Pengamatan

Kamu turun dari mobil saat Dwika berdiri di gerbang sekolah, masih dengan gaya pongahnya.

“Paman, boleh turunkan Kamu di sebelah sana?” pinta Kamu.

Laut paham, karena anak yang kemarin berbicara dengan Kamu terlihat di gerbang. Laut memajukan mobilnya hingga jarak yang aman.

Setelah menyalami Laut, Kamu turun dan berusaha sembunyi di belakang siswa lain yang menuju gerbang.

Lalu matanya menangkap tiga gadis bawel yang kemarin membuntutinya. Kamu mempercepat langkahnya dan menjajari ketiganya.

“Kamu ngapain sik?” Jen kaget karena tiba-tiba Kamu sudah ada di dekatnya.

“Aku akan berteman dengan kalian, selama kalian bisa menyelamatkanku dari anak itu,” kata Kamu sambil melihat ke arah Dwika yang mencarinya.

“Dwika?” tanya Arum.

“Siapa pun dia. Aku tidak peduli, aku hanya tidak ingin terlibat masalah apa pun di sini,” kata Kamu.

“Oke deal. Kami akan melindungimu dari Dwika, tapi kamu harus mau jadi anggota kelompok kami,” tawar Jen membuat Kamu menatapnya tak percaya.

“Kenapa aku?” sergah Kamu tak suka.

“Kamu tidak punya daya tawar di sini, besok adalah perjalanan ke keraton. Pasti kita harus membuat kelompok dan kami kekurangan orang. Kamu, butuh kami agar Dwika tidak mendekatimu,” kata Jen yakin Kamu tidak akan menolak tawaran itu.

“Sial,” rutuk Kamu, tapi mau tak mau dia harus menerimanya agar bisa selamat dari Dwika.

“Deal?” tanya Jen memastikan.

“Deal,” kata Kamu pada akhirnya.

Mereka berjabat tangan sebagai tanda bahwa mereka akan bekerja sama. Rin mengangguk senang, sementara Arum mengacungkan jempolnya.

Mereka memasuki kelas masing-masing. Dwika yang pada akhirnya menemukan Kamu bersama Jen, mengepalkan tangannya geram.

Bagaimana bisa anak baru itu akrab dengan mereka. Apalagi anak itu bahkan sudah mempermalukannya kemarin.

“Kamu tahu anak baru itu?” tanya Dwika kepada salah seorang siswa di Kelas Biru, kelas Kamu.

“Oh, Kamu. Dia anak baru,” kata anak itu.

“Heh, siapa namanya?” desak Dwika.

“Kamu,” jawab anak itu lagi.

“Jangan bercanda, siapa namanya?” Dwika mulai kehabisan kesabaran.

“Kamu, namanya K-A-M-U, iya namanya itu.” Anak itu mulai ketakutan.

“Kamu? Namanya kamu?” Dwika tak percaya dengan pendengarannya.

“Iya.” Anak itu mengangguk dan pergi dari hadapan Dwika.

“Nama yang aneh. Cocok sih sama anaknya juga aneh,” gumam Dwika.

Kamu menatap pepohonan di luar kelas yang tertiup angin. Pelajaran demi pelajaran memasuki kepalanya tanpa mengendap di sana. Sebagian besar pelajaran sudah di bacanya di kala senggang.

Beruntung di sini dia tak harus terlihat aktif. Jadi dia aman dari cecaran guru-guru soal pelajaran. Di sini yang terpenting adalah, siswa bisa mengikuti pelajaran dengan gaya belajar masing-masing anak.

Jam istirahat Jen, Rin dan Arum sudah menunggu di depan pintu kelas. Kamu jengah sebenarnya, tapi dia bisa apa. Ini hanya satu-satunya cara agar dia terhindar dari masalah yang timbul jika dia berkonfrontasi dengan Dwika.

“Kamu mau ke kantin?” tanya Rin yang sudah kelaparan.

“Sebenarnya aku ingin ke perpustakaan, tapi baiklah, kita ke kantin,” kata Kamu menyerah pada tatapan memohon Rin.

Dia mengikuti ketiga gadis itu dengan berjalan di belakang mereka. Rasanya aneh saat dia akrab dengan anak lain dan bergaul dengan mereka sedemikian intens.

Anak-anak lain melihat mereka sambil berbisik-bisik. Mereka sebenarnya tidak heran kalau Kamu akrab dengan gerombolan Jen, karena mereka mungkin terikat dengan kejadian kapan hari.

“Kamu sudah keliling Solo?” tanya Arum setelah mereka duduk di kantin menghadap menu masing-masing.

“Belum. Aku baru di sini, jadi belum tahu bagaimana Solo.” Kamu menggigit roti isinya.

