Teman Baru Atau Masalah?

Kamu sudah bersiap pagi itu dengan baju rapi. Kaos berkerah dan celana khaki selutut. Ransel sudah ada di punggungnya.

Sari menyiapkan nasi goreng untuk mereka sarapan.

“Hari ini, Paman akan mendaftarkanmu. Nanti pulang sekolah akan kujemput lagi. Bibi Amira akan ikut karena kami akan ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya,” papar Laut untuk jadwal mereka hari ini.

“Memangnya aku akan langsung sekolah?” tanya Kamu.

“Sepertinya iya. Karena mereka sudah merespons email tinggal pemberkasan,” kata Laut menunjukkan percakapan email pagi itu.

“Baiklah,” kata Kamu pasrah.

“Ingat, cucu Kakung harus bisa menyesuaikan diri, ya. Mungkin di sekolah akan banyak hal baru, tapi Kamu harus bisa mengekang diri,” pesan Darma.

Sari mengelus kepala cucunya itu dengan lembut. “Uti percaya, Kamu bisa menjalaninya,” kata Sari.

“Berat sekali bebanku,” keluh Kamu membuat semuanya tertawa.

Mereka kemudian menyusuri jalan. Jalanan Solo tak sepadat Jakarta. Tata kotanya pun sangat jelas.

“Paman, nanti kalau aku kesulitan beradaptasi, apa Paman bersedia membantuku?” Kamu menatap jalanan dari jendela.

“Bibi yakin Kamu bisa. Kamu kan anak yang cerdas dan pandai menyesuaikan diri,” kata Amira.

“Jika kamu kesulitan, kamu bisa bercerita kepadaku. Kita akan membahasnya,” kata Laut.

“Bahas. Paman ini memang kaku. Ini bukan kasus, Paman,” keluh Kamu membuat Amira tertawa.

Laut menggaruk kepalanya, baru kali ini dia berinteraksi lama dengan Kamu dan mulai kewalahan dengan tingkahnya yang spontan. Persis Diara.

“Ya, bagaimana, pamanmu ini memang terbiasa menggunakan kata baku, jadi ya pasti terlihat kaku,” kata Amira.

“Nah itu,” kata Laut membenarkan kata-kata Amira.

“Alasan. Bibi kok betah sama Paman?” tanya Kamu membuat Amira tertawa keras.

Pembicaraan mereka terhenti setelah sampai di Sekolah Kartika. Kamu turun dan melihat sekolah yang menariknya itu. Gedung-gedung kelas tak dibangun tinggi. Semuanya bangunan satu lantai dan satu sama lainnya dipisahkan oleh taman luas.

Mereka menuju ruang kepala sekolah. Setelah bertemu dengan petugas administrasi dan menyerahkan semua berkas, Laut akhirnya menyerahkan Kamu kepada wali kelas yang akan menjadi tempat Kamu.

“Saya titip Kamu, ya, Pak,” kata Laut kepada Bu Septia.

“Baik, Pak. Kami akan berusaha untuk saling memahami untuk selanjutnya,” kata Bu Septia.

“Kamu jangan berulah, oke?” pesan Amira.

Kamu mengangguk malas. Jangan berulah itu malah membuatnya bingung harus bagaimana.

“Baik, kami pamit dulu, Bu. Kamu, nanti kita jemput jam pulang sekolah ya,” kata Laut.

Kamu mengangguk dan mengikuti Bu Septia menuju kelasnya. Lorong sekolah yang panjang dan dibatasi taman serta pepohonan, lebih terlihat seperti sebuah hutan lindung.

“Selamat siang, anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru. Silakan perkenalkan dirimu,” kata Bu Spetia.

Kamu menatap semua murid yang memakai baju bebas sepertinya. Pandangannya menyapu dari sudut ke sudut.

“Selamat siang. Perkenalkan, namaku Kamu Oracio Senja. Aku pindahan dari Jakarta. Semoga kita bisa belajar bersama,” kata Kamu berbasa-basi.

“Selamat datang,” jawab mereka serempak.

“Mungkin nanti kalian bisa berkenalan langsung ya, sekarang Kamu duduk di sebelah sana,” kata Bu Septia sambil menunjuk kursi kosong di belakang.

Kamu menuju kursi itu dan duduk dengan tenang. Bu Septia mulai menerangkan beberapa hal tentang geografi.

Bel berbunyi, jadwal kelas selanjutnya akan dilangsungkan di luar ruangan karena tentang biologi. Kamu mengikuti kerumunan kelas yang menuju taman di belakang kelas. Taman yang berisi berbagai macam bunga dan pohon.

Ini pengalaman baru bagi Kamu, karena suasana kelas begitu menyenangkan. Walau dia sudah menghafal sebagian besar materi yang diterangkan, tapi gurunya bisa membangun suasana yang menyenangkan.

