Hang Out!
Jen, Rin dan Arum sudah menunggu Kamu di depan kelas saat bel berbunyi. Kamu mendesah. Ketiga anak itu insist sekali.
“Ayo.” Jen mendahului mereka berjalan menuju gerbang.
Mobil Laut terlihat di tempat biasa dia memarkirnya. Kamu mengumpulkan keberaniannya.
“Paman,” kata Kamu berdiri di dekat pintu mobil di sisi sopir.
“Ya, ayo pulang,” jawab Laut.
“Hm ... begini, besok ada acara ke keraton. Lalu, kami harus membeli beberapa peralatan, apakah boleh aku pergi ke toko buku?” tanya Kamu dengan hati-hati.
“Oh, dengan siapa?” Laut melihat tiga anak perempuan di belakang Kamu.
“Halo, Om,” sapa mereka sambil tersenyum canggung.
“Itu temanku,” kata Kamu mengenalkan mereka walau lidahnya masih merasa asing dengan penyebutan teman.
“Oh, oke. Paman antar. Kalian mau ke mana?” tanya Laut pada akhirnya.
“Ayo,” ajak Kamu membuat mereka berebut memasuki mobil Laut.
“Kenalkan, saya Jen, ini Arum, dan itu Rin,” kata Jen mengenalkan diri.
“Halo, aku Laut, Paman Kamu,” jawab Laut sambil melirik Kamu yang jengah duduk di sampingnya.
“Halo, Paman,” kata mereka serempak.
“Hm ... Paman, boleh pinjam hape buat telepon Ayah?” tanya Kamu pelan.
Laut mengangsurkan ponselnya ke arah Kamu. Tangan Kamu agak gemetar karena dia masih harus mengumpulkan keberanian untuk meminta kamera kepada ayahnya.
“Ayah, besok ada acara ke keraton. Lalu, ada tugas untuk kami membuat report, aku berencana untuk membuat sebuah film pendek. Apakah aku boleh meminta sebuah kamera?” tanya Kamu setelah Glagah mengangkat telepon.
“Kamera yang bagaimana? Apakah itu keharusan?” Glagah masih mencari tahu lebih lanjut alasan Kamu.
“Yang standar saja. Sebenarnya bukan sebuah keharusan, hanya saja aku ingin mencoba hal baru,” kata Kamu sambil menundukkan wajahnya.
Ketiga temannya saling berpandangan. Mereka agak kaget karena mendengar kata-kata Kamu.
“Apakah kamu akan bertanggungjawab dengan pilihan itu? Masa percobaan akan berlaku. Jika tidak ada kemajuan dalam hal itu, maka kamu tahu konsekuensinya?” Glagah mengingatkan Kamu tentang aturan mereka.
“Iya, aku akan bertanggungjawab dan tahu konsekuensinya,” jawab Kamu mantap.
“Berikan ponselnya pada Paman Laut,” kata Glagah.
Kamu mengangsurkan ponsel itu ke arah Laut, “Ayah ingin berbicara dengan Paman.”
“Ya.” Laut menerima ponsel itu dan menepikan mobilnya. “Ada apa?” tanya Laut.
“Mas sudah dengar permintaan Kamu, kan? Bisa minta tolong untuk membelikannya keperluan sesuai kebutuhan? Bisa tarik dari akun yang sudah aku berikan kemarin,” kata Glagah.
“Oke. Tenang saja,” jawab Laut lalu mematikan sambungan. “Jadi, kita akan berbelanja hari ini? Kalian siap, girls?” Laut menoleh ke jok belakang di mana para gadis menatap tak percaya.
“Tapi, Paman, apakah tidak merepotkan?” tanya Rin sungkan.
“Anggap kita sedang berkenalan,” kata Laut melajukan mobilnya menuju mall.
Ketiga gadis di jok belakang kegirangan karena mendapat tumpangan gratis. Kamu menatap mereka tak suka, tapi ketiganya menjulurkan lidah dengan kompak.
Laut berasa simulasi membawa anak jalan-jalan. Selama ini, dia hanya mengantar Kamu jika bersama Glagah atau Diara. Sekarang dia harus siap menerima tingkah apa yang akan Kamu lakukan dan ketiga gadis di belakang itu.
Mereka tiba di Paragon, Laut memarkir mobilnya dan bersiap turun. Saat berjalan diikuti oleh empat anak remaja tanggung, rasanya Laut seperti papa muda yang sedang mengajak anak-anaknya membeli keperluan sekolah.
Setelah membeli peralatan yang mereka perlukan, Laut mengajak mereka untuk makan siang.
Masing-masing memilih menu yang mereka inginkan dan duduk tenang di depan Laut.
“Jadi, bagaimana kalian berteman dengan Kamu?” tanya Laut penasaran.
