Bab 9
Karya ini adalah hasil kolaborasi dari beberapa penulis
IG : @hanni.maharani
______________
Anggap saja ini adalah pembalasan karena Madoka pernah memotong kumis sakral miliknya. Begitulah batin Kuro membenarkan tingkah usilnya.
Kucing betina dalam sosok bocah perempuan berambut hitam dan kuncir dua itu tengah bahagia. Ia merasa pipinya nyaris pegal karena menahan tawa. Bagaimana tidak? Sejak tadi ia terus menjahili anak gadis dengan surai merah muda yang berada tak jauh dari tempat duduknya.
Kuro terus mengganggu kakak tertuanya dengan menarik-narik rambut Madoka menggunakan sihirnya. Hingga tak lama kemudian, sepasang mata bulat Kuro bertubrukan dengan milik Madoka. Dia sudah ketahuan.
Madoka menampakkan raut jengkelnya, tapi Kuro tidak takut. Ia meletakan jari telunjuknya di bawah mata seraya menjulurkan lidah.
***
Di luar gereja....
Setelah Kuro mengucapkan perpisahan pada Miguel dan ibunya dengan alasan harus melanjutkan perjalanan mencari sang Nenek tercinta. Madoka menghampirinya.
"Hei, kenapa tadi kau mengusili diriku?" Terdengar jelas nada bicara Madoka kesal setengah mati.
Kuro hanya mengusap tengkuk seraya menampilkan cengiran tak berdosa. "Maaf, aku hanya iseng."
Ya, Kuro memang iseng. Tapi sebenarnya dia juga sangat senang bisa bertemu lagi dengan saudaranya, dan kakaknya itu terlihat baik-baik saja.
Entah apa yang dipikirkan Madoka, Kuro melihat kakaknya terdiam melamun.
"Hei, Madoka." Kuro mengguncang pelan bahu sang Kakak dan Madoka tampak sedikit terhenyak.
"Maaf."
"Apa yang kau lamunkan?" tanya Kuro. Kini mereka duduk di bawah pohon tak jauh dari rumah warga.
"Tidak ada apa-apa," jawab Madoka singkat. Kemudian Kuro melihat Madoka mengaduk buntelan yang Kuro tidak tahu apa isinya lalu menyerahkan penganan kepada Kuro. "Nih, untukmu."
Mata Kuro berbinar senang. Dia langsung mengambil permen lolipop dari tangan Madoka. "Kyaaa terima kasih Madoka."
"Sama-sama."
Tak butuh waktu lama untuk Kuro melahap cemilan manis tersebut.
"Ngomong-ngomong...." ucap Kuro sibuk menjilat permen warna warni itu. "Bagaimana saudara kita yang lain?"
Terlihat Madoka menghela napas panjang, iris hijaunya meredup. "Beberapa hari yang lalu aku mengubur Fuma dan Shinju di hutan Snow White."
"Haa? Apa?" Kuro merasa sesuatu tak kasar mata menghantam dirinya.
Ia tidak salah dengar kan?
"Iya. Aku meletakkan dua permen di atas kuburan mereka," ucap madoka pelan.
"Haaa?" Kuro yakin matanya sudah membulat lebar. Ia bahkan menganga tak percaya.
Fuma? Shinju?
"Ck! Jangan ha-ha melulu!" Decak Madoka sebal.
"Maaf, maaf... aku benar-benar terkejut. Lantas bagaimana dengan yang lain?"
"Entahlah. Aku tidak tahu...."
Kuro menunduk dalam diam, hatinya sakit. Dan tanpa terasa sebutir cairan bening bergulir keluar dari matanya.
"Huaaaaa huaaaa!"
Kuro tidak peduli ketika melihat Madoka langsung menutup telinganya. Ia merasa sedih, berduka, dan kehilangan. Ia ingin berteriak dan menangis sejadi-jadinya.
"Hei," Madoka berusaha menenangkan sang Adik. "Jangan menangis!"
"HUAAAA HUAAAAA!!!"
Tangisan Kuro tambah keras, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Kuro memang sedih, sangat sedih. Namun melihat wajah panik Madoka ——melalui sela jari ——karena dia menangis, terlebih saat beberapa orang yang melewati mereka dengan menatap sinis pada Madoka ——membuat kakaknya risih—— itu terlihat lucu.
"Woy! Woyy!! Tidak usah jerit-jerit kenapa?"
"Bakekok! Hahahahha...." Kuro tertawa kencang. Rasa berdenyut di hati Kuro akibat kehilang dua saudaranya memang masih terasa. Namun wajah Madoka benar-benar membuatnya tidak bisa menahan tawa.
