Awal Mula
“Kamu Oracio Senja!” teriak Pak Marsudi kepada seorang anak berseragam biru putih yang sedang memanjat pagar samping sekolah Harapan Kita.
Anak itu menoleh dan menjulurkan lidahnya, tak ada niat untuk berhenti, bahkan makin tertantang. Saat Pak Marsudi mendekati pagar, dia sudah meloncat dan berada di jalanan. Tergesa dia ambil tas ransel yang dilemparnya tadi kemudian berlari kencang sambil tertawa puas.
Pak Marsudi terengah-engah di dekat pagar dan merutuk kelakuan anak tadi. Kemudian berjalan kembali ke kantor dengan menahan emosi.
“Kamu lagi, Pak?” tanya Bu Santi melihat Pak Marsudi memasuki kantor dengan tergesa.
Tanpa menjawab, Pak Marsudi menekan nomor telepon yang sudah dihafalnya luar kepala.
“Halo Pak Glagah, benar, Kamu kabur lagi dari sekolah. Ini sudah yang kelima kalinya Pak dalam dua minggu terakhir,” kata Pak Marsudi begitu seseorang di seberang saluran mengangkat teleponnya.
“Baik, Pak. Saya tunggu besok di sekolah.” Pak Marsudi menutup telepon dan terenyak di kursinya.
Kepalanya pusing dengan Kamu Oracio Senja, anak tanggung kelas sembilan itu sudah berulang kali membuat ulah dengan kabur dari sekolah. Otaknya yang cerdas tak berbanding lurus dengan kelakuannya yang sudah membuat jajaran guru di Harapan Kita geleng-geleng kepala. Kalau bukan karena dia adalah juara Olimpiade, sekolah sudah ingin mengeluarkannya.
Sementara Glagah sedang pusing di kantor karena telepon dari sekolahan anaknya. Kamu selalu saja membuat ulah yang membuatnya pusing. Kenakalannya sudah sangat meresahkan.
“Mas, aku pulang duluan,” kata Glagah melongokkan kepalanya ke ruangan Laut.
“Apa? Kamu lagi?” tebak Laut tepat, membuat Glagah mendesah.
Sementara Kamu dengan santai menyusuri jalanan menuju rumahnya. Hari ini pelajaran sangat menyebalkan buatnya. Dia sudah menghafal rumus matematika yang diterangkan oleh Bu Nadia. Dia bosan belajar.
Saat memasuki halaman rumah, langkahnya terhenti karena Glagah sudah menunggu di depan pintu. Memandanginya dengan bersedekap tangan.
“Pak Marsudi pasti mengadu ke Ayah,” keluh Kamu.
“Kamu tahu kesalahanmu, ‘kan? Tahu apa yang harus kamu lakukan?” kata Glagah.
Dengan langkah gontai, Kamu menuju sudut halaman dan melempar tasnya serampangan. Dia berdiri dengan bersandar dinding, mengetuk-ngetukkan kakinya ke dinding rumah.
“Tunggu di sana sampai mamamu pulang,” kata Glagah memperingatkan Kamu yang sekarang mencibir.
Kamu merasa pegal setelah beberapa lama berdiri di halaman, mamanya bahkan belum pulang. Dia sudah sangat lapar, tapi tak berani meninggalkan pos hukumannya.
Mobil Diara memasuki halaman rumah tanpa pagar itu, dan melihat Kamu sedang berdiri di pojok halaman, tempat di mana dia biasa menerima hukuman.
“Hari ini, apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Diara sambil berkacak pinggang di samping mobilnya.
“Hanya skip pelajaran Bu Nadia,” jawab Kamu singkat.
“Sudah yang ke berapa?” selidik Diara.
“Mana aku hafal, Ma,” keluh Kamu dengan tatapan memohon.
“Kita akan bicara nanti, setelah jam sekolahmu yang seharusnya berakhir.” Diara memberi isyarat dengan mengarahkan dua jari dari matanya ke arah Kamu yang semakin cemberut, tapi tak berani membantah.
Diara masuk ke dalam rumah, di sambut oleh Glagah yang terlihat pusing di meja makan.
“Anakmu itu,” keluh Glagah.
“Sebentar, kita luruskan. Yang masa mudanya suka kabur dari sekolah siapa? Maaf, saya rajin sekolah ya,” bantah Diara tak terima.
“Aku pusing Di. Kenapa juga Kamu mesti menuruni sifatku yang itu.” Glagah memijat keningnya.
“Jadi, Anda tak boleh lagi mengeluh,” desis Diara seraya terkikik.
