Obrolan Berat
Mereka sampai di rumah bergaya klasik itu. Rumah dengan halaman luas, pagar pendek tanpa gerbang, joglo di bagian depan sangat mencerminkan nuansa Jawa yang kental.
“Wow,” desis Jen, Arum dan Rin serempak.
“Ayo turun. Ceritanya kita lanjutkan setelah makan camilan,” kata Darma menggiring anak-anak itu masuk.
Di tahun sekarang, rumah bernuansa klasik seperti itu sudah jarang ditemukan. Kebanyakan orang-orang membangun rumah dengan gaya industrial atau minimalis.
Mereka berkumpul di ruang tengah, duduk di lantai beralaskan karpet tebal. Kamu meletakkan tasnya di kamar, dan membawa keluar kamera serta tabletnya.
Sari keluar membawa camilan yang tadi dia buat. Pisang goreng, nagasari dan teh. “Wah, sudah lama rumah tidak ramai seperti ini,” katanya membuat ketiga anak gadis itu menoleh dan menatapnya kagum.
Sari, walau terlihat tua, tapi kecantikan masih terpancar dari wajahnya. “Halo,” sapa ketiganya serempak.
“Halo anak-anak, panggil aku Uti Sari, saja, ya?” Sari menurunkan camilannya dan ikut duduk di dekat mereka.
“Saya Jen, ini Arum, dan itu Rin.” Jen memperkenalkan mereka.
“Wah, pada cantik-cantik gini. Nanti kalau Kamu nakal boleh ngadu sama Uti ya?” kata Sari membuat Kamu yqng baru keluar kamar mencebik.
“Kakung katanya mau meneruskan cerita?” tanya Kamu.
“Kalian, kan harus menyelesaikan tugas,” jawab Darma.
“Oke, setelah tugas selesai, nanti Kakung harus bercerita lagi. Aku akan membuat surat pernyataan tidak terima kepada Ayah ,” kata Kamu kesal.
Jen terkikik mendengarnya. Bahasa dan kata-kata yang Kamu katakan selalu baku dan terlihat kaku untuk anak seusianya. Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga yang begitu sistematis.
Mereka kemudian sibuk membuat tugas masing-masing. Sesekali mereka berdiskusi untuk mencocokkan semuanya. Darma dan Sari senang melihat interaksi mereka. Ada perasaan lega karena Kamu pada akhirnya bisa menyesuaikan diri dan mendapatkan teman yang bisa menerimanya.
“Oke, ini video akhirnya, apakah ada yang harus dikurangi?” Kamu memperlihatkan tabletnya.
“Udah bagus,” kata Arum.
Dia juga sudah menyelesaikan tugasnya. Jen masih berada di tahap akhir sketsa. Rin bahkan sudah mengunyah pisang goreng. Begitu Jen meletakkan pensil warnanya, maka semua tugas sudah terselesaikan. Mereka menatap Darma yang duduk bersila di dekat mereka.
“Baiklah, baiklah. Mari kita lanjutkan dongengnya,” kata Darma menyerah.
Sari tersenyum melihat keadaan itu. Rasanya menyenangkan saat banyak anak-anak di sekitar mereka. Kesepian berdua yang mereka rasakan menjadi hari-hari lampau yang tak perlu diingat.
“Tadi sampai mana?” tanya Darma.
“Sampai Ayah adalah pengacara yang membuat rumah ini diledakkan,” kata Kamu kesal.
“Ya begitu, jadi rumah ini diledakkan oleh wanita itu melalu orang suruhan. Beruntung Tuhan masih melindungi kami, seseorang datang di waktu yang tepat sebelum ledakan terjadi. Kami selamat,” lanjut Darma.
“Waktu itu, apakah Ayah dan Mama sudah menikah?” tanya Kamu penasaran.
“Belum. Mereka masih sebatas rekan karena sama-sama menjadi orang terdekat Napta,” imbuh Sari.
“Wah, cerita keluargamu ternyata seru,” kata Jen tak percaya.
“Coba kalian hidup sama mereka,” sergah Kamu.
Arum dan Rin tertawa. Mereka yang terlahir dari keluarga biasa, tentu saja tidak bisa membayangkan hal-hal yang hanya bisa mereka lihat dan baca di novel-novel. Sementara Jen masih tak habis pikir bahwa dia akan bertemu dengan orang yang dekat dengan idolanya. Napta Dwi Ludira.
“Terima kasih, Kung. Tugasku untuk sejarah bisa langsung aku kerjakan,” kata Arum bahagia.
“Apakah, Kakung mengenal Napta?” tanya Jen penasaran.
“Yang lebih mengenalnya sebenarnya, Laut,” jawab Darma.