Tanpa di duga oleh Kuro, Madoka langsung mencubit pipinya, menarik lebar ke dua arah berlawanan.
"Awuwuwuhh syakit pwipwikhuw!" jerit Kuro.
"Makanya jangan ngerjain aku dong! Aku ini kakak, nanti kamu kualat baru tahu rasa," tutur Madoka sengit. Dia langsung berdiri dan membopong Kuro di pundak perkasanya.
"Ayo kita cari Nenek Peach!"
Kuro terus meronta. "Lepaskan akuuu!" Dia tidak terima diperlakukan seperti ini. Dia kan bukan anak kecil. Eh?
"Memangnya kau tahu dimana Nenek?" tanya Kuro membuat langkah Madoka terhenti dan itu memudahkan Kuro untuk turun.
Madoka tersenyum miring. "Tentu saja, aku tahu dari Pengeran Beast ketika aku di sana. Pangeran melihat si nenek berjalan sendirian menuju magic bean."
Kuro bertepuk tangan sambil memandang kagum Madoka. "Kau benar-benar keren Madoka, kau bertemu dengan pangeran? Pasti pangeran itu sangat tampan."
Kuro membayangkan sosok pria tinggi, putih, dengan rambut rapi serta berbadan tegap menggenakan pakaian bangsawan yang mahal.
"Aku juga merasa Nenek di sana."
"Ya sudah, kalau begitu ayo kita berangkat!" Madoka langsung memimpin jalan dan Kuro mengekor di belakang.
Hari sudah sore, matahari juga mulai meredup tatkala kedua kakak beradik itu tiba dan kini berdiri di depan pohon yang besar serta menjulang tinggi hingga mungkin mencapai langit.
"Kau siap?" tanya Madoka memandang Kuro, dan tekad bocah itu sama sekali tidak memungkinkannya untuk berkata 'tidak'.
Kuro mengangguk mantap. Mereka harus segera memanjat untuk mencapai puncak dan menyelamatkan Nenek tercinta.
***
Peluh membanjiri wajah dan tubuh Kuro, pun juga dengan Madoka. Napas kedua kucing dalam wujud dua bocah perempuan itu berderu kepayahan setelah memanjat puncak pohon tertinggi.
Keduanya rehat sejenak, duduk untuk meluruskan kaki sembari menormalkan tenaga.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidup para ulat yang tiap makan berteriak 'Pucuk! Pucuk! Pucuk!' sambil terus memanjat, pasti sangat melelahkan," kelakar Madoka
"Tentu saja akan sangat lelah jika beban tubuhmu melampaui batas."
"Apa?! Maksudmu aku gendut begitu?" pekik Madoka tak terima.
"Aku tidak bilang begitu," kilah sang Adik. "Maksudku adalah, untuk apa kau bawa segembolan permen itu? Memangnya kau akan membujuk Raksasa dengan permen untuk ditukar dengan Nenek?"
Madoka mendesah sebelum menjawab. "Lalu aku harus menyimpannya dimana?"
"Sudahlah... lagi pula kau sudah membawanya. Ayo!" Kuro bangkit duluan dan membantu Madoka berdiri.
Langit memang sudah sepenuhnya meredung. Namun dengan sihirnya, Madoka membuat seberkas cahaya berwarna hijau di ujung belati tulang miliknya untuk menuntun jalan di sana. Sedangkan Kuro yang memang menyukai gelap, tidak masalah berada di tempat minim cahaya tersebut.
Mereka berjalan sedikit dan melihat istana yang amat sangat besar dengan menara menjulang tinggi di beberapa sisinya. Madoka dan Kuro kembali mendekat, kedua bocah perempuan tersebut mendongak dan hampir tidak bisa melihat atap bangunan kokoh itu. Kuro tidak membual jika besarnya istana ini bisa sepuluh kali lipat istana yang biasa ia lihat di bumi, atau mungkin lebih.
Dua daun pintu yang tegak di depan mereka juga terlihat mengkilat, Kuro yakin pintu ini terbuat dari emas. Bahkan Kuro bisa melihat pantulan dirinya sendiri saking berkilaunya pintu tersebut.
"Nenek benar ada di sini kan?" tanya Madoka memastikan.
Kuro meneguk ludah. "Madoka...." Kuro menoleh melihat gadis berambut merah muda itu sedang menatapnya. "Aku takut."
"Cih, dasar penakut!" Ledek Madoka.
"Bukan begitu, aku takut membayangkan keadaan Nenek di dalam sana. Apa dia baik-baik saja? Aku harap Nenek tidak seperti saudara kita yang sudah—— Yak!" ucapan Kuro terpotong oleh pekikannya sendiri karena Madoka menjitak kepalanya sebelum ia selesai bicara.
