Hari Keberangkatan
Hari keberangkatan Kamu bersama Laut dan Amira ke Solo tiba. Kamu sudah sangat uring-uringan beberapa hari ini, mengetahui dia harus meninggalkan Mamanya, terlebih ayahnya. Walau ayahnya sering membuat dia kesal, dia tetap manusia paling dia kagumi.
Ayahnya yang sudah mengajarkannya bagaimana bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya. Belajar bagaimana mengakui salah dan benar. Mamanya yang mengajarinya untuk berlaku spontan, berlaku sebagaimana mestinya seorang mengatakan apa yang harus dikatakan.
Suara klakson membuyarkan lamunan Kamu. Glagah membuka pintu. Terlihat mobil Laut sudah berada di halaman.
“Ingat percakapan kita? Kamu boleh menelepon kami kapan pun,” kata Glagah sambil memeluk Kamu yang mengendong ranselnya. Dia tak tega sebenarnya melepas anaknya itu.
“Mama akan merindukanmu,” desis Diara sambil berusaha menahan air matanya.
“Dih, sok-sokan mengusirku, padahal kalian saja tak bisa jauh dariku,” ledek Kamu membuat Glagah dan Diara menghela napas mereka. Ingin mengomel kok ya ini perpisahan, tidak diomeli kok ya anaknya jadi tidak sopan.
“Pokoknya, mama akan meneleponmu setiap dua jam,” kata Diara gemas.
“Dih, aku harus sekolah, jangan mengganggu,” sergah Kamu membuat Diara memeluknya erat.
Sungguh, sejak Kamu lahir, ini perpisahan pertama mereka. Diara masih tak sanggup melepasnya.
“Ayah, cegah istrimu agar tak menggila,” kata Kamu membuat Diara menghujaninya dengan ciuman.
“Mama,” kata Kamu risih. Dia sudah besar.
“Mas, titip dia ya,” kata Glagah kepada Laut yang menunggu drama perpisahan itu.
“Aku bukan barang,” elak Kamu membuat Glagah ingin mengurungnya saja di rumah.
“Kami berangkat. Akan kukabari setelah sampai di Solo,” kata Laut.
Mereka memeluk satu sama lain. Diara menangis di pelukan Glagah. Menguatkan dirinya saat mobil Laut menjauh.
“Dia akan baik-baik saja kan?” tanya Diara pada Glagah yang mengangguk tak yakin juga.
Mereka hanya bisa berdoa Kamu akan baik-baik saja, tak membuat masalah dan menjadi anak manis.
“Perjalanan kita akan panjang, kamu sudah membawa bukumu?” tanya Amira kepada Kamu yang duduk di jok belakang.
Kamu mengeluarkan buku ridle dan teka-tekinya. Lalu menunjukkan semuanya kepada Amira yang tersenyum.
“Aku akan mengirimkan beberapa ridle melalui chat, kerjakan nanti kita bahas selama perjalanan,” lanjut Amira membuat Kamu bersemangat.
Amira mengirimkan beberapa cerita ridle kepada Kamu. Membuat Kamu kemudian sibuk membacanya.
Kamu akan diam mengerjakan semua teka-teki dan ridle. Hal yang membuatnya bisa duduk tenang dan berpikir.
Laut melirik melalui kaca spion dan tersenyum saat Kamu sudah terlihat menekuni beberapa cerita yang Amira kirimkan.
“Bibi, ini aku sudah pernah,” protes Kamu beberapa saat kemudian.
Mobil sudah melaju di jalan tol. 496,84 Km, jarak yang akan mereka tempuh, sangat panjang dan melelahkan.
“Skip, lanjutkan yang lain,” pungkas Laut membuat Kamu diam.
Laut selalu tegas dan Kamu enggan membantah bila pamannya itu sudah bicara. Bantahan hanya akan membawa mereka ke perdebatan, yang Kamu tahu akan kalah.
Sepanjang jalan mereka berdiskusi tentang cerita-cerita baru yang Amira kirimkan. Kamu belajar untuk menyelesaikan setiap ridle dalam cerita sambil mencerna pola pikir Laut dan Amira.
Laut yang sigap dan cermat saat mengambil keputusan, terkadang membuat Kamu melongo dalam ketepatannya menebak setiap ridle.
Setelah lelah, Kamu tertidur di jok belakang.
“Apakah nanti, anak kita akan seperti dia?” tanya Amira membuat kepala Laut pening seketika.
Amira tertawa melihat Laut mengernyitkan dahinya.