“Paman Laut?” tanya Kamu lebih penasaran.
Dia pernah membaca tentang Napta Dwi Ludirq, pelukis muda yang mati di saat kariernya sedang menanjak, tapi dia tak pernah tahu bahwa dia sangat dekat dengan orang terkenal.
“Napta, adik Laut. Sepupu Glagah,” jawab Sari.
Keempat anak itu semakin melongo, terutama Kamu. Bagaimana bisa dia tidak tahu tentang silsilah keluarganya sendiri.
“Sebelumnya, aku harap kalian akan merahasiakan ini dan tidak membongkarnya jika memang tidak diperlukan. Kami bukan menutup diri, hanya mengantisipasi. Kami tidak ingin orang melihat kami sebagai orang asing,” tutur Darma.
Keempatnya mengangguk kompak.
“Siapa yang kenal Karya Prawirahardja?” tanya Darma.
“Aku! Dia adalah mantan menteri kebudayaan di tahun 2027 sampai dengan 2028,” kata Arum bersemangat. Dia sangat menyukai pelajaran sejarah.
“Benar. Dia adalah Ayah dari Laut dan Napta,” imbuh Sari.
“Kakek Karya? Dia tidak pernah menunjukkan hal itu, bahkan tidak ada foto atau petunjuk kalau Napta adalah adik dari Paman Laut,” sanggah Kamu.
“Karena Napta lebih memilih untuk menepi dan lepas dari Karya. Terlebih konflik keluarga yang mengakibatkan kami harus saling diam dan tidak berhubungan. Glagah bahkan tidak tahu hubungan darahnya dengan Laut atau Napta sebelum kejadian itu,” papar Darma.
“Napta dan Glagah bersahabat tanpa mengetahui mereka saudara,” timpal Sari.
“Seperti novel!” teriak Rin.
“Begitulah. Sampai pada akhirnya, kejadian itu membawa kami untuk bertemu dan bersama kembali. Wanita yang membeli lukisan Napta, yang meledakkan rumah ini, adalah adik dari Bintang Sriwedari. Gita Sriwedari,” lanjut Darma.
“Sebentar. Ini berkaitan dengan berita kematian kematian dari Bulan Sriwedari yang pada waktu itu menghebohkan Indonesia?” tanya Arum kaget.
Peristiwa besar itu berkaitan satu sama lain seolah berbenang merah.
“Benar. Rangkaian dari kematian Napta, kemudian mengungkap kematian Bulan di beberapa tahun sebelumnya, kemudian menjadi sebuah peristiwa kembalinya Bintang Sriwedari ke Indonesia setelah lama menetap di luar negeri.” Darma menambahkan informasi yang malah membuat keempat anak itu semakin tak habis pikir.
“Ingat kata Kakung, ya. Jaga cerita ini untuk kalian. Terutama, jangan sampai orang lain tahu tentang masa lalu itu walau berita di luar sana mudah dicari. Namun, kami tidak pernah muncul ke permukaan. Kecuali Glagah dan Bintang,” imbuh Sari.
“Baik,” jawab keempatnya serempak.
“Sudah sore, Kakung antar kalian pulang,” kata Darma kemudian berdiri.
“Kami bisa pulang naik bus, Kung,” kata Jen tak enak.
“Oh, tidak bisa. Jika main sama cucu Kakung, maka pulangnya Kakung harus memastikan kalian pulang dengan selamat,” sergah Darma.
“Kamu ganti baju,” kata Kamu lalu masuk ke kamarnya.
“Ayo dihabiskan dulu camilannya.” Sari menyorongkan piring ke arah mereka.
Mereka kemudian menyusuri jalanan Solo. Darma yang sudah lama tidak melakukan aktivitas mengantar anak-anak merasakan kebahagiaan tersendiri.
“Hari Minggu, jika kalian mau, kita bisa berjalan-jalan. Mungkin ke Tawangmangu?” tawar Darma.
“Wah, apakah boleh?” tanya Jen antusias.
“Tentu saja boleh, sepertinya Glagah akan datang,” kata Darma.
“Nanti aku akan meminta ijin terlebih dahulu kepada Ayah dan Ibu,” kata Rin.
Arum mengangguk setuju.
“Nanti Kakung yang akan memintakan ijin, bagaimana? Sekalian kan perkenalan.” Darma mengedipkan matanya.
“Wah, apakah tidak merepotkan?” tanya Jen sungkan.
“Apanya yang repot. Sudah sewajarnya aku meminta ijin kepada orang tua kalian,” papar Darma.
Ketiganya bersorak kecil di jok belakang. Kamu hanya bisa mendesah. Ketiga teman barunya itu memang sangat insist dan mereka sangat mudah akrab dengan orang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top