“Nanti setelah sekolah, kita mau ke Paragon. Kamu mau ikut? Kita mau ke toko buku,” tawar Rin.

“Nanti?” Kamu berpikir.

“Iya. Ada beberapa peralatan yang harus dibeli untuk besok ke keraton. Buku sketsaku habis,” kata Jen.

“Buat apa buku sketsa? Bukannya kita ke keraton hanya untuk belajar?” tanya Kamu.

“Biasanya akan ada beberapa tugas sesuai dengan ketertarikan kita saat open trip gitu. Kalau aku karena suka gambar jadi nanti tugasku gambar,” kata Jen menerangkan.

“Aku suka membuat artikel, jadi nanti biasanya aku yang menulis hasil dari open tripnya,” lanjut Rin.

“Aku, biasanya yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diberikan,” imbuh Arum.

“Karena Arum yang paling berlogika dari kami,” kata Jen menambahkan.

Kamu mengangguk-angguk mengerti. Sekolah ini ternyata seru. Bisa memberikan keleluasaan pada siswanya sesuai dengan ketertarikan masing-masing.

“Kamu suka apa?” tanya Rin membuat Kamu melongo.

“Aku, suka apa ya?” Kamu mulai menerawang.

Dia menyukai banyak hal, terutama ridle atau misteri. Namun, dia ingin mencoba satu hal. Membuat film pendek.

“Apakah kita boleh mempergunakan kamera? Untuk mengambil foto atau video dan dipresntasikan menjadi sebuah film pendek?” tanya Kamu antusias.

“Kayanya sih boleh, coba nanti tanya wali kelas. Soalnya belum pernah ada yang membuat seperti itu,” kata Jen sambil mengelap mulutnya yang berlepotan saus.

“Baiklah, nanti aku ikut kalian. Tapi aku harus ijin kepada pamanku terlebih dahulu,” kata Kamu.

“Telepon?” tanya Rin.

“Aku biasanya dijemput, jadi nanti bisa sekalian minta antar,” kata Kamu.

“Wah, kamu ternyata anak yang baik. Masih ingat untuk ijin sama orang tua,” kata Arum membuat Kamu mengerutkan dahinya.

“Memangnya, boleh gitu pergi tanpa pamit?” tanya Kamu polos.

Ketiganya terbahak-bahak mendengar pertanyaan itu. Ternyata Kamu adalah anak yang patuh kepada orang tua. Walau tampangnya tengil, ternyata dia anak baik.

“Biasanya anak laki-laki tidak begitu memedulikan hal-hal seperti itu,” kata Jen di sela tawanya.

“Ayah akan menghukumku jika aku tidak ijin. Mama akan mengomeliku dan menyuruhku membuat surat pernyataan,” keluh Kamu.

Ketiga gadis di depannya itu melongo. “Tidak mungkin!” pekik Arum.

“Apanya?” tanya Kamu bingung dengan wajah mereka bertiga.

“Aku jadi ingin mengenal keluargamu,” kata Jen membuat Kamu tersedak.

“Memangnya ada yang salah?” tanya Kamu masih bingung.

“Keluargamu pasti sangat perhatian, sekarang sangat jarang ada orang tua yang memperlakukan anak mereka seperti itu,” kata Arum.

“Oh itu. Dari kecil aku selalu diajari untuk sopan terhadap orang tua, selalu ijin dan menanyakan kepada mereka setiap hal yang akan kulakukan. Dan mereka juga akan menanyakan padaku hal yang mereka lakukan,” kata Kamu merasa biasa saja dengan keadaan itu.

“Wow! Sungguh, aku ingin mengenal kedua orang tuamu,” kata Jen.

“Mereka di Jakarta. Di sini aku tinggal bersama Kakung, Uti, Paman Laut dan Bibi Amira,” jawab Kamu polos.

“Di mana rumahmu?” tanya Rin.

“Di Jalan Kamboja,” jawab Kamu.

“Wah, kamu tahu dong rumah yang dulu katanya sempat diledakkan? Rumah seseorang yang katanya berpengaruh?” tanya Arum.

“Aku tidak tahu, aku juga baru beberapa hari di sini,” jawab Kamu membuat Arum terlihat kecewa.

“Aku sangat ingin tahu tentang rumah itu untuk tugas sejarah,” kata Arum berharap.

“Mungkin nanti bisa kutanyakan pada Kakung,” kata Kamu walau dia tak berjanji.

“Benarkah?” Arum terlihat sangat bersemangat.

“Jika aku ingat,” kata Kamu sambil berdiri.

Mereka kemudian berjalan menuju kelas masing-masing. Banyak rencana di kepala mereka tentang apa yang akan mereka lakukan besok saat di keraton.

Kamu sedang berpikir bagaimana meminta kamera untuk membuat tugas. Apa yang harus dia katakan pada Laut atau ayahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top