Kepergian

Kamu berdiam di kamar. Bersedih karena keputusan orang tuanya, mengirimnya ke Solo? Yang benar saja.
[Kakung, kalau Kamu pindah ke Solo. Apa Kakung akan menerima Kamu?] Kamu mengirim pesan ke Kakungnya. Berharap mendapat penolakan.

[Lho, Cah Bagus, cucu Kakung yang paling ganteng. Kakung sama Uti akan bahagia kalau Kamu mau tinggal bareng di Solo.] Balas Darma, Kakek yang dia panggil Kakung itu.

Mereka pasti bersekongkol, Kamu masih tak bisa menerima semua itu.

Pintu kamar diketuk. Dengan enggan dia membuka pintu. Lalu menghambur senang karena seseorang yang menjadi favoritnya, selain ayahnya, berdiri di depannya.

“Paman Laut!” Kamu memeluk pamannya tersebut dengan bahagia.
Berharap pamannya tersebut akan memberinya dukungan.

“Hm ... keponakan Paman hari ini membuat ulah apalagi?” tanya Laut seraya mengusap rambut Kamu dengan sayang.

“Ayah dan Mama pasti sudah mengadu,” desis Kamu.

“Boleh Paman masuk?” tanya Laut yang seketika membuat Kamu menyingkir dari pintu dan membiarkan Laut masuk ke kamarnya.

Laut duduk di ceruk jendela besar dan mengisyaratkan kepada Kamu untuk duduk di sampingnya.

“Lagi sedih ya? Jangan sedih. Ayah dan mamamu pasti melakukan hal itu untuk kebaikanmu. Kabar gembiranya adalah, Paman juga akan berada di Solo untuk beberapa waktu. Ada hal yang harus Paman urus di sana. Jadi, Kamu tidak akan sendirian,” kata Laut membuat Kamu tak percaya.

“Lalu? Bibi Amira?” tanya Kamu.

“Bibi juga ikut dong, nanti siapa yang akan masak buat Paman kalau Bibi Amira tak ikut?” Laut tersenyum hangat kepada Kamu.

“Tapi, Paman ingin kamu berjanji satu hal. Kamu, harus menurut apa kata Paman, Bibi Amira, atau Kakung dan Uti.” Laut melihat anggukan semangat dari Kamu.

“Jadi kamu setuju?” tanya Laut meyakinkan.

“Baik.” Kamu sudah membulatkan tekad untuk menerima hukuman dari kedua orang tuanya itu.

“Kalau begitu, Paman pamit. Besok, ayahmu akan mengurus kepindahan dari sekolah lamamu. Mungkin, Hari Sabtu kita bisa berangkat ke Solo,” kata Laut sambil mengelus kepala Kamu.

Sepeninggal Laut, Kamu merebahkan dirinya di kasur. Membayangkan apa yang akan dia lakukan di Solo. Kota kecil asal ayahnya itu sama sekali tak menarik baginya.

“Dia sudah setuju,” kata Laut begitu turun dan mendapati Glagah dan Diara sudah menunggu di ruang keluarga, bersama Amira, istrinya.

“Terima kasih Mas. Padahal rencana ini baru saja terpikirkan. Tidak menyangka ternyata Mas Laut malah sudah berencana ke sana juga,” kata Diara.

“Aku juga mendadak. Amira memerlukan waktu dan tempat untuk beristirahat demi kesehatannya.” Laut menggenggam tangan Amira lembut.

“Sebentar, maksudmu Mbak Amira sedang hamil?” tanya Glagah.

Amira menatap Laut dengan teduh.

“Astaga, Mbak. Selamat,” kata Diara seraya menghambur ke arah Amira dan memeluknya.

“Ada masalahkah dengan kehamilannya?” tanya Glagah penasaran dengan keputusan Laut.

“Dia hanya tak boleh banyak bekerja dan stres. Sementara kalau di sini, dia tak akan bisa melepaskan dirinya dari perusahaan. Kalian tahu betapa tinggi dedikasinya kan?” kata Laut membuat Amira tersipu.

“Benar, kalian berdua itu workaholic, harus jauh biar bisa istirahat. Aku setuju,” kata Diara sambil mengelus perut Amira.

“Tapi, tolong jangan kaget dengan ulah Kamu nanti ya,” kata Glagah membuat Amira tersenyum.

“We will try. Siapa yang tidak pusing dengan ulahnya dari kecil kan?” kata Amira disepakati oleh Laut.

