Prologue

Hanahaki, penyakit misterius yang muncul pasca Perang Dunia Ketiga, adalah penyakit yang membuat penderitanya mengalami gejala utama yaitu muntah darah. Namun bukan sekedar muntah darah, penderitanya juga akan memuntahkan kelopak bunga karena paru-parunya dipenuhi oleh kelopak bunga, dan kebanyakan mereka hanya akan bertahan hidup dalam kurun waktu satu tahun.

Begitu mematikan, namun di saat bersamaan terdengar begitu indah.

Hanahaki dianggap penyakit misterius karena belum ada risiko yang jelas untuk mengidap penyakit ini, juga pengobatan terbaiknya. Bertahun-tahun seluruh dunia meneliti penyakit ini, namun mereka baru menemukan sedikit informasi seperti orang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan akan mengalami Hanahaki, dan penyembuhan permanen mereka adalah cinta yang berbalas, atau operasi paru-paru dengan efek samping kehilangan ingatan.

Pilihannya hanya dua, mati dengan perasaan tak berbalas atau hidup tanpa bisa mengingat orang itu.

***

Panggilan Sasara tidak diangkat untuk ketiga kalinya, dan itu membuatnya mempercepat langkahnya.

"Astaga," laki-laki berambut hijau itu hanya bisa mengacak rambutnya gusar sebelum kembali menekan ponselnya untuk memanggil orang yang sama, "kumohon angkatlah panggilanku, [name]."

Langkah kaki Sasara terhenti saat panggilannya diangkat.

"Halo?"

"Akhirnya, [name] di—" Sasara menghentikan dirinya guna menarik napas panjang dan menenangkan dirinya, "bisakah kau memberitahuku di mana kau berada sekarang?"

Hening, namun Sasara dapat mendengar suara angin dan menyadari Rain tidak akan menjawabnya dalam waktu dekat, dirinya kembali angkat bicara.

"Apa kau sedang berada di pelabuhan Yokohama?"

"Mhm."

"Aku akan ke sana, jangan pergi ke mana-mana."

"Mhm."

Panggilan dimatikan dari seberang sana, membuat Sasara segera memasukkan ponselnya ke dalam saku bajunya dan bergegas menuju pelabuhan Yokohama. Tidak perlu waktu lama untuk Sasara sampai di sana karena posisinya saat menelepon [name] memang berada di sekitar pelabuhan. Begitu melihat perempuan yang dia cari sedang duduk di salah satu tepi pelabuhan, Sasara segera memanggil namanya guna menarik perhatiannya.

"Kau ... kau bisa masuk angin jika berdiam lebih lama di sini, [name]."

"Sasara."

Sasara yang baru melepaskan jaketnya dan meletakkannya di bahu [name], menatap sang perempuan dengan datar. Dari ekspresi [name] sendiri, Sasara sudah tahu apa yang akan diucapkan oleh sang perempuan. Dari make-up yang berantakan juga ekspresi lesu sang perempuan.

"Aku ...," [name] menggigit bagian bawah bibirnya untuk menahan tangis yang akan keluar walaupun air matanya sudah berlinang di pelupuk matanya, "uh, Samatoki dan aku ..., kami—"

Namun ucapan [name] segera terpotong oleh batuk, yang membuat tangan kanannya spontan memegang mulutnya. Sasara yang melihat itu segera memegang pundak [name].

"Kenapa tidak bilang kalau kau sakit," komentar Sasara mengerutkan alisnya, "aku pasti akan melarangmu pergi ke Yokohama sekarang," bisiknya mengusap punggung sang perempuan.

[name] sendiri hanya tertawa hambar—yang diselingi oleh batuknya—sebelum akhirnya menatap Sasara dengan ekspresi sendunya, karena sang laki-laki dapat melihat iris matanya yang menunjukkan kesedihan yang jelas.

"Aku tidak sakit," ucap [name], "dan kau tahu aku sendiri harus pergi kesini hari ini, apa pun yang terjadi."

"Dan lihat kondisimu sekarang," balas Sasara menggeleng.

"Ini hanya batuk biasa," sahut [name] menarik tangannya menjauh.

Namun [name] dan juga Sasara dikejutkan oleh darah yang menggenang di telapak tangannya.

"Apanya yang tidak sakit?" tanya Sasara panik.

[name] sendiri tampak tidak mendengarkan Sasara, karena perhatiannya tertuju pada telapak tangannya.

Sebuah kelopak bunga.

"Sasara," panggil [name] menarik perhatian Sasara, "sepertinya... hidupku hanya tersisa satu tahun."

Itulah yang [name] ucapkan, sebelum dirinya jatuh tak sadarkan diri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top