"Jangan berpikir aneh-aneh! Jika memang kau takut Nenek kenapa-napa, bukankah kita harusnya segera menemukan Nenek dan membawanya pulang?"
Kuro akui ucapan Madoka memang benar, tapi....
"Ayo!" ajak Madoka. Kuro mengikuti sambil mengelus kepalanya.
"Karena sepertinya kita tidak mungkin masuk dengan membuka pintu, kita menyelinap saja melalui celah itu." Madoka memerintahkan, ia menunjuk bagian terbawah pintu dan memimpin jalan. Madoka menundukan tubuhnya, lalu merayap perlahan.
Entah karena tubuh mereka yang terlalu kecil atau istana ini yang terlalu besar, tapi perbandingan tubuh mereka dengan tempat tinggal raksana ini, benar-benar seperti tuyul dan rumah. Ya... setidaknya begitulah pemikiran Kuro sebelum melihat melihat Madoka terjepit di sana.
Mungkinkah ada tuyul gendut yang terjepit juga di rumah mereka seperti kakaknya?
Tubuh Madoka sudah masuk setengah ke dalam sana. Namun setengahnya lagi masih di luar sini. Kuro melihat kaki gadis itu terus meronta.
"Kuro! Kuro! Coba kau dorong aku!" seru Madoka dari dalam.
"Kau yakin?"
"Memangnya perintahku terdengar tidak meyakinkan?"
Kuro memutar bola matanya, sifat pesuruh sang Kakak kumat lagi. Kemudian Kuro mencoba mendorong bokong montok Madoka dengan tangannya sekuat tenaga, tapi tubuh gempal itu bahkan tidak bergerak sedikit pun. Kuro lalu menyandarkan punggungnya dan mendorong lagi, ia merasa badan Madoka sudah bergerak sedikit dan...
Preeeettt!!
Bunyi itu berasal dari bokong Madoka dan diiringi aroma tidak sedap. Kuro langsung menutup hidung lalu mundur menjauh.
"Madokaaaaaa!!"
"Maaf." Kuro mendengar Sang Kakak malah terkekeh di dalam sana.
"Kuro, kau masih di sana?" teriak Madoka. "Kuro?"
"Iya aku di sini," sahut Kuro setengah jengkel. Baru beberapa detik yang lalu ia ingin memaki, mendadak terlintas sesuatu di benak Kuro yang membuatnya menyeringai. "Madoka, bertahanlah! Kau pasti akan masuk sebentar lagi."
Kuro yakin Madoka sedang mengernyit bingung memahami maksud perkataannya karena bocah perempuan yang masih terjepit itu bertanya. "Serius? Bagaimana caranya?"
Kali ini Kuro benar-benar tersenyum lebar. Ia melakukan pereganggan kaki dan tangan. Meloncat beberapa kali sebelum mundur untuk ancang-ancang.
"Dengan tendangan halilitar, kapten TsubaKuro akan mencetak gol," gumam Kuro yakin, sebelum berteriak sambil berlari menuju Madoka.
"Goooollll?!!!! Masuk Madoka!" seru Kuro gembira saat berhasil menendang bokong Madoka membuat kakaknya yang terjepit akhirnya masuk ke dalam istana.
Bahkan bocah berambut hitam dengan kuncir dua itu mengangkat kedua tangannya seolah melakukan selebrasi.
Setelah puas bersorak serta membanggakan diri, Kuro ikut merayap menyusul Madoka melalui celah pintu dengan mudah.
Kuro menepuk-nepuk lutut dan pakaiannya sebelum bangkit. Ketika Kuro mengangkat wajahnya ke depan. Ada dua hal yang membuat Kuro meneguk ludah ngeri lagi ;
1. Ruangan luas nan besar serta megah. Bisa dipastikan butuh berhari-hari untuk bisa mengelilingi istana ini dengan tubuh kecilnya.
2. Madoka yang sedang meletakan kedua tangannya di pinggang sambil menatap tajam. O-ow....
*****
To be continue...
Baca juga kisah kucing lainnya.
😻 Topaz wattpad @benitobonita / joylada @wulan benitobonita
😻 Kuro Wattpad @hannimaharani / joylada @Hanni Maharani
😻 Chiya wattpad @harianimey/ joylada @harianimey
😻 Chocola wattpad @Pyorong07/ joylada @reinke
😻 Purple wattpad @ree_puspita/ joylada @Reepuspita
😻 Mochi wattpad @Dyah_Putri19/ joylada @Dyahputri
😻 Madoka wattpad @kanonaiko/ joylada @kanonaiko
😻😻😻😻😻
Thank you for reading
Don't forget to vote & coment^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top