Bab 9 Karen's Church
Karya ini adalah hasil kolaborasi dari WWG Fantasi.
Sebelum membaca jangan lupa tekan tombol bintang ya teman-teman.
IG: kanonaiko
Di desa yang damai hiduplah seorang anak kecil yang sangat cantik dan manis. Tiap musim panas dia terpaksa harus berlari dengan kaki telanjang. Hidup bocah itu sangatlah miskin. Dan setiap musim dingin dia mengenakan sepatu kayu yang kebesaran. Punggung telapak kakinya yang mungil memerah. Si gadis tampak menyedihkan.
Di tengah desa ada seorang wanita tua pembuat sepatu. Dia duduk sambil menjahit sepatu, seindah yang dia bisa. Perempuan paruh baya itu membuat sepasang sepatu kecil yang terbuat dari potongan kain berwarna merah. Sepasang sepatu itu tidak terlalu cantik, namun ia menjahitnya dengan sepenuh hati. Sepasang sepatu yang akan diberikan kepada gadis kecilnya. Gadis kecil itu bernama Karen. Sekarang si gadis sudah menjadi anak yang baik.
*****
Madoka sudah memasuki sebuah desa yang tampak asri. Iris hijau itu berbinar ketika melihat--makanan. Ah, Madoka memang suka makan. Apapun yang dilihat pasti enak. Kecuali strawberry. Mengingat buah berwarna merah Madoka langsung menutup hidungnya.
Pernah Kuro bertanya kenapa Madoka tidak suka buah itu. Alasannya bau. Sedikit aneh memang kakak tertuanya itu.
Madoka yang sekarang berwujud bocah kecil membeli beberapa pretzel. Hmm aromanya sungguh lezat. Dia memakan satu pretzel saja. Sisanya buat makan siang. Dia harus tetap fit agar bisa menemukan nenek Peach tersayang.
Lonceng gereja berbunyi cukup keras. Madoka memakai jas merah muda langsung memasuki gereja.
Dengan hati-hati serta penuh kewaspadaan Madoka mengamati orang-orang yang berada di dalam gereja tersebut, mereka tampak khidmat mendengarkan Pak Pendeta. Bola mata Madoka kembali bergulir dan membesar kaget ketika melihat sosok yang ia kenal.
Indra penciuman si bocah berkuncir dua sangat tajam. Seperti anjing pelacak saja. Dan--dia kenal bau ini.
Seorang anak kecil rambut hitam kuncir dua dia sedang khusyuk mendengarkan khotbah sang pendeta. Madoka sangat mengenali bocah perempuan itu, tentu saja. Iya, sangat kenal, karena melihatnya membuat Madoka teringat ketika dia tak sengaja memotong kumis si bocah bermata aneh.
Kuro. Gumam Madoka.
Madoka kembali duduk tenang mendengarkan Pak Pendeta. Bocah bertubuh gempal itu tidak sadar bahwa satu mata biru Kuro berkilat mengarah ke kakak tertua.
Tiba-tiba rambut sebelah kiri Madoka seperti ditarik seseorang. Anak perempuan bertubuh gemuk itu terkejut. Reflek melirik kiri kanan. Dia melirik wanita tua di sebelahnya. Si Ibu sedang menatap lurus ke depan. Tidak ada tanda-tanda menjahili si bocah.
Sekali lagi, saat Madoka kembali memusatkan pandangannya ke depan, Kuro dengan sihirnya menarik rambut Madoka yang satunya. Madoka bahkan terlihat mengernyit dan berdecak sebal.
Ya. Bau ini sangat menusuk indra penciumannya. Madoka menoleh ke belakang. Dilihatnya Kuro sedang tertawa cekikikan bersama seorang anak laki-laki. Ah entah Madoka tidak kenal.
Madoka seperti mengucapkan sesuatu. Awas kau, Kuro.
Kuro pun tak mau kalah. Dia hanya menjulurkan lidahnya. Weeee.
