10 - Amerika

6 Januari 2020

"Kau ingin waktu sendiri?" tanya Naruhiko menatap (Name).

Sementara sang perempuan hanya mengangguk singkat. Di tangannya terlihat (Name) sedang memegang ponselnya. (Name) menutup matanya sejenak, lalu tersenyum kecil.

"Aku ingin memastikan hal terakhir, agar aku yakin dengan pilihanku."

Naruhiko terdiam beberapa saat, dan akhirnya dia menghela napas panjang lalu berdiri dari kursi yang berada di dekat kasur, kursi yang dia duduki. Setelah itu Naruhiko berjalan menuju pintu keluar ruang inap (Name).

"Kalau begitu aku akan mengurus berkas terakhir dan administrasi perawatanmu. Panggil aku jika ada perlu," sahut Naruhiko sambil mengangkat sebelah tangannya yang memegang ponsel.

(Name) mengangguk, lalu pintu pun ditutup, menyisakan (Name) sendiri di ruangan itu. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya (Name) menyalakan ponselnya dan menekan beberapa tombol, lalu menelepon seseorang.

Dering pertama.

Dering kedua.

Dering ketiga.

"Halo?"

"Samatoki? Apa kau tahu siapa aku?" tanya (Name) tersenyum lebar, mencoba mengubah suaranya.

"Berhenti bermain-main (Name), ada apa memanggilku?"

"Oh? Kau mengenal suaraku? Sassuga Samatoki-sama!" puji (Name) dengan suaranya yang normal, terkekeh pelan.

"Aku tidak akan mengangkat panggilan sembarangan, kau tahu itu."

Tawa (Name) seketika berhenti, ekspresi kaget terlukis di wajahnya.

"Kau ... tidak menghapus kontakku?"

"Aku bukan tipe orang yang membuang segalanya jika hubunganku berakhir, tidak seperti seseorang yang kukenal."

(Name) hanya tersenyum canggung, walaupun dia tahu Samatoki tidak melihatnya.

"Jadi?"

"Huh?"

"Jangan 'huh?' padaku. Ada apa memanggilku? Apa kau hanya ingin bermain-main?"

"Ah—" seketika (Name) menggeleng kuat, "—tentu saja tidak! Ada beberapa hal yang ingin kukatakan padamu."

"Apa?"

"Pertama, aku minta maaf," ucap (Name), "aku tidak kaget jika kau—"

"Kenapa kau minta maaf?"

Ucapan (Name) terpotong oleh pertanyaan Samatoki. (Name) terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menjadi panik menyadari kesalahannya.

"Ah, maksudku aku minta maaf untuk dua bulan terakhir, sepertinya aku merepotkanmu. Aku tidak bermaksud minta maaf karena kejadian waktu itu—"

"Jika itu yang kau maksud, aku tidak merasa kerepotan. Jangan repot minta maaf untuk hal kecil seperti ini lagi."

(Name) hanya terkekeh.

'Suasananya jadi canggung.'

"Tapi tidak hanya itu yang ingin kuucapkan padamu," sahut (Name) beralih ke topik selanjutnya, "selain itu aku juga minta maaf perihal tahun baru," (Name) mengerutkan alisnya, "aku—sedang tidak stabil saat itu."

Tidak ada balasan dari Samatoki, membuat (Name) mengira bahwa sang laki-laki memutuskan panggilannya secara sepihak. Namun saat (Name) melihat layar ponselnya, panggilan mereka masih berlangsung hingga (Name) kembali menempelkan ponselnya ke telinganya dengan cepat.

"Tapi aku tidak menyesal mengembalikan semua barang pemberianmu."

"Kenapa?"

(Name) menarik napas panjang, sebelum akhirnya tersenyum.

"Karena aku menyayangi barang-barang pemberianmu, Samatoki."

(Name) langsung terbatuk-batuk, dan tangannya yang bebas spontan menutup mulut.

'Benar, ucapanku tadi terdengar seperti pernyataan perasaan,' pikir (Name).

"Oi, (Name)—"

"Oleh karena itu!" potong (Name), "aku mengembalikannya padamu, Samatoki, karena aku takut—"

'Tekadku akan goyah, dan aku berakhir memilih untuk mati ketimbang melupakan rasa cinta ini.'

"—untuk membuangnya sendiri."

Tangan (Name) yang menutup mulutnya perlahan menjauh, dan (Name) melihat kelopak bunga yang sangat dia kenali, berwarna biru, berpadu dengan merahnya darah. (Name) tersenyum sedih, kemudian tangannya meremas kelopak bunga itu.

"Terserah padamu ingin melakukan apa pada dua barang itu," sahut (Name), "tapi tolong jangan beritahu aku. Setidaknya aku ingin berpikir kalau barang pemberianmu aman berada di tanganmu."

Hening untuk beberapa saat.

"... baiklah."

(Name) menghela napas lega.

"Terima kasih, Samatoki."

"Apa hanya itu?"

"Iya—oh, aku ingin memberitahumu satu hal lagi," sahut (Name) memandang genggaman tangannya yang penuh darah.

"Apa itu?"

"Aku akan ke Amerika untuk mengobati penyakitku."

Kembali hening.

"Begitu ya?"

"Mhm—kalau begitu, sudah ya Samatoki."

"Ya."

Panggilan (Name) akhiri, dan saat dia melihat layar ponselnya, (Name) menyadari bahwa air mata mengalir di pipinya. (Name) mengambil tisu yang ada di nakas sebelah kasurnya, lalu melap wajah, mulut serta tangannya. Setelah itu (Name) kembali menekan beberapa tombol di ponselnya, kembali memanggil seseorang.

Dering pertama.

"Halo?"

"Ini aku," sahut (Name), "bagaimana keadaan panti asuhan, Hoshi-san?"

"Oh, Nona (Surname)! Keadaan kami baik-baik saja. Terima kasih sudah menghawatirkan keadaan kami."

"Syukurlah kalau begitu," sahut (Name) menutup matanya.

"Hoshi-nee! Apa itu Mama!?"

"Mama?"

"Mama!!"

"Kami ingin bicara dengan Mama!"

"Mama! Kapan pulang ke sini? Kami rindu!"

"Mama!"

(Name) terkekeh.

"Bilang pada mereka, aku akan mengunjungi mereka, mungkin bulan depan," sahut (Name), "bilang bahwa kali ini aku akan membawa hadiah yang banyak untuk mereka."

"Baik, Nona (Surname)."

Panggilan kembali diakhiri. (Name) menghela napas panjang kemudian meletakkan ponselnya ke nakas.

"(Name)? Apa kau sudah selesai?"

Pintu ruangan (Name) terbuka, menampilkan Naruhiko.

"Mhm," sahut (Name) tersenyum.

Naruhiko mengerutkan alis saat melihat tisu penuh darah berada di sebelah (Name), namun memilih untuk tidak berkomentar.

"Lalu?" sahut Naruhiko, "kau sudah bisa pulang hari ini. Apa yang akan kau lakukan?"

(Name) melirik ke arah tisunya tadi, sebelum akhirnya menoleh ke arah Naruhiko.

"Ayo temui konsulerku, aku berencana ke Amerika untuk mengoperasi hanahaki ini."

.

.

.

End of Arc 1

.

.

.

Coming Soon
Arc 2: February 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top