Kemudian Diara menyiapkan makan untuk Glagah dan Kamu. Kali ini dia yang memasak, karena tak tega melihat Glagah pusing dengan tingkah Kamu. Pasti dia sudah pusing dengan urusan kantor dan Prana Jiwo, sekarang ditambah urusan anak, yang notabene adalah jelmaan masa kecilnya sendiri.
“Panggil dia,” kata Diara begitu masakannya selesai.
Glagah dengan enggan keluar dan memanggil Kamu.
“Ayo masuk!” perintah Glagah yang disambut dengan suka cita oleh Kamu.
Dia mengambil tas yang tadi dia lempar dan gegas masuk ke rumah. Bau masakan yang menguar dari dapur, membuatnya berlari ke meja makan. Disampirkannya tas di sandaran kursi dan duduk manis di depan meja makan.
“Habiskan jatah makan sore ini, setelah itu mandi, lalu kita akan bicara,” kata Diara disambut anggukkan kepala Kamu yang sudah sibuk mengunyah.
Aturan di rumah adalah, sepakat tak membahas apa pun saat di meja makan. Kalau ada masalah, maka pembicaraan akan dilakukan setelah makan, di ruang keluarga.
“Terima kasih untuk makan siang yang kesorean,” kata Kamu sambil meletakkan piring kotornya di wastafel dan gegas ke kamarnya untuk mandi.
Setelah ini, dia akan menghadiri sidang keluarga atas ulahnya.
Glagah mencuci piring kotor mereka, sementara Diara membuat coklat hangat.
“Apa yang akan kita lakukan terhadap Kamu?” tanya Diara.
“Kita pindahkan ke Solo saja bagaimana?” usul Glagah.
“Dia kan manis kalau dekat sama Ayah dan Ibu,” lanjut Glagah membuat Diara berpikir.
Diara kemudian membawa dua gelas coklat panas ke ruang keluarga. Sementara Glagah membawa sendiri gelasnya dan camilan.
Kamu turun dari kamarnya dan duduk manis di depan kedua orang tuanya. Siap mendengarkan petuah dan nasihat yang sepertinya dia hafal akan berbunyi seperti apa.
“Kenapa kamu skip kelas hari ini?” tanya Glagah mengawali sidang keluarga yang entah sudah ke berapa.
“Rumus yang diajarkan Bu Nadia, sudah aku hafal luar kepala. Aku bosan,” sungut Kamu sambil memainkan ujung jarinya di sandaran tangan kursi yang dia duduki.
“Tidak bisakah kamu diam di kelas? Atau tidur sajalah di kelas,” kata Glagah membuat Diara melotot ke arahnya.
“Mana bisa, Ayah. Bu Nadia itu tak akan membiarkanku tidur di kelas. Aku sudah pernah di getok penggaris karena tidur,” keluh Kamu.
“Baik. Begini, kami sudah mengambil keputusan, seperti biasa, kamu boleh menolak dan melakukan pembelaan dengan dukungan alibi yang, mungkin akan kami pertimbangkan,” kata Diara membuat Kamu penasaran. Kali ini, hukuman apa yang akan diperintahkan oleh kedua orang tuanya itu.
“Kami sepakat mengirimmu ke Solo. Di sana, kamu akan diawasi oleh Kakung dan Uti. Alasannya adalah, kami hanya ingin kamu merefleksikan apa yang sudah kamu lakukan. Solo bukan kota besar. Di sana kamu harus belajar mengekang diri, agar Kakung dan Uti tak terbebani dengan ulahmu.” Glagah menarik napasnya berat.
“You send me away?” salak Kamu tak percaya.
“No English. Ingat peraturan di rumah ini?” sergah Diara membuat Kamu menepuk mulutnya sendiri.
“Ayah dan Mama mengusirku?” Kamu masih mencoba mencerna keputusan Glagah dan Diara.
“Bukan mengusir. Kami, hanya ingin kamu belajar bertanggung jawab dengan hidupmu sendiri. Di Solo, setidaknya pergaulanmu tak akan seliar di sini, karena Kakung dan Uti yang akan mengawasimu,” kata Diara.
“Kami melakukan ini, karena hanya ingin kamu lebih bisa menghargai hidupmu,” jelas Glagah.
“Pikirkan. Kami memberimu waktu dua hari. Jika kamu keberatan, berikan pembelaanmu secara tertulis, dan gunakan bahasa jawa, seperti biasa,” lanjut Glagah membuat Kamu menyesap coklat hangatnya dengan enggan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top