Yang membuat Madoka tambah sebal adalah ada seorang anak perempuan duduk tak jauh darinya enggak bisa diam. Dia berdiri kemudian duduk lagi. Begitu seterusnya.
Madoka mencondongkan tubuh ke arah anak itu. Dengan nada ketus sedikit berbisik dia berkata. "Diaam ....!"
Perempuan berwajah manis itu menoleh. Sedikit terperanjat anak berambut merah muda kuncir dua melotot ke arahnya.
"Bisa diam tidak?" geram Madoka sambil menggembungkan kedua pipinya.
Dengan cepat dia mengangguk. "Bi-bisa."
"Hm, bagus." Madoka kembali menyenderkan tubuh ke kursi.
Di luar gereja, Madoka segera menemui Kuro.
"Hei, kenapa tadi kau mengusili diriku?" terdengar jelas nada bicara Madoka kesal setengah mati.
"Kuro hanya mengusap tengkuk belakangnya. Sifat isengnya kumat tadi. "Maaf, aku lagi iseng ngerjain kakak."
Mata hijau Madoka membulat. Yang benar saja. Dia sungguh tidak mengerti mengapa adik-adiknya sangat suka menjahilinya. Jadi kakak tertua sungguh tidak enak. Walaupun Madoka kadang galak tapi jauh dari lubuk hati yang paling dalam dia sangat menyayangi saudara-saudaranya.
"Hei."
Madoka tersentak. Lamunan tentang adik-adiknya buyar. "Maaf."
"Apa yang kau lamunkan?" tanya Kuro. Kini mereka duduk di bawah pohon tak jauh dari rumah warga.
"Tidak ada apa-apa," jawab Madoka pendek. Dia teringat sesuatu. Tangannya yang mungil mengaduk isi buntelan dan menyerahkan penganan kepada Kuro. "Nih, untukmu."
Mata Kuro membulat. Dia langsung mengambil permen lolipop dari tangan Madoka. "Kyaaa ... terima kasih Madoka."
"Sama-sama."
"Ngomong-ngomong ..." Kuro sibuk menjilat permen warna warni itu. "Bagaimana saudara kita yang lain?"
Madoka menghela napas panjang. Iris hijau itu meredup. "Beberapa hari yang lalu aku mengubur Fuma dan shinju di hutan Snow White."
"Haa?" mata Kuro lebar selebar lebarnya.
"Iya. Aku meletakkan dua permen diatas kuburan mereka," ucap madoka pelan.
"Haaa?" mata Kuro yang bulat tambah bulat.
"Ck! Jangan ha-hu-ha-hu melulu!" hati Madoka jadi sebal melihat kelebayan Kuro.
"Hehehe maaf, maaf. Aku terkejut. Tapi yang lain bagaimana?"
"Entahlah. Aku tidak tahu...." Madoka bertambah sedih.
Kuro menunduk dalam diam. Hatinya sedikit sakit. Air mata jatuh membasahi pipi gembil Kuro.
"Huaaaaa huaaaa!"
Madoka langsung menutup telinganya. Ini nih, jika Kuro menangis dia tidak peduli dengan orang lain. Pokoknya nangis sekencang-kencangnya.
"Hei," Madoka berusaha menenangkan adiknya. "Jangan menangis."
"HUAAAA HUAAAAA!!!"
Tangisan Kuro tambah keras. Beberapa warga melihat kuro berlinang air mata dan menatap Madoka sinis. Mungkin mereka kira sang kakak mencueki adiknya.
"Woy! Woyy!! Enggak usah jerit-jerit napa?" Madoka tambah kesal. Apa jangan-jangan ....
"Bakekok! Hahahahha," Kuro tertawa kencang.
Tuh kan?
Madoka tambah bete. Ah sial bocah rambut merah muda itu dikerjain sama adiknya. Nanti jika Nenek peach sudah ketemu dia ingin pensiun jadi kakak tertua.
Madoka mencubit pipi gembil Kuro. Huh rasakan. Biar tuh pipi tambah gembil saja, gumam Madoka.
"Awuwuwuhh syakit pwipwikhuw!" jerit Kuro.