Saat jam istirahat, Kamu lebih memilih berkeliaran sendiri, berbekal dengan peta sekolah yang tadi didapatkannya dari Bu Septia.

Kamu tertegun saat melihat sekumpulan anak di sebelah laboratorium. Mereka sedang mengerumuni anak perempuan yang terduduk di lantai dan anak laki-laki yang berdiri pongah di depannya.

“Makanya kalau jalan hati-hati!” teriak anak laki-laki itu.

“Aku minta maaf,” desis anak perempuan yang ada di lantai.

Anak laki-laki itu menendang kaki si anak perempuan. “Hai, dia sudah minta maaf!” teriak salah satu teman anak perempuan itu.

“Jen, udah,” desis yang satunya.

“Diam, Rum. Dia keterlaluan, Rin bahkan sudah minta maaf, kenapa dia menendangnya?” kata anak yang dipanggil Jen itu ketus ke arah anak laki-laki pongah itu.

“Kamu berani melawanku?” teriak anak laki-laki itu.

“Memang kamu siapa? Kamu hanya seorang Dwika yang sombong!” teriak Jen tidak terima.

Anak laki-laki yang bernama Dwika itu melayangkan tangannya, tapi sebelum tangan itu sampai di tubuh Jen, Kamu menangkapnya.

Jen menatap anak laki-laki yang dengan berani menangkap tangan Dwika. Arum dengan cepat menarik Rin yang jatuh di lantai untuk menyingkir. Anak-anak lain yang bergerombol di depan kelas XI itu terkejut. Tatapan Dwika menyiratkan ketidkapercayaan.

“Siapa kamu?” Dwika memperhatikan anak laki-laki asing yang bukan murid di sekolahnya itu.

“Dwi, lepaskan!” teriak Jen bermaksud untuk melerai mereka.

Sama seperti Dwika, dia tertarik dengan anak laki-laki yang berani melawan Dwika si preman sekolahan.

“Kamu pengecut, hanya berani dengan anak gadis,” kata anak laki-laki itu membuat Dwika melotot.

Suasana di depan laboratorium semakin mencekam. Anak-anak lain menggelengkan kepala dengan keberanian itu. Selama ini siapa yang berani melawan Dwika? Jen menatap anak itu tak percaya. Ganteng, berani dan sepertinya tak takut mati. Seketika Jenab menggelengkan kepalanya. Ini bukan waktu yang tepat untuk mengagumi!

“Su-sudah,” kata Rin dengan gagap.

Anak itu melepaskan tangannya dari tangan Dwika dan berbalik pergi. Dwika melayangkan pukulannya dan seketika anak laki-laki itu mengelak dengan refleks, menangkap tangan Dwika dan membantingnya. Anak-anak menutup mulut mereka karena kaget dengan adegan itu.

Kamu menyesali gerakan refleknya. Dia sudah mengingkari janji untuk tidak berulah hari ini. “Jangan menyerang, aku sudah berjanji untuk menghindari masalah. Lupakan kejadian ini. Aku minta maaf,” kata Kamu sambil membungkuk dan kemudian pergi meninggalkan mereka yang tidak percaya dengan pendengaran mereka.

Jen kemudian bergabung dengan Arum dan Rin. “Siapa dia?” bisiknya. Kedua temannya menggeleng tidak tahu.

“Sepertinya anak baru,” jawab Arum sambil memandang punggung Kamu yang menjauh.

Rin menepuk-nepuk pantatnya yang kotor sambil ikut melihat anak baru itu. Sementara Dwika berdiri sambil mengepalkan tangannya tak percaya. Siapa dia berani sekali mengganggu kesenangan seorang Dwika?

Kamu menepuk dahinya saat menyadari bahwa dia sudah melanggar janji, dan mungkin membuat masalah. Sepanjang sisa kelasnya hari itu, pikiran Kamu sudah tak bisa berkonsentrasi.

Begitu kelas selesai, Kamu berjalan dengan cepat menuju gerbang penjemputan. Dia tak ingin bertemu dengan anak kelas lain tadi. Dia tak ingin menambah masalahnya hari ini.

“Bibi, boleh pinjam hape untuk telepon Ayah?” tanya Kamu begitu dia duduk di jok belakang mobil.

Amira menyerahkan ponselnya kepada Kamu. “Ayah, maafkan. Hari ini aku sudah melanggar janji. Tapi, tadi dia mengganggu anak perempuan itu, makanya aku melawannya,” lapor kamu penuh dengan nada penyesalan.

Laut dan Amira yang mendengarkan percakapan itu menghela napas panjang. Baru hari pertama sudah ada masalah, lalu bagaimana selanjutnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top