“Apakah masa kecilmu juga seperti dia?” tebak Amira.
“Aku anak manis, lebih suka diam. Energiku tak berlebihan,” elak Laut.
“Katamu,” sela Amira sambil tertawa.
“Paman, aku lapar,” keluh Kamu membuat Laut menoleh.
“Kita cari rest area dulu,” jelas Laut membuat Kamu kembali memejamkan matanya.
“Begini rasanya punya anak,” kata Laut semakin membuat Amira tertawa.
“Sehat-sehat ya. Nak. Nanti main sama Kak Kamu.” Amira mengelus perutnya yang masih terlihat datar.
Laut membelokkan mobil ke rest area terdekat. Ada restoran siap saji yang bisa jadi pilihan. Beruntung Kamu bukan pemilih soal makanan.
“Ka, bangun,” kata Laut sambil menepuk pipi Kamu lembut.
Kamu mengerjapkan matanya, lalu bangkit dan melihat sekeliling.
“Kita makan dulu, beberapa jam lagi kita sampai di Solo,” kata Laut sambil memegang pintu mobil.
Laut menutup pintu begitu Kamu melangkah keluar dan bergelayut di tangan Amira. Kantuk masih menyerangnya.
Kamu kemudian memesan dua menu untuk dirinya sendiri. Dia tak pernah mengeluh soal makanan. Baginya semua makanan itu enak.
Amira menelepon Diara, dia melakukan panggilan video. Memperlihatkan Kamu yang tak acuh karena sedang melahap makanannya.
“Dia kelaparan,” kata Amira membuat Diara tersenyum. Antara merindukan anak semata wayangnya dan geli karena Kamu makan seolah seperti sudah lama tak diberi makan.
“Pelan-pelan, Ka.” Laut menyodorkan minum saat Kamu tersedak.
“Aku bosan, Paman. Apakah masih lama?” tanya Kamu sambil mengedarkan pandangnya, dan melihat Diara di layar ponsel Amira.
“Apakah, Mama kangen?” ledek Kamu membuat Diara mencibir.
“Kamu jangan nakal,” pesan Diara sambil menahan air matanya.
“Cengeng.” Kamu semakin menggoda Diara.
Kini Glagah ikut terlihat di layar. Dia masih berada di kantor.
“Ayah ngapain sik? Sana kerja aja,” usir Kamu masih kesal dengan keputusan Glagah yang mengirimnya ke Solo.
“Kamu gak kangen?” Kali ini Glagah yang menggoda Kamu.
Bintang terlihat di layar, menggantikan Diara.
“Paman Bintang!” seru Kamu membuat Bintang melambaikan tangannya.
“Mamamu sedang ke toilet. Kamu jangan membuat susah Laut dan Amira ya,” pesan Bintang, Kamu kini mencebikkan bibirnya.
“Aku gak pernah menyusahkan,” kata Kamu membela diri.
Amira dan Laut tersenyum melihat tingkah Kamu yang selalu kekanakan kalau bertemu Bintang.
“Tidak menyusahkan memang. Tapi bikin pusing,” jawab Bintang membuat Laut tertawa terpingkal.
Kamu kemudian melancarkan jurus mengambeknya. Menutup sambungan video. Amira hanya bisa geleng-geleng kepala. Begini rasanya punya anak.
Mereka melanjutkan perjalanan, setelah Kamu membungkus beberapa menu untuk bekalnya.
“Apakah, Paman, sudah menemukan sekolah yang menerimaku?” tanya Kamu setelah mobil kembali mengaspal.
“Bibi sudah mencari kemarin. Ada dua kandidat yang masuk ke kriteria yang diberikan mamamu,” kata Amira.
“Apa? Aku ingin melihatnya,” pinta Kamu.
“Besok kita akan berkeliling untuk melihatnya. Kita tentukan, lalu Senin kita bisa mendaftarkanmu,” usul Laut membuat Kamu mengangguk cepat.
Perjalanan mereka sudah semakin dekat. Percepatan pembangunan pada sisi transportasi di Indonesia sudah sangat jauh melesat. Memudahkan berbagai wilayah terhubung.
Kamu menatap setiap hamparan sawah dan jajaran rumah yang terlihat. Melihat daerah asing yang belum dikunjunginya. Terbersit keinginan untuk bertualang bila nanti di Solo. Menjelajahi Solo, mungkin.
Rasa kesalnya berganti menjadi antusias untuk bertualang, tanpa ocehan kedua orang tuanya. Senyum kini tersungging di wajahnya. Sudah membayangkan dirinya bebas berkelana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top