4 - Seminggu
21 Desember 2019
(Name) berkedip tidak percaya, menatap laki-laki yang berada di depan apartemennya.
"Apa yang kau lakukan di sini ...?"
Laki-laki itu hanya membuang pandangannya. (Name) yang mendapat respons tersebut hanya bisa terkekeh sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar.
"Di luar pasti dingin, kan? Ayo masuk dulu," ucap (Name), "akan kusiapkan teh hangat untukmu, Samatoki."
"Tidak perlu, aku hanya sebentar di sini," jawab Samatoki.
"Tapi tidak salahnya mampir sebentar, kan—uhuk!"
Ucapan (Name) terpotong oleh suara batuknya, dan (Name) sendiri spontan mengangkat tangan guna menutup mulutnya. Irisnya melebar saat mengenali rasa khas darah di lidahnya, dan rasa panik menyerang dirinya.
'Dari semua hari, kenapa harus hari ini? Di depan Samatoki?' pikir (Name) mengerutkan alis tak senang.
Tangan (Name) yang bebas kemudian terangkat, sebuah tanda untuk Samatoki menunggu sejenak. Setelah itu (Name) berlari menuju kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, (Name) langsung mencuci tangan dan mulutnya. (Name) kemudian menyadari bahwa darahnya menyebar di sekitar wastafel.
"Ah, aku harus mencuci wastafel—"
"Sakitmu sudah separah itu, rupanya."
(Name) tersentak kaget lalu menoleh ke belakangnya, mendapati Samatoki sedang bersandar di pintu kamar mandi.
"Samatoki—"
"Masih ada sedikit darah di mulutmu," potong Samatoki mendekati (Name), mengambil handuk terdekat lalu mengusapnya ke sudut bibir (Name).
'Ah, aku bersyukur batuk kali ini tidak disertai kelopak bunga,' pikir (Name).
"Aku bisa sendiri," gumam (Name) menyambar handuk dari tangan Samatoki, "terima kasih, Samatoki."
Samatoki hanya bergumam panjang.
"Mana Sasara?"
"Dia kerja di luar Osaka sampai tahun baru," jawab (Name) kemudian melempar handuk yang sudah dipenuhi darah ke keranjang pakaian kotor, "apa kau mencari Sasara?"
Samatoki kembali bergumam panjang, berjalan keluar dari kamar mandi. Dari sudut hati terdalam (Name), dia merasa kecewa.
'Berhentilah berharap, semua pada akhirnya hanya akan berakhir dengan aku melukai diriku sendiri.'
"Sebenarnya ...."
"Ya?" (Name) mengangkat kepalanya, melihat Samatoki berhenti berjalan.
"Aku ada urusan di Osaka selama seminggu."
Mulut (Name) terbuka, namun dengan cepat dia menutupnya kembali.
Dia tidak boleh berharap.
Samatoki membenci dirinya.
Beruntung dia adalah seorang perempuan, oleh karena itu dia masih bernapas hingga detik ini.
Jika dia seorang laki-laki, mungkin dia sudah mati di hari itu.
"Begitu ya?" gumam (Name).
"Aku tidak mengenal siapa pun di Osaka, kecuali kalian berdua," sahut Samatoki, "aku benci mengatakan ini—tapi aku perlu bantuanmu, (Name)."
Tapi bolehkah dia sedikit egois?
"Bantuan?"
"Ya, antar aku ke beberapa tempat selama seminggu ini, atau tunjukkan saja tempat-tempat yang akan kutuju."
Sedikit saja.
"Mhm," (Name) tersenyum jahil, "tapi ada bayarannya loh~"
"Tidak aku sangka kau mata duitan, (Name)."
Jika dia tidak bisa membuat Samatoki jatuh hati padanya.
"Aku tidak minta uang!" protes (Name) mengembungkan kedua pipinya, "aku punya banyak uang, asal kau tahu."
"Oh, ralat ucapanku kalau begitu—kau orang yang pelit rupanya."
(Name) menghela napas panjang, kemudian menunduk.
Setidaknya ....
"Aku tidak minta yang banyak," sahut (Name) tertawa pelan, "cukup satu saja."
(Name) mengangkat kepalanya, menatap Samatoki yang juga sedang menatapnya—sepertinya dia menunggu apa yang akan (Name) ucapkan.
"Setelah membantumu, bisakah kau tidak membenciku lagi?"
... saat dia mati tahun depan, dia tahu Samatoki tidak lagi membencinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top