"Makanya. Jangan ngerjain aku dong!" jerit Madoka tak kalah sengitnya. Dia langsung berdiri dan membopong Kuro agar segera pergi dari sini.
"Ayo kita cari Nenek Peach," kata Madoka.
kuro terus meronta. "Lepaskan akuuu!"
"Diyaamm."
"Kita mau ke mana?"
Senyum miring terpatri di sduut bibirnya yang tipis. "Kita ke rumah jack."
Kuro terus meronta. "Lepaskan akuuu!" Dia tidak terima diperlakukan seperti ini. Dia kan bukan anak kecil. Eh? Tunggu dulu. Kuro teringat sesuatu.
"Memangnya kau tahu dimana Nenek?" tanya Kuro membuat langkah Madoka terhenti dan itu memudahkan Kuro untuk turun.
Madoka tersenyum miring. "Tentu saja aku tahu dari Pengeran Beast ketika aku di sana. Pangeran melihat si nenek berjalan sendirian menuju magic bean."
Kuro bertepuk tangan sambil memandang kagum Madoka. "Kau benar-benar keren Madoka, kau bertemu dengan pangeran? Pasti pangeran itu sangat tampan."
Kuro membayangkan sosok pria tinggi, putih, dengan rambut rapi serta berbadan tegap menggenakan pakaian bangsawan yang mahal.
"Aku juga merasa Nenek di sana."
"Ya sudah, kalau begitu ayo kita berangkat!" Madoka langsung memimpin jalan dan Kuro mengekor di belakang
*****
Keringat membanjiri wajah Madoka, begitu juga dengan Kuro. Napas kedua kucing dalam wujud dua bocah perempuan itu berderu kepayahan setelah memanjat puncak pohon tertinggi.
Keduanya istirahat sejenak, duduk untuk meluruskan kaki dan memukihkan tenaga.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidup para ulat yang tiap makan berteriak 'Pucuk! Pucuk! Pucuk!' sambil terus memanjat, pasti sangat melelahkan," kelakar Madoka.
"Tentu saja akan sangat lelah jika beban tubuhmu melampaui batas," ucap Kuro santai.
"Apa?! Maksudmu aku gendut begitu?" pekik Madoka tak terima.
"Aku tidak bilang begitu," kilah sang Adik. "Maksudku untuk apa kau bawa buntelan berisi permen? Memangnya kau akan membujuk Raksasa dengan permen untuk ditukar dengan Nenek?"
Madoka mendesah sebelum menjawab. "Lalu aku harus menyimpannya dimana?"
"Sudahlah ... lagi pula kau sudah membawanya. Ayo!" Kuro bangkit duluan dan membantu Madoka berdiri.
Langit memang sudah sepenuhnya meredup. Namun dengan sihirnya, Madoka membuat seberkas cahaya berwarna hijau di ujung belati tulang miliknya untuk menuntun jalan ke sana. Sedangkan Kuro yang memang menyukai gelap, tidak masalah berada di tempat minim cahaya tersebut.
Mereka berjalan sedikit dan melihat istana yang amat sangat besar dengan menara menjulang tinggi di beberapa sisinya. Madoka dan Kuro kembali mendekat, kedua bocah perempuan tersebut mendongak dan hampir tidak bisa melihat atap bangunan kokoh itu. Kuro tidak membual jika besarnya istana ini bisa sepuluh kali lipat istana yang biasa ia lihat di bumi, atau mungkin lebih.
Dua daun pintu yang tegak di depan mereka juga terlihat mengkilat, Kuro yakin pintu ini terbuat dari emas. Bahkan Kuro bisa melihat pantulan dirinya sendiri saking berkilaunya pintu tersebut.
"Nenek benar ada di sini kan?" tanya Madoka memastikan.
Kuro meneguk ludah. "Madoka...." Kuro menoleh melihat gadis berambut merah muda itu sedang menatapnya. "Aku takut."
"Cih, dasar penakut!" Ledek Madoka.
