bunga beberapa tahun belakangan.
"Sayang, kamu lupa apa yang Bunda katakan semalam. Besok, Fatih sudah mendaftar sekolah dan semua itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Jadi, hari ini bunda harus datang ke kantornya Tante Shaqina jika ingin uang yang cukup banyak untuk biaya sekolah. Bunda nggak bisa bekerja dari rumah lagi." Perempuan berjilbab itu mengelus puncak kepala sang putra.
"Oh," ucap bocah berumur lima tahun yang bernama Fatih Rukmantara Prayoga. "Terus aku ke sekolahnya sama siapa, Unda?"
"Sama Nenek, Sayang. Unda yang antar, pulangnya juga Unda yang jemput. Tapi, yang nemeni di sekolah nenek."
"Hmm." Tangan Fatih bersedekap dengan mata berputar seperti orang dewasa yang sedang memikirkan masalah berat. "Oke, deh."
"Anak baik dan pintar. Sore nanti pengen dibawain apa?" Mengelus rambut, satu-satunya buah hati yang paling berharga dalam hidup Bunga.
"Fatih nggak minta apa pun, Nda. Unda pulang tepat waktu sudah cukup, kok."
Bunga kembali terenyuh dengan sikap dewasa putranya. Mencium sekali lagi sebelum berangkat. Selesai menutup mahkota kepalanya, perempuan itu memanggil sang ibu.
"Ya, Nak," sahut wanita dengan keriput yang mulai jelas terlihat. Meski enam tahun ini hidupnya selalu diliputi kesedihan sejak kematian sang suami, dia tetap menampilkan senyum terbaik di depan putri semata wayangnya.
"Bunga mau berangkat sekarang, Bu. Semua uang untuk keperluan Fatih ada di laci. Ibu ambil saja misal dia mau minta jajan. Bunga usahakan pulang nggak terlalu sore," kata perempuan berjilbab yang kini siap berangkat bekerja.
"Iya, Nduk. Kamu hati-hati, ya. Jangan buat kesalahan pas mendesain baju pesanan pelanggan-pelanggan butiknya Shaqina." Tangannya terulur supaya dicium putri semata wayangnya.
Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu.
"Sepertinya, taksi online yang Bunga pesan sudah datang. Aku berangkat dulu, ya, Bu." Mencium pipi sang ibu kanan dan kiri. Setelahnya, Bunga meninggalkan rumah kontrakannya.
Tepat pukul delapan, Bunga sudah sampai di depan sebuah butik dengan brand nama pemiliknya sendiri. Langkah perempuan itu mantap memasuki butik. Beberapa pegawai yang berjaga di depan menyapa dan tersenyum.
"Assalamualaikum, Mbak. Tumben, nih. Pagi-pagi sudah ke butik?" kata salah satu karyawan dengan rambut lurus, panjang sebahu.
Bunga tersenyum dan menjawab. "Big bos minta aku datang tiap hari sekarang, Mbak. Kalau nggak dituruti bisa kena PHK aku."
"Ehem."
Suara dehaman terdengar di belakang Bunga.
"Orang yang dimaksud sudah ada di sini. Jangan berani-beraninya menggosip, ya." Jilbab pashmina modern yang dililitkan ke bagian leher serta setelan tunik dan kulot tampak elegan dipakai oleh wanita itu. Dialah Shaqina, sahabat Bunga ketika SMA dulu sekaligus perempuan yang telah membantu kesulitan-kesulitannya selama beberapa tahun ke belakang.
"Cantik banget big bos satu ini," ucap Bunga. Mendekat dan merangkul sang sahabat agar tidak marah.
"Karyawan tidak boleh merayu bosnya, ya." Shaqina pura-pura marah.
"Oke, aku nggak akan merayu Bu Bos lagi," ucap Bunga. Kemudian dia menjabat tangan sahabatnya dan mencium pipi kanan kiri. Salah satu karyawan yang menyapa Bunga tadi tersenyum melihat keakraban keduanya. Dalam hati, memuji sifat baik dan ramah si bos cantik.