Mereka berempat tertawa. Kamu memang terkenal tak bisa diam sedari kecil. Entah gen siapa yang paling berperan, tapi sepertinya energinya selalu berlebih dan tak kehabisan akal untuk membuat orang dewasa di sekitarnya kelimpungan.

Pagi itu Kamu sudah siap di depan meja makan. Glagah hari ini cuti tak masuk kantor, urusan Prana Jiwo sudah dia limpahkan kepada Laut. Beruntung tidak ada kasus berat. Dia harus menyelesaikan kepindahan Kamu.

“Hari ini, Ayah hanya minta kamu bersikap baik. Jangan membantah biar urusan kita di sekolah cepat selesai. Deal?” tanya Glagah membuat Kamu mengangguk lesu.

Urusan diam itu, urusan paling susah untuk dilakukan. Dia tak akan betah menunggui ayahnya mengurus administrasi sekolah. Tapi juga tak akan bisa berkeliaran di sekolah.

“Mama tahu kamu pasti bosan. Tapi tolong, untuk hari ini, bersikap manis?” Tatapan memohon dari Diara yang tak pernah bisa Kamu abaikan.

Glagah menyetir mobil mereka ke Sekolah Harapan Kita.

“Kamu tahu kenapa Ayah menyuruhmu ke Solo?” tanya Glagah berusaha mengorek pendapat Kamu tentang hal itu.

“Biar aku tahu bagaimana mengekang diri,” desah Kamu tak bersemangat, apa energinya akan habis bila dia berdiam diri?

“Bisa?” tanya Glagah.

“Harus kan?” Kamu menoleh tak percaya ke arah Glagah yang meliriknya.

“Berusahalah. Kamu bisa meneleponku bila nanti ada masalah. Jangan beritahu mamamu,” kata Glagah seraya mengerlingkan matanya.

“Ayah mengajakku bermain petak umpet sama Mama?” decih Kamu tak percaya.

“Kadang, ada pemikiran yang wanita tak akan paham,” kata Glagah membuat Kamu mencibir.

“Aku akan mengatakan ini pada Mama.” Kamu tersenyum licik.

“Uang jajanmu aku stop,” ancam Glagah balik membuat Kamu mencebik.

“Pakai terus ancaman stop uang jajan. Aku akan kerja part time sama Paman biar dapat uang,” sungut Kamu membuat Glagah tertawa.

“Lakukan, Mas Laut akan senang ada pesuruh,” kata Glagah.

Mereka sampai di sekolah. Kamu menyandang tasnya mengikuti Glagah menuju kantor. Pak Marsudi sudah menunggu mereka.

“Selamat pagi Pak Glagah,” sapa Pak Marsudi sambil menyalami Glagah.

“Pagi, Pak. Maaf sudah merepotkan Bapak,” kata Glagah sambil melirik Kamu yang menundukkan kepalanya sambil merutuk dalam hati.

“Mari duduk.” Pak Marsudi mempersilahkan Glagah dan Kamu duduk.

“Begini, Pak. Saya akan memindahkan Kamu ke Solo. Kebetulan pamannya bersedia menjaganya di sana. Hari ini saya ingin mengurus semua administrasinya,” kata Glagah membuat Pak Marsudi entah harus lega atau sedih karena murid yang menjuarai Olimpiade dan mengharumkan nama sekolah itu akan pergi.

“Kalau itu keputusan Pak Glagah, kami tak akan mempersulit. Kami akan mengurusnya. Untuk berkas akan kami kirimkan melalu email seperti biasa. Paling lambat besok. Karena mungkin pengumpulan data akan memerlukan sedikit waktu,” kata Pak Marsudi.

“Baik, Pak. Terima kasih sudah mempermudah urusan kami. Dan maaf kalau selama ini Kamu sudah menyulitkan,” kata Glagah.

Lalu dia menyolek Kamu yang acuh tak acuh.

“Maafkan Kamu, Pak.” Kamu dengan enggan mengatakannya.

“Kamu harus lebih baik di sekolah nantinya. Jangan buat para guru pusing,” kata Pak Marsudi membuat Kamu jengah.

Urusan mereka lancar di sekolah. Karena prestasi Kamu, maka proses administrasi juga tak dipersulit. Kamu memandangi sekolahnya dengan perasaan aneh. Walau dia tak punya banyak teman, setidaknya di sana dia belajar banyak hal, ya walaupun cenderung membosankan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top