"Bukan begitu, aku takut membayangkan keadaan Nenek di dalam sana. Apa dia baik-baik saja? Aku harap Nenek tidak seperti saudara kita yang sudah—— Aww!" ucapan Kuro terpotong oleh pekikannya sendiri karena Madoka menjitak kepalanya sebelum ia selesai bicara.
"Jangan berpikir aneh-aneh! Jika memang kau takut Nenek kenapa-napa, bukankah kita harusnya segera menemukan Nenek dan membawanya pulang?"
Kuro akui ucapan Madoka memang benar, tapi ....
"Ayo!" ajak Madoka. Kuro mengikuti sambil mengelus kepalanya.
"Karena sepertinya kita tidak mungkin masuk dengan membuka pintu, kita menyelinap saja melalui celah itu." Madoka memerintahkan, ia menunjuk bagian terbawah pintu dan memimpin jalan. Madoka menundukan tubuhnya, lalu merayap perlahan. Tapi itu tidak mungkin. madoka mulai kesulitan masuk karena terjepit celah pintu. Kaki dan tangan terus bergerak. Madoka meronta.
"Kuro! Kuro! Coba kau dorong aku!" seru Madoka dari dalam.
"Kau yakin?"
"Memangnya perintahku terdengar tidak meyakinkan?" Madoka terlihat kepayahan.
Kuro memutar bola matanya, sifat pesuruh sang Kakak kumat lagi. Kemudian Kuro mencoba mendorong bokong montok Madoka dengan tangannya sekuat tenaga, tapi tubuh gempal itu bahkan tidak bergerak sedikit pun. Kuro lalu menyandarkan punggungnya dan mendorong lagi, ia merasa badan Madoka sudah bergerak sedikit dan...
Preeeettt!!
Bunyi itu berasal dari bokong Madoka dan diiringi aroma tidak sedap. Kuro langsung menutup hidung lalu mundur menjauh.
"Madokaaaaaa!!"
"Maaf." Kuro mendengar Sang Kakak malah terkekeh di dalam sana.
"Kuro, kau masih di sana?" teriak Madoka. "Kuro?"
"Iya aku di sini," sahut Kuro setengah jengkel. Baru beberapa detik yang lalu ia ingin memaki, mendadak terlintas sesuatu di benak Kuro yang membuatnya menyeringai. "Madoka, bertahanlah! Kau pasti akan masuk sebentar lagi."
Kuro yakin Madoka sedang mengernyit bingung memahami maksud perkataannya karena bocah perempuan yang masih terjepit itu bertanya. "Serius? Bagaimana caranya?"
Kali ini Kuro benar-benar tersenyum lebar. Gigi taring berkilat. Ia melakukan pereganggan kaki dan tangan. Meloncat beberapa kali sebelum mundur untuk ancang-ancang.
"Dengan tendangan halilitar, kapten Kuro akan mencetak gol," gumam Kuro yakin, sebelum berteriak sambil berlari menuju Madoka.
"Goooollll?!!!! Masuk Madoka!" seru Kuro gembira saat berhasil menendang bokong Madoka membuat kakaknya yang terjepit akhirnya masuk ke dalam istana.
Bahkan bocah berambut hitam dengan kuncir dua itu mengangkat kedua tangannya seolah melakukan selebrasi.
Setelah puas bersorak serta membanggakan diri, Kuro ikut merayap menyusul Madoka melalui celah pintu dengan mudah.
Kuro menepuk-nepuk lutut dan pakaiannya sebelum bangkit. Ketika Kuro mengangkat wajahnya ke depan. Ada dua hal yang membuat Kuro meneguk ludah ngeri lagi ;
1. Ruangan luas nan besar serta megah. Bisa dipastikan butuh berhari-hari untuk bisa mengelilingi istana ini dengan tubuh kecilnya.
2. Madoka yang sedang meletakan kedua tangannya di pinggang sambil menatap tajam.
O-ow....mampuslah kau, Kuro.
Bersambung ....
NB: Ya ampun, ini lucu sekali.😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top