“Hm ... itu kemarin Kamu menolong kami dari gangguan Dwika. Lalu kami sepakat untuk berteman,” ulas Jen singkat.
“Oh begitu,” kata Laut.
“Paman, aku boleh bertanya?” tanya Arum takut-takut.
“Tentang?” Laut menatap gadis yang memiliki garis wajah lembut itu.
“Hm ... kata Kamu, kalian tinggal di Jalan Kamboja. Aku ingin tahu tentang sebuah rumor,” kata Arum.
“Rumor apa?” Laut menatap Arum serius.
“Dulu, beberapa tahun silam, ada rumah yang diledakkan di sana. Nah, aku ingin tahu, apakah Paman tahu tentang rumah itu?” tanya Arum.
“Hm ... kamu ingin tahu dalam rangka apa?” Laut heran kenapa gadis seusianya ingin tahu peristiwa yang terjadi di masa lalu itu.
“Ada tugas sejarah lokal, dan aku ingin mengulas peristiwa itu. Walau belum terlalu lampau, tapi peristiwa itu membuat Solo dan berita nasional panas, kata ayahku,” kata Arum.
“Hm ... apa yang ingin kamu ketahui?” tanya Laut pada akhirnya.
“Memangnya, Paman tahu?” tanya Kamu yang sedari tadi diam karena sudah tak sabar untuk membuka kameranya.
“Aku ingin tahu detail dari peristiwa itu, kapan, dan kenapa, lalu siapa pemiliknya. Karena kata Ayah, rumah itu milik pesohor.” Arum menjelaskan tujuannya.
“Baik kita mulai dari tahunnya. Saat itu tahun 2030, berarti peristiwa itu terjadi dua puluh tahun yang lalu. Bulan Juni, seseorang melempar beberapa granat yang akhirnya membuat rumah itu luluh lantak,” kata Laut mengingat kembali peristiwa itu.
“Wow!” Keempat anak itu tak percaya dengan yang mereka dengar.
“Peristiwa itu dipicu karena adanya sebuah rahasia yang terkuak ke publik. Saat itu, ada orang yang tidak ingin diketahui keberadaannya sehingga melakukan apa saja untuk membungkam orang-orang yang tahu.” Laut mendesah mengingat peristiwa itulah pemicu mereka muncul ke publik secara terang-terangan sebagai Prana Jiwo.
“Lalu siapa pemilik rumah itu?” tanya Kamu penasaran. Kenapa dia tak tahu peristiwa itu?
“Ratih Prana Jiwo, yang sudah meninggal setahun setelah kejadian itu, sekarang rumah itu dihuni oleh Darma Prana Jiwo,” kata Laut sambil menatap Kamu yang melongo.
“Kakung?” tanyanya disambut anggukan Laut.
Ketiga anak gadis itu menoleh ke arah Kamu dan berganti ke Laut dengan tak percaya.
“Maksudnya, kalian yang sekarang menghuni rumah itu?” tanya Jen.
Arum menatap Kamu tak percaya. “Aku juga tak tahu!” teriak Kamu membalas tatapan menghakimi Arum.
“Dia tidak tahu, karena kami memang tak pernah membahas masalah itu,” kata Laut.
Arum masih tak percaya dia mendapat informasi langsung dari sumber terpercaya untuk tugas sekolahnya.
“Jika kamu mau, kamu boleh ke rumah untuk bertanya sendiri kepada Paman Darma,” tawar Laut membuat Arum berbinar.
“Boleh?” tanyanya antusias.
“Iya. Bilang saja kapan kalian akan datang, nanti aku akan menjemput kalian,” kata Laut.
“Nanti kami akan memberitahu dan tidak usah dijemput. Nanti merepotkan,” kata Jen.
Rin dan Arum mengangguk kompak mengiyakan. Kamu mendesah. Rumah pasti akan ramai kalau mereka datang.
“Jadi, Paman ingin tahu kenapa Kamu ingin membeli kamera untuk tugas?” tanya Laut.
“Jadi begini, sekolah selalu akan meminta report dari open trip yang dilakukan. Nah report itu biasanya disesuaikan dengan hobi atau ketertarikan kita dalam bidang apa.” Jen menjelaskan dengan mulut penuh.
“Makannya ditelan dulu,” kata Laut membuat Jen tersipu.
“Jen suka menggambar, jadi dia akan membuat sketsa untuk report-nya. Aku, akan membuat artikel, sementara Arum akan menjawab pertanyaan untuk kelompok.” Rin menambahkan.
“Karena Kamu baru bergabung, maka dia boleh membuat report sesuai dengan kesukaannya,” lanjut Arum.
Laut mengangguk-angguk mengerti. Kamu sepertinya menemukan teman-teman yang bisa menerimanya apa adanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top