"Ke ruanganku, ya," pinta Shaqina.
Menganggukkan kepala, Bunga segera mengikuti langkah sahabatnya. Sesampainya di sebuah ruangan bernuansa baby pink dengan taburan bunga di dindingnya, Shaqina meletakkan tasnya sembarangan. Duduk bersandar dengan kaki Kakan menimpa kaki kiri, dia menghela napas lelah.
"Kenapa, Bu?" tanya Bunga penasaran.
"Capek tau ngurus pelanggan satu ini."
"Siapa, sih?" Bunga meletakkan tangan kanannya di dagu atas meja. "Perempuan yang waktu itu pesen gaun untuk acara ulang tahun pernikahannya?"
"Aku nggak tahu. Kan, selama ini aku belum pernah bertemu dengan para pelanggan yang memesan gaun di butik ini. Kamu lupa, kalau aku bekerja di balik layar?"
Shaqina menepuk keningnya sendiri. "Sorry, aku lupa karena baru mendapat telpon dari pelanggan itu."
"Banyak-banyak istighfar, deh. Supaya sabarmu ditambah untuk menghadapinya."
"Oke, Sayang. Kamu memang sahabat terbaik. Selalu mengingatkan tentang kebaikan." Shaqina mencolek dagu sahabat itu.
"Idih, geli," kata Bunga, "udah ah, galaunya. Ruanganku di mana, nih?"
Sekali lagi, Shaqina menepuk keningnya. Saking gugup dan khawatir memikirkan pertemuan dengan pelanggan butiknya yang cerewet itu.
"Ruangannya di sini aja, sih. Kita berbagi aja. Aku tidak bisa jauh-jauh darimu."
Bunga mengamati ruangan Shaqina sekarang. Hanya, ada satu meja dan kursi untuk bekerja.
"Tenang, bentar lagi ada yang ngirim meja supaya kamu nyaman kerjanya dan menghasilkan desain baju yang disukai para pelangganku." Seperti mengerti kebingungan sahabatnya gadis berjilbab itu berkata demikian.
"Oke, deh. Sekarang, apa yang harus aku kerjakan," kata Bunga. Tidak mungkin dia berdiam diri di butik, sedangkan niatnya adalah bekerja.
"Kita tunggu pelanggan itu. Setelahnya baru kerjakan pesanan yang diminta olehnya. Mereka sedang dalam perjalanan ke sini."
"Baiklah. Aku ke pantry dulu, mau bikin kopi. Kamu mau?" Bunga berdiri dan membenarkan gamisnya.
"Boleh, deh."
Tangan Bunga sudah mencapai gagang pintu, tetapi sebuah ketukan menginterupsinya. Segera saja, perempuan berjilbab itu memutar kenop setelah menengok pada Shaqina.
Pintu terbuka, wajah perempuan berambut panjang hampir sepinggang dengan model bergelombang di bagian bawah terlihat. Bunga menatap takjub perempuan di depannya itu. Kulit putih bersih dengan body mirip model papa atas membuat Bunga mendongakkan kepala ketika akan menyapa.
"Boleh saya masuk?" tanya perempuan yang belum dikenal oleh Bunga. Nadanya terdengar meremehkan. "Ditanya bukannya jawab malah bengong."
"Boleh, Bu. Silakan masuk," jawab Bunga terbata.
Menggeser posisi supaya perempuan itu masuk, jantung Bunga berlompatan melihat sosok di belakang perempuan itu.
Sosok yang membuat jantung Bunga berlompatan, hanya melewatinya tanpa menyapa atau menanyakan kabar. Diam mematung ketika sosok itu berjalan, Bunga dikejutkan dengan sapaan seorang perempuan paruh baya.
"Di mana menantu saya tadi?" tanyanya pada Bunga.
Jari jempol Bunga menunjuk ruangan Shaqina kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Perkataan si perempuan paruh baya itu terngiang-ngiang.
"Jadi, dia sudah beristri?" gumam Bunga antara sadar dan tidak.
*****
Love you all,
Banyuwangi, 1 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top