16 - Penjelasan
15 April 2020
"(Name), kami pergi keluar untuk merokok dulu."
"Eh—oke," sahut (Name) melihat Sasara dan Samatoki keluar dari ruangannya.
(Name) memandang pintu yang sudah mereka tutup, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke pangkuannya, menatap piring berisi apel yang dikupas menjadi bentuk kelinci. Setelah menusuk satu potong dengan garpu, (Name) kemudian memakannya sambil menatap keluar jendela ruang inapnya.
"Apa Mama tidak bosan di rumah sakit terus?"
(Name) yang sedang asyik memakan apel menoleh ke sumber suara, melihat Eito yang sedang berusaha mengupaskan apel untuknya. Ekspresi (Name) berubah sendu sejenak sebelum akhirnya tersenyum lebar.
"Sebenarnya Mama bosan, tapi karena di rumah sakit enak, jadinya Mama betah," jawab (Name), "lagi pula ada kalian yang tiap hari datang ke sini, kan?"
Seperti yang (Name) katakan, semenjak dua minggu yang lalu anak-anak dari panti asuhannya datang menjenguk (Name).
Tentu saja yang mengantar jemput mereka adalah Samatoki.
"Benar juga," gumam Eito selesai memotong apelnya menjadi seperti kelinci, "Ma! Ayo dimakan!"
(Name) terkekeh pelan, melihat tumpukan apelnya semakin banyak.
"Kalau begitu Mama ingin keluar sebentar," sahut (Name) meletakkan piring apel itu di atas nakas kemudian menurunkan kakinya, "Mama ingin meminta Sasara membelikan minuman kesukaan Mama."
"Eh, aku bisa mencari Kak Sasara!" sahut Eito.
(Name) menggeleng, lalu menepuk kepala Eito.
"Mama ingin jalan-jalan juga," ucap (Name), "jika ada dokter atau perawat yang datang kemari, bilang saja Mama sedang jalan-jalan di taman rumah sakit, ok?"
Eito berkedip beberapa kali, lalu langsung melakukan pose hormat.
"Siap!"
(Name) tersenyum, dan akhirnya turun dari kasur dan melangkah keluar dari ruangannya—mencari keberadaan Sasara.
[][][]
'Jika mereka bilang ingin merokok, harusnya mereka ada di sekitar sini,' pikir (Name) berjalan di taman rumah sakit, berjalan menuju pojok taman tempat khusus untuk para perokok.
Samar terdengar suara Sasara dan Samatoki, membuat (Name) mempercepat langkahnya, dan hendak menyapa mereka sampai—
"Sasara, penyakit (Name) bukan sekedar batuk biasa, kan?"
—ucapan Samatoki membuat (Name) berhenti.
Mengingat tempat khusus perokok berada di belakang rumah sakit, membuat keberadaan (Name) yang masih berada di samping rumah sakit tidak terlihat oleh mereka berdua.
'Kenapa Samatoki bertanya seperti itu?' pikir (Name) bersandar di gedung rumah sakit—diam-diam terkekeh, 'ah klise sekali, menguping pembicaraan orang dengan posisi seperti ini.'
"Kenapa kau berpikiran seperti itu?" suara Sasara sukses membuat (Name) kembali fokus pada mereka berdua.
"Aku hanya bertanya, karena aku melihat sesuatu yang aneh saat (Name) pingsan bulan lalu."
"Aneh? Untuk penyakit (Name), normal baginya untuk batuk darah—"
"Kelopak bunga."
Iris (Name) melebar, detak jantungnya mulai meningkat.
'Dia melihatnya?'
"Kelopak bunga? Apa kau tidak salah lihat, Samatoki?"
"Aku tidak tahu! Maksudku, aku hanya melihatnya saat dia pingsan—tapi aku tidak yakin apa itu benar kelopak bunga, karena dia dipenuhi oleh darah (Name), dan aku masih fokus untuk menyelamatkannya."
"Lalu sejak saat itu apakah kau pernah melihat (Name) batuk mengeluarkan kelopak bunga?"
"Tidak ...."
(Name) mengerutkan alisnya, tampak sebelah tangannya terangkat untuk meremas bagian depan baju rumah sakitnya—bagian paru-parunya berada.
'Itu karena aku jarang batuk di depanmu,' pikir (Name).
"Jadi kesimpulannya kau hanya salah lihat~"
Menyadari bahwa mereka sudah selesai dengan topik barusan, (Name) segera melangkah menuju mereka berdua—agar mereka tidak tahu bahwa (Name) sudah berada di sana dari tadi.
"Oh, sudah kuduga kalian ada di sini," ucap (Name) meletakkan kedua tangannya di pinggang, "aku mencari kalian."
"Apa yang kau lakukan di sini, (Name)?" tanya Sasara sambil membuang rokoknya di tempat sampah, begitu juga dengan Samatoki.
"Eito mengupaskanku apel," jawab (Name), "jadi aku ingin kau membelikanku minuman kesukaanku."
"Lagi?" heran Sasara.
"Biar aku saja yang membelikannya," ucap Samatoki tiba-tiba.
"Eh?"
"Sasara, kau antar saja (Name) kembali ke kamarnya," ucap Samatoki berjalan melewati (Name)—tak lupa menepuk kepala sang perempuan, "dan kau—jangan ke tempat yang bisa memicu penyakitmu, bodoh."
(Name) hanya terkekeh, lalu melambai pada Samatoki.
"Cepat kembali, aku ingin minumanku segera."
"Iya-iya."
Setelah melihat Samatoki menghilang dari pandangannya, dari sudut mata (Name) melihat Sasara.
"Jadi, kau tetap berencana untuk tidak memberitahu Samatoki? Bahkan jika kau secara teori sudah sembuh?"
(Name) tertawa canggung.
"Ketahuan, ya?"
"Timing-mu terlalu tepat, (Name)," sahut Sasara mulai menemani (Name) untuk kembali ke ruangannya, "jika memang kau tidak mendengar pembicaraan kami, harusnya responsmu 'apa yang kau bicarakan' bukan 'ketahuan, ya?' jadi aku mengambil kesimpulan kau memang mendengar pembicaraan kami."
(Name) hanya tersenyum canggung—merasa bersalah.
"Lalu, sejauh mana kau dengar?" tanya Sasara.
"Di saat Samatoki bilang penyakit batukku bukan penyakit biasa," jawab (Name).
"Ah, dari sana ya?" gumam Sasara, "jadi? Tetap pada pendirian awal?"
Langkah (Name) berhenti.
"Aku tahu Samatoki berhak mengetahuinya—dilihat dari betapa banyaknya masalah yang kubuat melibatkan dirinya," ucap (Name) mengepalkan sebelah tangannya, "tapi faktor utama penyakitku ini juga adalah dirinya."
Sasara hanya menghela napas, lalu meraih tangan (Name) untuk menarik sang perempuan kembali berjalan.
"Baiklah-baiklah, aku tidak akan mengungkit masalah ini—berhentilah menangis, kau membuatku merasa bersalah, (Name)."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top